Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

Dalil-dalil Syar’I Terkait Bahwa Orang Jahil Itu Uzur Dalam Permasalahan Syirik Dan Kekufuran

Pertanyaan

Apakah kejahiliaan (ketidak tahuan) termasuk uzur dalam permasalahan kekufuran dan kesyirikan? Saya tahu anda telah menyebutkan di website hal itu merupkan suatu uzur. Akan tetapi saya ingin disebutkan dalil yang menunjukkan bahwa orang tidak tahu (jahil) itu uzur dalam permasalahan aqidah dan syirik secara rinci

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Orang tidak tahu (jahil) yang melakukan kekufuran dan kesyirikan tidak lepas dari salah satu dari dua perkara:

Pertama: dia non Islam baik dia dalam agama lain atau tidak beragama. Siapa yang kondisinya seperti itu, maka dia kafir. Baik dia mengetahui atau tidak tahu atau mentakwilkan. Tidak diberi hukum Islam di dunia dan dimumalahi dengan hukum orang kafir. Karena asalnya dia belum masuk agama Islam. Bagaimana kita menghukumi dengan keislamannya. Dia belum menyandarkan pada keislaman. Sementara di akhirat, kalau dia benar-benar jahil sementara dakwah Islam asalnya belum sampai kepadanya atau telah sampai tapi tidak jelas atau ada penyelewengan. Maka harus sampai hujjah orang seperti ini. Terkait nasib akhirnya di hari kiamat nanti, sangat panjang perbedaannya. Yang kuat diantara pendapat tersebut adalah dia akan diuji pada hari kiamat, siapa yang taat akan masuk surga dan siapa yang bermaksiat akan masuk neraka.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Telah diriwayatkan banyak atsar bahwa siapa yang belum sampai risalah kepadanya di dunia, maka akan diutus kepadanya seorang rasul pada hari kiamat di padang mahsyar.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (17/308. Telah ada penjelasan hal itu dalam jawaban soal no. 1244 dan 215066.

Kedua:

Dia bersandar kepada Islam. Dan telah ada ketetapan sifat keislamanan. Serta mengiklankan keislaman dan percaya penuh dengan Rasul sallallahu alaihi wa sallam. Orang semacam ini, kalau (melakukan) sesuatu ke arah kekafiran –karena ketidak tahuan- maka dia tidak dikafirkan dengan hal itu. Tidak terangkat sifat keislamannya sampai adanya hujjah dan penjelasan untuknya.

Syekh Abdurrahkan Sa’di rahimahullah mengatakan, “Setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Membenarkan keduanya, komitmen dengan ketaatan. Mengingkari sebagian apa yang datang dari Rasul karena ketidak tahuan atau tidak tahu bahwa Rasul telah membawakannya. Meskipun hal itu merupakan suatu kekufuran dan orang yang melakukan bisa menjadi kafir, Cuma ketidak tahuan dengan apa yang dibawa oleh Rasul menghalangi untuk disematkan kafir kepada orang tertentu. Tanpa dipisahkan antara permasalah pokok atau cabang. Karena kekufuran itu mengingkari dengan apa yang dibawa oleh Rasul atau mengingkari sebagiannya disertai dengan ilmu akan hal itu.

Dari sini anda telah mengetahui perbedaan antara orang taklid dari kalangan orang kafir terhadap Rasul dan antara orang mukmin yang mengingkari sebagian apa yang datang darinya karena ketidak tahuan dan kesesatan. Bukan didasari dengan keilmuan dan pembangkangan.” Selesai dari ‘Fatawa Sa’diyah, hal. 443-447.

Maka uzur karena ketidak tahuan (jahil) telah ada ketetapan pada setiap seorang hamba yang beragama kepada Tuhannya. Baik dalam masalah keyakinan, tauhid dan kesyirikan atau hukum-hukum fikih.

Yang menunjukan bahwa uzur seorang muslim dengan ketidak tahuan (jahil) dalam masalah keyakinan secara global dari dalil syar’I adalah sebagai berikut:

Pertama: Nash-nash syar’iyyah yang menunjukkan uzur orang yang tersalah seperti firman Allah Ta’ala:

( رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا )البقرة/ 286 .

“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” QS Al-Baqarah: 286.

Allah berfirman, “Sungguh Saya telah melakukan.“ sebagaimana dalam shoheh Muslim, 126

Dan firman Allah Ta’ala:

(وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا) الأحزاب/ 5

“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab: 5

Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

( إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) رواه ابن ماجه (2043) و حسنه الألباني

“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kekhilafan, lupa dan apa yang dipaksakan kepadanya.” HR. Ibnu Majah, 2043 dinyatakan hasan oleh Albani.

Nash-nash ini menunjukkan bahwa setiap orang yang menyalahi dari apa yang dibebankan kepadanya karena lupa atau ketidak tahuan (jahil) itu dimaafkan. Orang yang tersalah termasuk orang yang belum tahu (jahil) karena orang tersalah (mukhti’) itu semua orang yang menyalahi kebenaran tanpa sengaja.

Syekh Abdurrahman bin Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hal ini umum mencakup semua kesalahan apa yang dilakukan orang mukmin dari permasalah amal maupun khobar (nash). Selesai dari ‘Al-Irsyad Ila Ma’rifatil Ahkam, hal. 208.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Orang yang tidak tahu –tanpa diragukan- termasuk kesalahan. Dari sini kita bisa mengatakan, “Kalau seseorang melakukan apa yang mengharuskan ke arah kekufuran baik ucapan atau perbuatan karena ketidak tahuan bahwa hal itu suatu kekufuran. Maksudnya jahil terkait dengan dalil syar’I maka dia tidak dihukumi kufur.” Selesai Sayrkh Mumti’, (14//449).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Firman Allah dalam Al-Qur’an

( رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا )البقرة/ 286 .

“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” QS Al-Baqarah: 286.

Allah berfirman, “Sungguh Saya telah melakukan.“ tanpa membedakan antara kesalahan qot’I dalam masalah qotiyyah (paten) atau dzonniyah (persangkaan). Siapa yang mengatakan bahwa orang tersalah dalam masalah qotiyyah (pasti) atau dzonniyah (tidak pasti) itu berdosa, maka dia telah menyalahi Kitab, Sunah dan Ijma’ lama.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (19/210).

Beliau juga mengatakan,” Orang yang duduk bersamaku sudah memahammi tentang diriku. Bahwa saya termasuk orang yang paling keras dalam melarang untuk menyandarkan kepada orang tertentu pengkafiran dan penfasikan dan maksiat. Kecuali kalau telah ada kepadanya hujjah risalah dimana orang yang menyalahinya itu termasuk kadang kafir, kadang fasik atau terkadang bermaksiat. Saya telah menetapkan bahwa Allah telah mengampuni umat ini kesalahannya. Hal itu mencakup kesalahan dalam permasalahan khobar (informasi dari nash) baik perkataan dan masalah amaliyah.” Selesai dari Majmu Fatawa, (3/229).

Ibnul Arobi rahimahullah mengatakan, “Orang jahil (tidak tahu) dan orang tersalah di umat ini, meskipun melakukan kekufuran dan kesyirikan dimana pelakunya bisa musyrik atau kafir. Maka dia ada uzur karena ketidak tahuan dan kesalahan. Sampai jelas baginya hujjah (dalil). Dimana sampai dihukumi kafir orang yang meninggalkannya. Dengan penjelasan yang terang tidak ada kerancuan lagi semisalnya.” Selesai. Qosimi telah menukilnya di ‘Mahasin Ta’wil, (3/161).

Syekh Abdurrahman Al-Muallimy mengatakan, “Maka kami meskipun berbendapat dalam salah satu gambaran permintaan dan semisalnya. Sesungguhnya doa ini untuk selain Allah, ibadah serta kesyirikan. Bukan maksud kami bahwa setiap orang yang melakukan hal itu dianggap musyrik. Sesunggunya yang dikatakan musyrik adalah orang yang melakukan hal itu tanpa ada uzur. Sementara orang yang melakukan karena ada uzur, bisa jadi dia termasuk hamba pilihan Allah, orang yang terbaik dan paling bertakwa.” Selesai dari ‘Atsar Abdurrahman Al-Muallimy, (3/826).

Kedua: nash-nash yang menunjukkan bahwa hujjah Allah terhadap para hambanya tidak terlaksanakan kecuali setelah ada ilmu. Seperti firman Ta’ala:

(وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا) الإسراء /15

“Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” QS. Al-Isro’: 15

Dan firman Allah:

( رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا) النساء/165

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. An-Nisa’: 165

Dan firman-Nya:

(وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ) التوبة/115

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” QS. At-Taubah: 115

Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan bahwa hujjah tidak terlaksana kecuali setelah ada ilmu dan penjelasan.

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa orang yang terkena kewajiban (mukalaf) tidak terkena kewajiban syariyyah kecuali setelah ada ilmunya. Selagi tidak ada ilmunya, maka dia termasuk ada uzur.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan ketika menjelaskan ayat ini

( رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ) النساء/165

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.

