Alhamdulillah.
Harta wakaf masjid adalah harta yang disimpan untuk kemaslahatan masjid, meramaikan, perbaikan dan apa yang terkait dengan hal itu. Baik untuk melaksanakan dakwah kepada Allah, meramaikannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh. Semua yang terkait dengan hal itu, dibolehkan menyalurkan dana wakaf. Kalau tidak terkait dengan hal itu, maka tidak dibolehkan menyalurkan dana wakaf. Bahkan ia termasuk amanah di tangan orang yang menyalurkannya. Maka dia tidak dibolehkan menaruhnya di selain tempatnya. Atau bukan kepada orang yang dibiayai yang telah ditentukan oleh orang yang berwakaf. Jika telah ditentukan wakafnya untuk penggunaan tertentu. Kalau ditaruh di tempat yang bukan ditentukan oleh agama atau di tempat yang telah ditentukan dari orang yang wakaf, maka dia harus mengganti hartanya (dananya).
Al-Qarafi rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa setiap orang yang menduduki jabatan, dari khalifah dan jabatan di bawahnya hingga wasiyat, tidak diperkenankan baginya berbuat sesuatu kecuali untuk mendatangkan kemaslahatan atau menolak keburukan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (سورة الأنعام: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.” (QS. Al-An’am: 152)
Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
من ولي من أمور أمتي شيئا ، ثم لم يجتهد لهم ولم ينصح ، فالجنة عليه حرام
“Siapa yang diberi suatu kekuasanaan dari urusan umatku, kemudian tidak berijtihad dan tidak memberi nasehat, maka surge diharamkan baginya.”
Demikian dari kitab ‘Al-Furuq’
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Umat Islam telah sepakat akan makna ini, bahwa wali wasiat yatim, petugas nazir wakaf dan wakil seseorang terhadap hartanya. Dibolehkan baginya melakukan untuk lebih baik dan lebih baik sebagaimana firman Allah ta’ala
وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ (سورة الأنعام: 152)
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih.” (QS. Al-An’am: 152)
Tidak mengatakan dengan yang baik saja.” Selesai dari Majmu’ Al-Fatawa, 28/250.
Beliau juga mengatakan, “Kalau petugas nazir dalam wakaf melampau batas seperti mendistribusikan harta kepada orang yang tidak berhak, baik untuk diri atau orang lain. Atau lalai seperti membiarkan mengeluarkan yang seharusnya dikeluarkan dari harta wakaf. Maka seharusnya kalau dia tidak konsisten, hendaknya dia diganti dengan petugas nazir lainnya yang dapat melakukan kewajiban. Atau menyatukan dengan seorang amin (yang dipercaya). Pemilik hak wakaf dapat meminta petugas nazir untuk dievaluasi terhadap apa yang dikeluarkan dan didistribusikan yang ditentuka dari tempat wakaf. Dan menentukan pegawai untuk melihat hartanya dan menunjukkan akan hal itu, apakah benar atau bohong apa yang diberitakannya. Disebutkan ketetapan dalam hadits shahih bahwa Nabi sallallahu alaiahi wa sallam memperkerjakan seseorang bernama ‘Ibnu Latibah’ ketika pulang dievaluasinya. Meskipun dia mempunyai kekuasaan untuk mendistribusikannya. Sementara yang berhak itu tidak ditentukan.
(Demikian dari kitab Mukhtasor Al-Fatawa Al-Misriyah, 1/401-402. Dilahkan dilihat juga Majmu’ Al-fatawa, 29/200-202).
Dari sini, perselisihan semacam ini di antara para amin wakaf masjid seputar siapa yang lebih berhak mengurus (masjid) tidak termasuk kemaslahatan masjid. Sementara mempergunakan dana masjid atasnya tidak termasuk merealisasikan maksud dari orang yang wakaf. Maka alokasi dana untuk biaya perselisihan semacam ini tidak sah.
Wallahu a’lam.