Sabtu 8 Jumadil Ula 1446 - 9 November 2024
Indonesian

Mereka Belum Melaksanakan Wasiat Ayahnya dan Hukumnya Melaksanakah Ibadah Haji Sebelum Menunaikan Wasiat Tersebut

201975

Tanggal Tayang : 26-06-2022

Penampilan-penampilan : 3651

Pertanyaan

Bapak mertua saya meninggal dunia, meninggalkan 3 anak laki-laki dan 4 anak perempuan, meninggalkan aset bangunan senilai 100.000.000 dan meninggalkan wasiat kepada ahli warisnya, yaitu; harta warisannya disedekahkan ke proyek pembangunan sumber air atau masjid, akan tetapi ahli warisnya tidak mengakui wasiat tersebut, meskipun wasiat tersebut dengan jelas tertulis, ada dua saksi yang menyaksikan, hanya saja belum diresmikan di pengadilan.

Sekarang istri saya ingin menunaikan ibadah haji, dan saya mempunyai beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Apakah istri saya boleh menunaikan haji dengan harta warisan ayahnya, sedangkan ia belum menyelesaikan wasiatnya ?

Apakah (jika dilanjutkan) menjadi hutangnya, dan apakah dia berdosa ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Jika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan, maka menjadi kewajiban ahli warisnya untuk membiayai pengurusan jenazahnya dengan menggunakan harta warisan tersebut, kemudian setelah itu wajib melunasi hutang si mayyit, kemudian menyalurkan wasiatnya 1/3 dari hartanya, semua itu sebelum pembagian harta warisan kepada ahli waris. Allah –Ta’ala- telah memerintahkan untuk membagi harta warisan sesuai dengan yang telah Allah syari’atkan kepada mereka, akan tetapi diberikan batasan setelah selesai menyalurkan wasiatnya, Allah –Ta’ala- berfirman:

 مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ  النساء/11.

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”. (QS. An Nisa’: 11)

Al Qurtubi berkata dalam tafsirnya (5/61):

“Tidak ada (pembagian) harta warisan kecuali setelah melunasi hutang dan menyalurkan wasiatnya, jika seseorang meninggal dunia hendaknya dikeluarkan dari hartanya hak-hak tertentu, lalu untuk proses mengkafani dan penguburannya, lalu pelunasan hutangnya, kemudian menyalurkan wasiat sebanyak 1/3 dari hartanya, atau yang serupa dengannya, baru sisanya menjadi warisan bagi ahli warisnya”.

Piutang si mayyit hendaknya didahulukan dari pada wasiatnya, Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata di dalam tafsirnya (2/201):

“Piutang si mayyit didahulukan dari pada wasiatnya, setelah itu baru penyaluran wasiatnya, kemudian pembagian harta warisannya, hal ini sudah menjadi ijma’ di kalangan para ulama”.

Dan tidak ada kewajiban untuk melaksakannya wasiat tersebut adanya pengesahan dari pihak pengadilan atau dari pihak khusus lainnya, atau disaksikan oleh beberapa saksi, atau harus tertulis. Kapan saja seorang ahli waris mengetahui adanya wasiat tersebut, baik dengan cara mendengarkan secara langsung dari pemilik harta atau dengan cara lainnya, maka dia diwajibkan untuk melaksanakannya, meskipun tidak ada bukti secara syar’i yang memungkinkan untuk dijadikan alat bukti pada saat sengketa di pengadilan.

Atas dasar itulah maka menjadi kewajiban ahli waris untuk melaksanakan wasiat ayahanda mereka, jika mereka menolak untuk menyalurkannya maka mereka yang menolak telah berdosa, dan jika ada sebagian harta wasiat tersebut masuk ke dirinya, maka hukumnya haram tidak halal baginya. Allah –Ta’ala- telah memperingatkan dalam masalah tersebut dalam firman-Nya:

 فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 181)

Asy Syaukani –rahimahullah- berkata:

“At Tabdiil adalah merubah, ini merupakan ancaman bagi siapapun yang merubah wasiat yang benar, yang tidak mengandung ketimpangan, dan tidak mendatangkan madharat, dia akan kembali dengan dosa, sedangkan orang yang memberi wasiat tidak dianggap berdosa, dia sudah terbebas dari tanggung jawabnya”. (Fathul Qadiir: 1/231)

Kedua:

Besarnya harta istri anda yang haram dari warisan tersebut adalah sebesar bagian wasiat yang masuk pada bagian istri anda, jika mereka telah membagi harta warisan di antara mereka, sesuai dengan pembagian yang disyari’atkan, maka istri anda wajib berlepas diri dari besarnya wasiat yang masuk pada bagiannya dan menyalurkannya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh ayahandanya. Jika semua ahli waris setuju dengan hal itu, maka memang seperti itulah seharusnya, kalau mereka tidak mau, maka istri anda saja yang tetap menyalurkan harta wasiat yang masuk ke bagiannya tanpa mempedulikan yang lainnya.

Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:

“Jika dia sudah berazam untuk menunaikan ibadah haji, berperang atau yang lainnya, maka sebaiknya ia awali dengan bertaubat dari semua maksiat dan dosa dan menyelesaikan segala bentuk kedzaliman kepada sesama, melunasi hutangnya sesuai dengan kemampuannya, mengembalikan harta yang titipkan kepadanya, meminta dihalalkan semua bentuk muamalah atau pertemanan dengannya, menulis wasiat dan disaksikan, mewakilkan kepada seseorang untuk melunasi hutang yang masih belum terbayar, memberi uang belanja kepada keluarga dan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya secukupnya sampai ia kembali nantinya”. (Al Majmu’: 4/265)

Ketiga:

Jika semua ahli waris  atau sebagian dari mereka menunaikan ibadah haji sebelum penyaluran wasiat si mayyit, maka:

Jika harta wasiat yang wajib disalurkan itu tertentu, sedangkan biaya hajinya diambilkan dari harta yang haram tersebut, hajinya tetap sah sesuai dengan pendapat yang lebih kuat, namun dia terkena dosa ghoshob (menggunakan sesuatu yang bukan miliknya) dan memakan harta haram.

Adapun jika biaya ibadah hajinya tersebut tidak diambilkan dari harta wasiat tersebut, akan tetapi berasal dari harta lain, atau bercampur dengan harta yang haram dan yang halal, maka lebih layak untuk dianggap sah hajinya, ibadah haji terpisah dengan dosa ghosob harta wasiat.

Oleh karenanya para ulama –rahimahumullah- berkata:

“Jika seseorang menunaikan ibadah haji dari harta yang haram, seperti; hasil mengghosob atau mencuri, maka hajinya tetap sah”.

Untuk penjelasan lebih lanjut bisa dibaca jawaban soal nomor: 48986

Atas dasar itulah maka menjadi kewajiban anda untuk menyuruh istri anda untuk mengembalikan harta wasiat tersebut dan menyalurkan kepada yang berhak menerimanya, tanggung jawabnya belum terbebaskan kecuali dengan cara seperti itu, baik ia sudah melaksanakan ibadah haji atau belum. Jika dia menginginkan haji yang mabrur dari Allah, maka menjadi kewajibannya untuk menyalurkan hak orang lain kepada yang berhak menerimanya.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam