Alhamdulillah.
Pertama:
Bukanlah maksud dari firman Allah –ta’ala-:
( الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً ... الآية ) النور/3
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina…”. (QS. An Nuur: 3)
Bahwa laki-laki yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang berzina pula, demikian juga wanita yang berzina tidak boleh menikah kecuali dengan laki-laki yang berzina pula, akan tetapi maksud dari ayat di atas adalah diharamkannya laki-laki pezina atau wanita pezina menikah dengan laki-laki atau wanita yang suci (tidak pernah berzina), sebelum keduanya bertaubat kepada Allah.
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata:
“Imam Ahmad –rahimahullah- berpendapat bahwa tidak sah akad nikah seorang laki-laki yang suci (belum pernah berzina) kepada wanita yang berzina dan terus melakukannya sampai ia diminta bertaubat, jika ia mau bertaubat maka akad nikahnya pun sah, dan jika tidak maka tidak sah. Demikian juga tidak sah menikahkan wanita yang suci (tidak berzina) dan merdeka dengan laki-laki yang berzina sampai ia bertaubat dengan taubat yang sebenarnya, berdasarkan firman Allah –ta’ala-:
: ( وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ )
“…dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”. (QS. An Nuur: 3)
(Tafsir Ibnu Katsir: 6/9)
Syeikh Abdur Rahman as Sa’di –rahimahullah- berkata: “Dan makna dari ayat tersebut adalah bahwa orang yang dikenal sebagai pezina, baik dari laki-laki ataupun perempuan dan belum bertaubat dari perbuatan tersebut, bahwa orang yang akan menikah dengannya padahal Allah telah mengharamkannya, tidak lepas dari beberapa hal berikut ini:
-Bisa jadi ia adalah seorang yang tidak berkomitmen pada hukum Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak lain adalah seorang yang kafir
-Bisa jadi ia adalah seorang yang berkomitmen pada hukum Allah dan Rasul-Nya namun tetap melanjutkan pernikahannya meskipun ia mengetahui bahwa laki-laki tersebut telah berzina, maka pernikahan tersebut adalah zina, ia pun akan berzina selama masa pernikahannya. Kalau saja ia beriman kepada Allah dengan benar maka ia tidak akan melanjutkan keimanannya.
Ini adalah dalil yang jelas tentang haramnya menikahi wanita pezina sampai ia bertaubat, demikian juga menikahkan laki-laki yang berzina sampai ia bertaubat”. (Taisir Karim Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan: 561)
Seorang laki-laki yang mampu menjaga dirinya dari zina tidak boleh menikahi wanita pezina, demikian juga seorang wanita yang mampu menjaga dirinya dari zina tidak boleh dinikahi oleh laki-laki pezina, kecuali jika laki-laki atau wanita yang terkenal dengan sifat zinanya tersebut telah bertaubat. Demikian juga pezina laki-laki dan perempuan tidak boleh menikah kecuali setelah keduanya bertaubat.
Untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca jawaban soal nomor: 122639 .
Kedua:
Barang siapa yang bertaubat dari dosa zina maka akan terangkat darinya sifat sebagai pezina, dan tidak termasuk dalam larangan wanita menikah dengan laki-laki yang berzina.Ketika laki-laki tesebut sudah bertaubat maka boleh baginya menikahi wanita yang suci (belum pernah berzina), ia juga boleh menikahi wanita yang dulu pernah berzina namun sekarang sudah bertaubat.
Demikian juga sebaliknya bagi wanita pezina, tidak boleh baginya dinikahi oleh laki-laki muslim yang suci (belum pernah berzina) sampai ia bertaubat kepada Allah. Jika wanita tersebut sudah bertaubat maka pernikahannya akan menjadi sah.
Sedangkan apa yang telah anda sebutkan bahwa laki-laki yang pernah melakukan zina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang serupa dan telah ditegakkan had (hukuman dera), inilah pendapat yang diriwayatkan dari sebagian ulama salaf. Mereka berdalil dengan hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud (2052) dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ ، إِلَّا مِثْلَهُ ) ، وصححه الشيخ الألباني في " صحيح سنن أبي داود " .
“Laki-laki yang berzina dan sudah dicambuk tidak boleh menikah kecuali dengan yang serupa (kondisinya) dengannya”. (Dishahihkan oleh syeikh Al Baani dalam “Shahih Sunan Abi Daud)
Al Qurtubi –rahimahullah- berkata: “Disebutkan oleh al Zajjaj dan yang lainnya dari al Hasan, bahwa ia berkata bahwa maksudnya adalah laki-laki yang pernah berzina dan perempuan yang pernah berzina (bukan sebagai pezina) dan dikenal dengan “pezina terbatas”, ia berkata: ini adalah hukum dari Allah, maka laki-laki pezina terbatas tidak boleh menikah kecuali dengan pezina terbatas juga. Ibrahim an Nakho’i juga berpendapat demikian.
Dan di dalam karangan Abu Daud dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لا ينكح الزاني المحدود إلا مثله )
“Pezina terbatas tidak boleh menikah kecuali dengan wanita yang kondisinya sama dengannya”.
Beliau juga meriwayatkan bahwa pezina terbatas menikah dengan yang pezina yang tidak terbatas. Maka Ali –radhiyallahu ‘anhu- membedakan antara keduanya.
Ibnul ‘Arabi berkata: “Makna tersebut secara teori ataupun secara riwayat tidak benar, apakah benar nikahnya seseorang tergantung dengan hukuman dera baik dari pihak laki-laki atau perempuan, jadi atas dasar apakah peraturan tersebut ? dan diqiyaskan kepada hukum manakah yang menjadi rujukan ?”. (Tafsir Qurtubi: 12/168-169)
Yang benar bahwa hadits di atas dapat difahami bahwa sifat hukuman had (dera) adalah diluar kebiasaan orang bagi siapa saja yang menampakkan zina dan bisa dipastikan, hal itu tidak mungkin nampak kecuali setelah ditegakkannya hukum had, maka maksud dari hadits di atas adalah: “Bahwa seorang wanita yang suci (belum pernah menikah) tidak dihalalkan menikah dengan laki-laki yang nampak baginya sifat zina, demikian juga seorang laki-laki yang suci (belum pernah berzina) tidak dihalalkan menikahi wanita yang nampak baginya sifat zina, maka makna hadits ini sesuai dengan makna ayat dan menguatkannya:
( الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً )
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina”. (QS. An Nuur: 3)
Asy Syaukani –rahimahullah- berkata: “Pezina yang didera, sifat ini adalah di luar kebiasaan kebanyakan orang, dilihat dari sisi orang yang menampakkan zina, hal ini menjadi dalil bahwa tidak halal bagi seorang wanita dinikahi oleh seseorang yang dikenal sebagai pezina, demikian juga seorang laki-laki tidak halal menikahi wanita yang dikenal sebagai pezina juga, pendapat ini juga dikuatkan dengan sebuah ayat di dalam al Qur’an, karena ayat tersebut ditutup dengan kalimat:
( وحرم ذلك على المؤمنين )
“…dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”. (QS. An Nuur: 3)
Berdasarkan uraian di atas, kapan saja seorang wanita menyesali perbuatan zinanya, dan bertaubat sebelum melangsungkan akad nikah dengan laki-laki tersebut, maka akadnya sah, dan menjadi kewajiban wanita tersebut untuk menyembunyikan aibnya dan tidak membeberkan kepada siapapun tentang apa yang telah terjadi sebelumya.
Adapun jika terjadi akad nikah sebelum ia bertaubat dari dosa zinanya, maka pendapat yang difatwakan dalam website ini tidak sah nikahnya dan wajib untuk diulangi.
Jika memunginkan akad nikahnya diulangi –pada saat sudah terjadi akad nikah sebelum ia bertaubat- meskipun dengan alasan apapun maka akan menjadi sah, dan inilah yang seharusnya dilakukan, sebagai jalan keluar dari perbedaan para ulama –rahimahumullah- dan sebagai tindakan prefentif dalam hal akad nikah.
Kalau hal tersebut tidak memungkinkan kecuali dengan terus terang akan terjadinya perzinaan, dan membeberkan masalah tersebut akan menimbulkan kemadharatan, seperti akan terjadi perceraian jika suaminya mengetahui status istrinya pada masa lalu, atau dampak terkecilnya akan menimbulkan keraguan suaminya jika tetap menjalin rumah tangga dengannya, atau malah bisa jadi aibnya menyebar dan diketahui banyak oeang, atau ia pun mendapat ejekan atau dampak negatif lain yang akan diterimanya. Maka tidak masalah bagi wanita tersebut –insya Allah- untuk melanjutkan rumah tangganya dengan akad tersebut, dan tidak diragukan lagi bahwa ini adalah pendapat yang ada benarnya, dan merupakan pendapat jumhur ulama, khususnya bagi seseorang yang sudah melakukan akad sebelumnya, dan meyakini akan sahnya akad tersebut, bahkan sebagian ulama madzhab Hambali terus terang dalam membenarkan pernikahan seperti gambaran di atas.
Al Mawardi –rahimahullah- berkata: “Sebagian rekan kami berkata: “Tidak diharamkan menikahinya sebelum ia bertaubat, jika yang menikahinya bukan seorang yang berzina”. Disebutkan juga oleh Abu Ya’la ash Shagir. (Al Inshaf: 8/133)
Kesimpulannya adalah:
Bahwa jika tidak dilakukan pembaruan nikah di antara kedua keluarga maka tidak masalah untuk melanjutkannya dengan pernikahan tersebut, mengarungi rumah tangga seperti kebanyakan orang pada umumnya, kecuali jika akan terjadi kerusakan yang parah atau tersebarnya aib dari wanita tersebut.
Untuk penjelasan lanjutan bisa dibaca jawaban soal nomor: 131467.
Wallahu a’lam.