Alhamdulillah.
Kulit hewan terbagi menjadi tiga bagian:
Pertama, kulit yang dagingnya halal dimakan kalau disembelih dengan cara sesuai agama. Ini disepakati boleh digunakan, baik disamak atau tidak disamak.
Kedua, kulit bangkai yang dagingnya halal dimakan. Ini boleh digunakan setelah disamak menurut pendapat yang kuat.
Ketiga, kulit hewan yang haram dimakan dagingnya seperti singa, macan, kera, macan kumbang. Bagian ini para ulama rahimahullah berbeda pendapat tentang hukumnya dengan perbedaan yang banyak sekali. An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam Majmu pendapat para ulama sampai menjadi tujuh mazhab. (silah lihat dalam Majmu, 1/27 dan Mughni, 1/53).
Yang kuat –wallahu a’lam- pendapat Imam Ahmad dan sekelompok ulama salaf yang mengharamkan penggunaan kulit hewan buas dan yang haram dimakan dagingnya. Itu lebih dekat kepada kebenaran. Yang menunjukkan hal itu adalah hadits:
Salamah bin Muhabbiq radhiallahu anhu,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ دَعَا بِمَاءٍ مِنْ عِنْدِ امْرَأَةٍ قَالَتْ مَا عِنْدِي إِلَّا فِي قِرْبَةٍ لِي مَيْتَةٍ قَالَ: أَلَيْسَ قَدْ دَبَغْتِهَا ، قَالَتْ بَلَى قَالَ: فَإِنَّ دِبَاغَهَا ذَكَاتُهَا ( رواه أحمد، 19214، والنسائي، رقم 4170، وصححه الألباني في " غاية المرام، رقم 26 )
“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam perang Tabuk meminta air dari seorang wanita. Dan wanita itu mengatakan, “Saya tidak punya kecuali airi di kantong kulit dari bangkai. Beliau bertanya, “Bukankah ia telah disamak.” Dia menjawab,”Ya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya samaknya adalah sembelihannya.” (HR. Ahmad, no. 19214, Nasa’I, no. 4170, dinyatakan shahih oleh Albany di Ghayatul Maram, no. 26).
Dari Aisyah berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa salalam ditanya tentang kulit bangkai, beliau menjawab,
دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا (رواه النسائي، رقم 4172 وصححه الشيخ الألباني)
“Samaknya adalah sembelihannya.” (HR. Nasa’i, no 4172, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)
Telah diketahui bahwa apa yang haram dagingnya, tidak halal sembelihannya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya,”Apa ketentuan penggunaan kulit, baik yang halal dimakan dagingnya atau yang haram dagingnya. Baik disamak atau tidak disamak?
Maka beliau menjawab, “Kalau kulit yang halal disembelih, maka ia suci. Karena ia menjadi baik dengan sembelihan. Seperti kulit unta, sapi, kambing, biawak, kelinci dan lainnya. Baik disamak atau tidak. Kalau kulit yang tidak dimakan dagingnya seperti kulit anjing, srigala, singa, gajah dan semisalnya maka ia najis. Baik disembelih atau bangkai atau dibunuh. Karena kalau disembelih, tetap tidak halal (dagingnya) dan tidak menjadi baik, ia tetap najis. Baik disamak atau tidak, menurut pendapat yang kuat. Karena pendapat yang kuat bahwa kulit najis tidak dapat suci dengan disamak jika berasal dari jenis hewan yang tidak halal disembelih. Kalau kulit yang menjadi bangkai yang mati sebelum disembelih dan halal dimakan dagingnya, jika dia disamak, maka menjadi suci, kalau belum disamak maka ia najis (kotor).
Maka, masalah kulit ada tiga ketentuan;
Pertama; bersih (suci), baik disamak atau tidak. Yaitu kulit hewan yang disembelih dan halal dimakan (dagingnya).
Kedua: Kulit yang tidak suci, baik setelah disamak atau sebelum disamak, ia tetap najis. Yaitu kulit yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Ketiga: Kulit suci setelah disamak dan tidak suci sebelum disamak. Yaitu kulit yang halal dimakan dagingnya jika mati tanpa disebembelih (bangkai).” (Liqo Bab Maftuh, pertemua no. 16. Silahkan melihat jawaban soal no. 147632)
Tambahan dari itu bahwa kera termasuk jenis hewan buas, dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam telah melarang penggunaan kulitnya. Dari Miqdam bin Ma’dikarb bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melarang menggunakan kulit hewan buas dan menungganginya.” (HR. Abu Dawud, no. 4131, dinyatakan shahih oleh AlAlbany)
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (
Dari Qatadah dari Abu Malih dari ayahnya,
نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ أَنْ تُفْتَرَشَ. (رواه الترمذي، رقم 1771، وصححه الألباني في " مشكاة المصابيح " برقم، 50)
“Bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang menggelar (menggunakan) kulit hewan.” (HR. Tirmizi, no. 1771, dinyatakan shahih oleh Albany di Misykatul Mashabih, no. 506)
Silahkan lihat jawaban soal no. 105419.
Kedua:
Jika sudah diputuskan najisnya kulit yang haram dimakan dagingnya dan kulit hewan buas setelah mati. Maka tidak dibolehkan memakainya dalam shalat. Juga tidak boleh diusap dalam bersuci, meskipun telah disamak. Karena di antara syarat shalat adalah suci baju dan syarat mengusap dua khuf adalah keduanya suci.
Terdapat riwayat dalam kitab Kasyaful Qana 1/116: “Disyaratkan juga (kesucian barangnya) karena barang yang najis itu dilarang (maka tidak sah) mengusap (di atas sesuatu yang najis meskipun dalam kondisi terpaksa) sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Harir.”
Syekh Ibnu Utsain rahimahullah mengatakan, ungkapan ‘Dalam kondisi suci’ ini adalah syarat kedua di antara syarat sahnya mengusap khuf. Maksudnya adalah bahwa sesuatu yag dipakia itu benda yang suci.
Suci di sini dapat bermakna suci bendanya, maka benda yang najis tidak sah. Dapat juga suci dipahami sebagai sesuatu yang belum terkena najis. Sebagaimana perkataan anda, ‘Anda harus shalat dengan pakaian yang suci, maksudnya belum terkena najis.
Yand dimaksud di sini adalah najis bendanya. Karena ada khuf yang najis bendanya seperti khuf yang terbuat dari kulit himar (keledai). Di antaranya ada yang barangnya suci akan tetapi terkena najis. Seperti kalau khuf dari kulit unta yang disembelih akan tetapi terkena najis. Yang pertama najis ain (barangnya) yang kedua najis hukmiyah (hukumnya). Dengan demikian, dibolehkan mengusap khuf yang terkena najis akan tetapi tidak boleh dibuat shalat. Karena di antara syarat shalat adalah menjauhi najis. Latar belakang keharusan suci adalah bahwa mengusap benda najis tidak menambah kecuali semakin najis. Bahkan jika tangan memegang langsung najis ini dalam kondisi basah, maka dia akan menjadi najis.” (Syarh Mumti, 1/228).
Wallahu a’lam .