Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Apakah Boleh Menjuluki Orang-orang Syi’ah Dengan Sebutan: “Anak-anak Hasil Zina” ?

217843

Tanggal Tayang : 07-07-2017

Penampilan-penampilan : 8480

Pertanyaan

Apakah boleh mengatakan bahwa orang-orang syi’ah sebagai anak-anak hasil zina atau anak-anak hasil nikah mut’ah ?, apakah dibolehkan mengatakan bahwa wanita syi’ah sebagai wanita pezina ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Seorang muslim hendaknya menjaga lisannya, berkata baik, tidak mencela, tidak mengejek, tidak menuduh, dan tidak menelisik aib saudaranya, Allah –Ta’ala- berfirman:

( وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) الإسراء/ 54

“Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)”. (QS. al Isra’: 54)

Dan disebutkan dalam hadits:

( لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ ، وَلا اللَّعَّانِ ، وَلا الْفَاحِشِ ، وَلا الْبَذِيءِ ) رواه الترمذي (1977) ، وصححه الألباني في " السلسلة الصحيحة " (320(

“Bukanlah seorang mukmin itu yang suka menuduh, suka melaknat, suka berlaku keji dan suka berkata kotor”. (HR. Tirmidzi: 1977 dan dishahihkan oleh al Baani dalam Silsilah Shahihah: 320)

Seorang muslim mempunyai qudwah yang baik yaitu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang digambarkan oleh Anas –radhiyallahu ‘anhu- :

" لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا ، وَلاَ لَعَّانًا ، وَلاَ سَبَّابًا " رواه البخاري (6046(

“Belum pernah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berlaku keji, melaknat dan mencela”. (HR. Al Bukhori: 6046)

Kedua:

Tidak boleh menghukumi seseorang dengan anak hasil zina kecuali jika memang sudah jelas berasal dari jalan yang tidak disyari’atkan dan jelas diharamkan, seperti karena berzina atau hasil perkosaan.

Adapun jika seseorang menikah dengan pernikahan yang benar dan sah sebagai pernikahan syar’i, atau pernikahan yang mengandung syubhat seperti menikah tanpa wali atau seseorang berjima’ dengan seseorang yang dikira istrinya, maka anak yang dihasilkan tidak dianggap dan tidak dinamakan anak zina.

Nikah mut’ah yang dihalalkan oleh syi’ah rafidhah, meskipun para ulama  telah berijma’ akan keharamannya, dan merupakan pernikahan yang batil, namun dari sisi lain pernikahan tersebut mengandung syubhat dalam akadnya, dan bukan perzinaan murni, oleh karena itu para ulama berkata nasab anak yang dihasilkan tetap dinisbahkan kepada bapaknya yang melakukan nikah mut’ah. Jumhur ulama mewajibkan pelakunya agar mendapatkan hukuman ta’ziir (hukuman sesuai kebijakan hakim) -meskipun diketahui akan keharamannya- namun mereka tidak mewajibkan untuk menerapkan hukuman had berzina.

Disebutkan dalam al Mausu’ah al Fiqhiyah (41/341): “Semua ahli fikih bersepakat jika seorang wanita mempunyai anak dari pernikahan mut’ah maka anaknya dinisbahkan kepada yang menghamilinya, baik diyakini sebagai pernikahan sah atau tidak; karena adanya syubhat akad dan wanita tersebut sudah menjadi firasy (teman tidurnya).

Jumhur ulama fikih dari Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bahwa tidak ada had (hukuman) bagi siapa yang melakukan nikah mut’ah, baik dari sisi laki-lakinya atau wanitanya; karena hukuman itu terhalang oleh perkara yang syubhat, syubhat di sini adalah syubhatnya perbedaan pendapat, bahkan harus dita’zir jika seseorang yang mengetahui tentang haramnya (nikah mut’ah); karena dia telah melakukan maksiat, tidak ada had (hukuman) juga tidak ada denda apapun.

Imam Nawawi berkata: “Dan jika seseorang berjima’ pada nikah mut’ah karena tidak mengetahui hukumnya, maka tidak ada had (hukuman) baginya, namun jika dia mengetahui hukumnya maka tidak ada had juga menurut madzhab (syafi’i), meskipun tidak ada had namun mahar tetap wajib dibayarkan, memiliki masa iddah juga dan nasab anaknya pun dinisbahkan kepadanya”. (Raudhatut Thalibin: 7/42)

Al Buhuti berkata: “Barang siapa yang melakukannya (nikah mut’ah) padahal dia tahu kalau hukumnya haram, maka dia kena hukuman ta’zir; karena dia telah melakukan maksiat namun tidak ada hukuman dera juga tidak ada denda, nasab anaknya pun dinisbahkan kepadanya jika dia meyakini jima’ yang dia lakukan atas dasar sebuah pernikahan”.

Saya berkata: “Atau jika dia tidak meyakininya sebagai sebuah pernikahan; karena adanya syubhat dalam akad”. (Kasyful Qana’: 5/97)

Selama nasab seorang anak tetap dinisbahkan kepada bapak pelaku jima’ tersebut maka tidak bisa dinamakan anak yang dihasilkan sebagai anak zina, tidak boleh juga wanita yang menikah dengan nikah mut’ah dijuluki sebagai pelacur (pezina), kecuali sudah dipastikan bahwa dia memang menghalalkan perzinaan yang diharamkan, dan ia pun melakukannya, bagaimana mungkin kami bisa menetapkan tanpa ada pengakuan darinya tentang perzinaan tersebut atau dengan menghadirkan empat orang saksi ?!!

Ketiga:

Tidak semua wanita syi’ah Rafidhah melakukan nikah mut’ah, sebagian mereka –meskipun dengan rusaknya aqidah mereka dan yakin pada madzhab yang batil tersebut- tetap menjaga kehormatan mereka, maka yang demikian seperti halnya wanita ahli kitab yang Allah berfirman tentang mereka:

( وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ ) المائدة/ 5

“… dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu..”. (QS. Al Maidah: 5)

Maksud dari al Muhshonat adalah mereka yang menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. (Tafsir al Baghawi: 3/19 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/42)

Atas dasar inilah, maka tidak boleh mengatakan bahwa semua wanita syi’ah melakukan nikah mut’ah, apalagi menjuluki masing-masing dari mereka sebagai pelacur (pezina), atau mengeneralisir bahwa semua orang syi’ah sebagai anak-anak mut’ah atau anak-anak zina tanpa penjelasan dan kepastian hukum.

Yang demikian itu merupakan bentuk keadilan dan pertengahan dalam bersikap sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah –Ta’ala-, sebagaimana dalam firman Allah:

)وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا ) الأنعام/152

“Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil…”. (QS. Al An’am: 152)

firman Allah yang lain:

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى) المائدة/ 8 .

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. al Maidah: 8)

Kami pernah bertanya kepada guru kami Abdur Rahman al Barrak –hafidzahullah- tentang mengeneralisir sebutan sebagai anak-anak zina bagi syi’ah rafidhah, apakah hal itu bentuk kedzaliman kepada mereka ?, beliau menjawab:

“Kalau penyebutan itu dilakukan secara umum, maka jawabannya: ya, termasuk kedzaliman, bersikap adil dan pertengahan adalah wajib bagi siapapun”.

Semoga Allah –Ta’ala- membimbing kita semua menuju sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh-Nya, dan memberikan kepada kita ketepatan dalam berkata dan berbuat.

Baca juga jawaban soal nomor: 20738 dan 139687.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam