Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Apakah Boleh Bagi Bapak Saya Yang Kaya Menerima Penyaluran Zakat, Namun Untuk Disalurkan Lagi Kepada Saudara Laki-laki Saya Untuk Menyelesaikan Studi Jurusan Duniawinya ?

174734

Tanggal Tayang : 16-04-2016

Penampilan-penampilan : 2107

Pertanyaan

Pertanyaan saya adalah apakah dibolehkan bagi ayah saya yang mempunyai harta dan sudah mencapai nisab (dan sudah menyalurkan zakatnya) masih menerima penyaluran zakat dari orang lain untuk membiayai anaknya yang sedang kuliah, saya kuliah di sebuah universitas negeri, akan tetapi adik laki-laki saya kuliah di universitas swasta dengan biaya yang sangat mahal.
Apakah boleh bagi ayah saya untuk menerima zakat mal dengan alasan bahwa adik saya masih berstatus sebagai mahasiswa (namun adik saya tidak belajar ilmu syar’i tetapi di jurusan akuntansi) harta yang kami keluarkan zakatnya dipakai untuk membelikan untuknya sebuah apartemen agar kami tidak sampai bermuamalah dengan bank konvensional… Jazakumullah khoiran.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para ahli fikih telah bersepakat bahwa tidak wajib bagi seorang ayah untuk memberi nafkah kepada anaknya yang sudah baligh, jika dia telah mampu berpenghasilan. Untuk penjelasan lebih lanjut silahkan anda melihat jawaban soal nomor: 13464.

Jika memberi nafkah kepada anak yang sudah mampu berpenghasilan hukumnya tidak wajib bagi orang tuanya, maka dibolehkan bagi anak tersebut untuk menerima zakat sesuai dengan yang dibutuhkan meskipun dia mencari ilmu umum. Untuk penjelaskan lebih lanjut bisa dibaca pada jawaban soal nomor: 95418.

Dalam hal ini juga tidak apa-apa jika dia mewakilkan kepada orang tuanya untuk menerima zakat tersebut, kemudian disalurkan kepadanya agar bisa membantunya untuk menyelesaikan kuliahnya.

Dibolehkannya menerima zakat, jika dia seorang mahasiswa umum dan tidak mampu menggabungkan antara bekerja dan belajar, atau kalau dibarengi dengan bekerja akan mempengaruhi pembelajarannya, maka dalam hal ini tidak apa-apa menerima zakat mal secukupnya. Adapun jika dia mampu menggabungkan antara bekerja dan belajar dan tidak membawa dampak negatif, maka dia tidak berhak menerima zakat. Berdasarkan riwayat Hisyam dari ayahnya, dari Ubaidillah bin ‘Adiy berkata: “Ada dua orang yang mengabarkan kepada saya bahwa keduanya telah mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada haji wada’ dan meminta bagian zakat, maka beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memperhatikan keduanya dari atas sampai bawah seraya beliau mendapati keduanya sebagai orang yang kuat dan beliau bersabda:

إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا مِنْهَا وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ ) رواه الإمام أحمد (21985) وأبو داود (1633) و صححه الألباني رحمه الله تعالى في " صحيح أبي داود " برقم ( 1443) .

“Jika kalian berdua mau, maka saya akan memberikannya kepada kalian berdua, namun (zakat itu) tidak untuk orang yang kaya dan tidak untuk orang yang kuat dan masih mampu berpenghasilan”. (HR. Imam Ahmad: 21985, Abu Daud: 1633 dan dishahihkan oleh Albani –rahimahullah- dalam Shahih Abu Daud: 1443)

Tidak diragukan lagi bahwa yang lebih utama dan lebih afdol agar orang tuanya membantunya dengan hartanya sendiri atau dia harus berusaha untuk menggabungkan antara bekerja dan belajar sebisa mungkin, agar bisa keluar dari perbedaan para ulama –rahimahumullah- yang melarang untuk menerima zakat dan untuk menjaga harga diri dari harta orang lain, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

( الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى) رواه البخاري(1429) ومسلم (1715(

“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah”. (HR. Bukhori: 1429 dan Muslim: 1715)

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda tentang harta zakat:

( إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخ النَّاس ) رواه مسلم (1784(

“Sesungguhnya (zakat itu) adalah (harta yang kotor) dari manusia”. (HR. Muslim: 1784)

Dari Al Miqdam –radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata:

( مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ) رواه البخاري(2072(

“Tidaklah seseorang yang memakan makanannya lebih baik dari memakan dari hasil jerih payahnya sendiri, dan sungguh Nabiyullah Daud –‘alaihis salam- telah memakan dari hasil karya tangannya sendiri”. (HR. Bukhori: 2072)

Dari Rifa’ah bin Rafi’ –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah ditanya:

(أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ) رواه الإمام أحمد (16628) والبزار (3731) وصححه الشيخ الألباني رحمه الله في السلسلة الصحيحة (2/106(

“Penghasilan apakah yang lebih baik ?”, beliau menjawab: “Pekerjaan seseorang dari hasil karyanya sendiri dan semua jual beli yang baik”. (HR. Imam Ahmad: 16628, Al Bazzar: 3731 dan dishahihkan oleh Syeikh Albani –rahimahullah- dalam Silsilah Shahihah: 2/106)

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam