Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

MENYIKAPI KETAKUTAN ANAK

21390

Tanggal Tayang : 07-09-2012

Penampilan-penampilan : 37643

Pertanyaan

Saya memiliki anak yang takut terhadap apa saja, bahkan terhadap bayangan sendiri. Saya tidak tahu, apakah cara mendidik saya keliru. Bagaimana saya mengajarkan keberanian kepadanya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para pakar psikologi anak menilai bahwa anak pada tahun pertama boleh jadi memperlihatkan ketakutannya terhadap suara yang mengagetkannya, atau jatuhnya sesuatu secara tiba-tiba, atau semacamnya.Sang ana juga takut terhadap orang asing sejak usia enam bulan kurang lebih. Adapun anak usia tiga tahun, biasanya takut terhadap berbagai hewan, kendaraan, jalan curam, air dan semacamnya.

Secara umum, anak perempuan lebih menampakkan ketakutan daripada anak laki-laki. Tingkat ketakutan biasanya berkaitan dengan tingkat fantasinya. Semakin banyak fantasinya, semakin tinggi rasa takutnya.

Bertambahnya rasa takut terhadap anak, memiliki beberapa sebab, di antaranya;

- Sang ibu yang suka menakut-nakuti sang anak, misalnya dengan hantu, burung hantu, polisi, kegelapan, ifrit, atau makhluk halus, dst.

- Sang anak yang terlalu manja dan terlalu khawatir serta sensitif.

- Anak dididik untuk mengisolir diri, pemalu, dan berlindung di balik tembok rumah.

- Sering mengisahkan cerita-cerita yang berkaitan dengan jin, ifrit, dan sebab-sebab lainnya.

- Boleh jadi sang anak memperlihatkan kesiapan yang besar untuk menangkap ketakutan kedua orang tuanya berdasarkan pengetahuan atau pemandangan langsung. Ketakutan seperti ini dikenal memiliki daya tahan lebih lama.Karena itu, keteladanan memiliki peran yang besar dalam mendidik anak untuk tidak takut. Teladan yang dituntut dalam hal ini adalah sifat berani dalam berbagai kondisi, atau tidak takut terhadap berbagai hewan yang tidak berbahaya, atau terhadap orang lain betapapun tinggi kedudukannya di jalan yang benar, dan secara umum tidak takut jika tanpa alasan.

Untuk mengatasi gejala ketakutan di kalangan anak-anak dapat diatasi oleh kedua orang tua dengan memperhatikan beberapa factor, di antaranya;

-Mendidik anak sejak dini untuk beriman kepada Allah Ta'ala dan beribadah kepada-Nya serta berlindung kepada-Nya dari setiap yang menakutkan.

-Memberinya kebebasan beraktifitas, memikul tanggul jawab dan melakukan segala sesuatu yang sesuai dengan usianya.

-Tidak menakut-nakutinya, khususnya saat menangis, dengan burung hantu, atau landak, atau orang jahat, atau jin dan ifrit, dsb. Hal tersebut masuk pada keumuman kebaikan yang dinyatakan dalam hadits,

المؤمنالقويخيروأحبإلىاللهمنالمؤمنالضعيف (أخرجهمسلمرقم2664)

"Seorang mukmin yang kuat dan baik, lebih Allah cintai dari seorang mukmin yang lemah." (HR. Muslim, no. 2664)

-Memberikan kesempatan sejak balig berkumpul secara langsung dengan orang lain. Memberikan waktu untuk bertemu dan berkenalan denganya agar ada perasaan untuk memberi keputusan pada diri dan perasaannya. Bahwa dia termasuk tempat untuk mendapatkan kasih sayang, kecintaan dan penghormatan dengan setiap orang yang berkumpul dan berkenalan dengannya.

Di antara yang dianjurkan para pakar kejiwaan dan pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada anak untuk mengenal sesuatu yang menakutkan dirinya. Jika dia takut kegelapan, maka tidak mengapa mengajak bercanda sang anak dengan mematikan lampu lalu menyalakannya lagi. Jika dia takut air, maka tidak mengapa membiarkannya bermain di air yang sedikit pada sebuah wadah kecil, begitu seterusnya.

- Menceritakan kepadanya keberanian dan perjuangan kaum salaf serta mendidiknya agar berakhlak seperti para shahabat agar terbentuk padanya sifat-sifat keberanian dan kepahlawanan.

Adapun jika ketakutan pada anak berbentuk kegamangan jiwa, maka biasanya sebabnya kembali kepada sejumlah faktor yang berkaitan satu sama lain. Ajaran Nabi mengatasi hal semacam ini dengan hati-hati. Di antaranya faktor-faktor penyebab tersebut adalah;

- Membebani sang anak apa yang tidak mampu dia pikul. Dalam hal ini, Rasulullah sallahu’alaihi wa sallam berbsabda,

( منلميرحمصغيرناويعرفحقكبيرنافليسمنا ) أخرجهأبوداودرقم4943 ،والترمذيرقم1921 وفيصحيحالجامعللألباني5444

"Siapa yang tidak menyayangi anak kecil dan tidak mengenal hak orang tua, maka dia bukan golongan kami." (HR. Abu Dau, no. 4943, Tirmizi, no. 1921. Terdapat dalam Shahih Al-Jami, Al-Albany, no. 5444)

- Tidak memberi dorongan yang cukup untuk berhasil. Dalam hal ini terdapat riwayat dari Ali radhiallahu anhu, dia berkata, "Aku tidak pernah mendengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan tebusan (ungakapan kesungguhan) selain kepada Saad, ketika itu beliau berkata, "Lontarkan panahmu, " aku kira hal itu terjadi pada perang Uhud." (HR. Bukhari, no. 6184, Muslim, no. 2411)

Hadits tersebut merupakan pengarahan kepada setiap orang tua untuk mendorong anak-anaknya berprestasi dan memberikan apresiasi dalam bentuk perhatian yang lebih terhadap apa saja yang mereka raih bagaimanapun hasilnya

- Berlebihan dalam memberikan hukuman fisik serta kasar dalam memperlakukannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

منيُحرمالرفقيُحرمالخيركله (أخرجهمسلم،رقم2292 )

"Siapa yang terhalang berbuat lembut, dia akan terhalang dari seluruh kebaikan." (HR. Muslim, no. 2292)

-Kondisi kehidupan yang sulit sehingga mendorong kedua orang tua menumpahkan kekesalannya terhadap anak-anak mereka, seperti hubungan rumah tangga yang tidak harmonis, atau ibu yang bekerja, atau tidak puas terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

ليسالشديدبالصُّرعة،إنماالشديدالذييملكنفسهعندالغضب (أخرجهالبخاري،رقم6116)

"Bukanlah orang yang kuat adalah dia yang menang gulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah."(HR. Bukhari, no. 6116)

Terakhir, perlu kami sampaikan bahwa bukan berarti dengan semua ini sang anak tidak boleh takut sama sekali. Sebab rasa takut juga harus ada pada sebagian perkara, karena hal tersebut akan melindungi sang anak. Dia harus takut kepada Allah, takut terhadap kejahatan orang lain, takut berbuat kejahatan, dst. Hendaknya ketakutannya yang bersifat normal, tidak berlebihan dan tidak mengabaikan.

Refrensi: Sumber: Tansyi'atul Fatat Al-Muslimah, hal. 159, karangan Hanan Ath-Thuri Al-Juhany