Beliau mengatakan, “Faedah yang sangat agung sekali adalah uzur dengan ketidak tahuan. Sampai terkait masalah pokok agama. Karena para Rasul datang dengan membawa usul (pokok agama) dan cabangnya. Kalau seseorang itu tidak tahu dan tidak ada seorang utusan (Rasul), maka dia mempunyai alasan di hadapan Allah. dan tidak mungkin tetapnya hujjah di hadapan Allah kecuali dia ada uzur.” Selesai dari ‘Tafsir surat An-Nisa;, (2/485).

Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Hukum-hukum itu telah tetap bagi seorang hamba setelah tersampaikan dan sampai kepadanya. Sebagaimana tidak ada dampak baginya sebelum tersampaikan begitu juga tidak ada dampak baginya sebelum sampai kepadanya.” Selesai dari ‘Badai’ Fawaid, (4/168).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan dalam kitab ‘Arrod ‘Ala Ikhna’I’ tahqiq ‘Al-Inzi, hal. 206, “Begitu juga orang yang berdoa kepada selain Allah, berhaji kepada selain Allah juga musyrik. Dan perbuatannya kufur. Akan tetapi dia tidak mengetahui bahwa hal ini suatu kesyirikan yang diharamkan. Begitu juga kebanyakan orang masuk Islam dari bangsa Tartar dan lainnya mereka mempunyai patung kecil dari tanah dan lainnya, mereka mendekatkan diri dan mengagungkannya sementara mereka tidak mengetahui bahwa hal itu termasuk diharamkan dalam Islam. Dan tidak mengetahu hal itu termasuk kesyirikan. Ini kesesatan dan amalan yang ada kesyirikannya itu batil. Akan tetapi tidak layak mendapatkan hukuman sampai datang padanya hujjah. Allah Ta’ala berfirman:

فلا تجعلوا لله أندادًا وأنتم تعلمون

“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” QS. Al-Baqarah: 22

Ketiga: nash-nash yang ada didalamnya uzur bagi orang yang terjerumus dalam kesyirikan dan kekufuran. Diantara hal itu adalah:

1.Kisah seseorang yang memerintahkan untuk membakar dirinya dan mengingkari kemampuan Allah atasnya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa allam bersabda, “Ada seseorang berlebihan pada dirinya. Ketika akan datang kematian. Dia mengatakan kepada anaknya, “Kalau saya meninggal, maka bakarlah diriku. Kemudian jadikan abu diriku dan tebarkan di lautan. Demi Allah, kalau sekiranya Tuhanku mampu, pasti akan menyiksaku suatu siksaan yang tidak ada seorangpun diazab (sepertiku). Ketika meninggal dunia, maka dilakukan hal itu. Maka Allah memerintahkan bumi seraya berfirman,”Kumpulkan apa yang ada pada dirimu darinya. Maka (bumi) melakukannya. Maka dia berdiri. Dan (Allah) menanyakan, “Apa sebab anda melakukan hal itu? Dia menjawab, “Wahai Tuhanku, karena takut kepada-Mu. Maka Allah maafkan dia.” HR. Muttafaq ‘alaihi.

Perkataan yang keluar dari orang ini adalah kufur akbar keluar dari agama. Karena mengandung pengingkaran terhadap kekuasaan Allah mengumpulkannya setelah meninggal dunia. Dan sifat qudrah (kemampuan). Termasuk sifat yang paling nampak dan jelas. Termasuk kelaziman dalam rububiyah dan Uluhiyah Allah. bahkan ia termasuk sifat khusus Tuhan. Akan tetapi tidak dikafirkan karena dia ada uzur ketidak tahuan.

Ibnu Abdul Bar mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat terkait artinya, diantara mereka ada yang mengatakan orang ini tidak mengetahui sebagian sifat Allah Azza Wajalla yaitu kemampuan (Qudrah). Dia tidak tahu bahwa Allah terhadap segala sesuatu itu mampu. Mereka mengatakan, “Siapa yang tidak tahu diantara sifat-sifat Allah Azza Wajalla dan mengimani semua sifat-Nya serta mengetahuinya. Maka ketidak tahuan pada sebagian sifat-Nya itu menjadikan dia kafir. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya yang kafir itu orang yang menentang kebenaran bukan karena ketidak tahuan. Ini adalah pendapat ulama yang lalu (Mutaqoddimin) dan orang yang mengikuti jejaknya dari kalangan orang mutaakhirin (belakangan).” Selesai dari ‘Tamhid Fil Muwatho’ Min Ma’ani Wal Asanid, (18/42).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Orang ini ragu terhadap kemampuan (qudrah) Allah mengembalikannya ketika telah mejadi abu. Bahkan dia berkeyakinan bahwa itu dia tidak akan dikembalikan. Ini adalah termasuk kekufuran sesuai kesepakan orang-orang Islam. Bahkan dia tidak mengetahui akan hal itu, dan dia beriman takut kepada Allah akan disiksanya. Maka dia diampuni karena hal itu.” Selesai dari Majmu Fatawa, (3/231).

Beliau juga mengatakan, “Orang ini berkeyakinan bahwa Allah tidak mampu mengumpulkan kalau dia melakukan hal itu. Atau ragu-tagu bahwa dia tidak akan dibangkitkan. Kedua keyakinan ini adalah kufur. Dihukumi kafir kalau telah sampai kepadanya hujjah. Akan tetapi dia tidak tahu akan hal itu. Tidak sampai ilmu kepadanya yang dapat menghilangkan kebodohannya. Padahal pada dirinya ada keimanan kepada Allah dengan perintah dan larangan-Nya. Janji dan ancaman-Nya. Takut akan siksa-Nya. Maka Allah mengampuninya karena ketakutan kepada-Nya. Siapa yang tersalah dalam sebagian permasalahan keyakinan dari orang yang beriman kepada Allah, Rasul-Nya, pada hari akhir dan beramal sholeh. Kondisinya tidak lebih jelek dari kondisi orang ini. Maka Allah akan mengampuni kesalahannya. Atau mengazabnya kalau dia lalai dalam mengikuti kebenaran sesuai dengan kadar keagamaannya. Sementara menghukumi kafir kepada orang yang diketahui keimanannya hanya sekedar kesalahan akan hal itu, maka itu (perkara) yang berbahaya sekali.” selesai dari ‘Al-Istiqomah, (1/164).

Imam Syafi’I rahimahullah mengatakan, “Allah mempunyai nama dan sifat-sifat yang ada dalam kitab-Nya. Dan diberitahuan oleh NabiNya sallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya. Tidak seorangpun mampu menolaknya ketika sampai kepadanya hujjah. Karena Al-Qur’an turun atasnya. Dan sabda beliau sallallahu alaihi wa sallam yang benar dengannya. Siapa yang menyalahi akan hal itu setelah sampai hujjah kepadanya, maka dia kafir. Sementara bagi orang yang belum sampai hujjah kepadanya, maka dia ada uzur ketidak tahuan. Karena ilmu akan hal itu tidak dapatkan dengan akal, perenungan dan pemikiran. Kita tidak mengkafirkan seorangpun karena ketidak tahuan atasnya kecuali setelah sampainya khabar (nash) kepadanya.” Selesai dinukil dari ‘Siyar A’lamun Nubala’, (10/79).

2.Kisah Bani Isroil dengan Musa

Allah berfirman: 

( وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ * إِنَّ هَؤُلَاءِ مُتَبَّرٌ مَا هُمْ فِيهِ وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * قَالَ أَغَيْرَ اللَّهِ أَبْغِيكُمْ إِلَهًا وَهُوَ فَضَّلَكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ ) الأعراف / 138-140

“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Tuhan)." Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang seIalu mereka kerjakan. Musa menjawab: "Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. QS. Al-A’raf: 138-140.

Mereka meminta kepada Musa alaissalam untuk menjadikan patung dalam rangka mendekatkan diri beribadah kepada Allah sebagaimana orang-orang musyrik membuat patung untuk disembahnya.

Ibnu Jauzi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah kabar akan ketidak tahuan (jahil) mereka yang sangat agung. Dimana mereka menyangka diperbolehkan beribadah kepada selain Allah. setelah mereka melihat ayat-ayat.” Selesai dari ‘Zadul Masir, (2/150).

Syekh Abdurrahman Al-Muallimi rahimahullah mengatakan, “Terlihat dari jawaban Nabi Musa ‘Alaissalam meskipun beliau mengingkari atas kejahilan mereka. Tidak menjadikan permintaan mereka itu keluar dari agama. Yang menguatkan hal itu, mereka disini tidak terkena dosa. Sebagaimana mereka ketika membuat (patung) anak sapi. Seakan disini –wallahu a’lam—mereka ada uzur karena baru masuk (Islam).” Selesai dari ‘Majmu Rasail Al-Muallimi, (1/142).

3.Kisah Dzatu Anwat

Dari Abi Waqidi Al-Laitsi radhiallahu nahu berkata, kita keluar bersama Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ke arah Hunain. Kita melewati pohon bidara. Maka kami mengatakan, “Wahai Nabi Allah, tolong kita dibuatkan Dzati Anwat ini sebagaimana orang kafir mempunyai Dzati Anwat. Dahulu orang kafir menaruh senjatanya di pohon bidara dan berdiam di sekitarnya. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

( اللهُ أَكْبَرُ ، هَذَا كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ لِمُوسَى : (اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً) إِنَّكُمْ تَرْكَبُونَ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ" رواه الترمذي (2180) و صححه, ورواه الإمام أحمد (21900) واللفظ له ، وصححه الشيخ الألباني.

“Allah Maha Besar, ini sebagaimana yang dikatakan Bani Isroil kepada Musa, “Mohon buatkan kita Tuhan sebagaimana mereka mempunyai Tuhan-tuhan.” Sesungguhnya kamu semua akan mengikuti tatacara (sunah) orang-orang sebelum kamu.” HR. Tirmizi, 2180 dinyatakan shoheh. Diriwayatkan Imam Ahmad, (21900) dan redaksi baginya serta dinyatakan shoheh oleh Syekh Albani.

Mereka telah meminta kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam perbuatan itu adalah syirik besar. Yaitu agar disyareatkan bagi mereka menambatkan di pohon sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik. Oleh karena itu Nabi sallallahu alaihi wa sallam menjadikan perkataan mereka itu seperti perkataan Bani Isroil kepada Musa.

Muhammad Rosyid Ridho mengatakan, “Bahwa apa yang mereka katakan kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam seperti apa yang disebutkan. Mereka masih baru masuk (Islam keluar dari) kesyirikan. Mereka menyangka apa yang dijadikan Nabi untuk mereka akan hal itu, termasuk yang disyareatkan. Tidak meniadakan keislaman.” Selesai dari komentarnya atas kitab ‘Majmu Rosail Wal Masail Najdiyah, (4/39).

Syekh Abdurrozak Afifi ditanya tentang prilaku quburiyyun (orang yang mengagungkan kuburan) terhadap orang yang telah meninggal dunia. Dan mereka meminta darinya. Maka syekh rahimahullah menjawab, “Mereka itu murtad dari Islam kalau telah sampai kepadanya hujjah. Kalau belum sampai, maka mereka itu ada uzur karena ketidak tahuannya. Sebagaimana rombongan Dzatu Anwat.” Selesai dari ‘Fatawa Syekh Abdurraz Afifi, hal. 371.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Maka kita setelah mengetahui apa yang dibawa oleh Rasulu sallallahu alaihi wa sallam, kita tahu pasti bahwa tidak disyareatkan kepada umatnya seorangpun berdoa kepada mayit, tidak juga kepada para nabi, orang-orang sholeh atau selain mereka. Baik dengan lafadz istighotsah atau lainnya. Juga tidak juga dengan lafadz isti’adzah maupun lainnya. Sebagaimana tidak disyareatkan kepada umatnya bersujud kepada mayit maupun selain mayit dan semisal itu. Bahkan kita mengetahui melarang semua perkara tersebut. Bahwa hal itu termasuk syirik yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi karena kabanyakan tidak tahu (jahil) dan sedikitnya ilmu terkait dengan atsar risalah dikebanyakan orang-orang terakhir, tidak mungkin menghukumi kafir kepada mereka akan hal itu. Sampai jelas bagi mereka apa yang datang dari Rasul sallallahu alahi wa sallam dari penyimpangannya.” Selesai dari kitab ‘Raddu ‘ala Bikri, (2/731).

Syekh Abdul Muhsin Abbad rahimahullah mengatakan, “Doa kepada penghuni kubur, meminta bantuan kepadanya dan meminta diselesaikan kebutuhannya serta dihilangkan kesulitannya itu termasuk syirik akbar, dapat mengeluarkan dari agama. Dikatakan terhadap prilaku ini syirik dan kufur. Tidak dikatakan kepada setiap orang yang melakukan hal itu musyrik kafir. Karena siapa yang melakukan hal itu dalam kondisi tidak tahu, maka ada uzur ketidak tahuannya. Sampai ditunaikan hujjah dan memahaminya. Kemudian kalau masih bertahan akan hal itu, maka dihukumi dengan kekafiran dan murtad. Fitnah dalam kuburan termasuk permasalahan yang masih banyak orang rancu (memahaminya). Diantara orang yang hidup di lingkungan mengagungkan kuburan dan berdoa kepada penghuninya karena kecintaan kepada orang-orang sholeh. Apalagi diantara mereka ada orang yang mirip ulama yang dituakan dalam menghormati kuburan dan meminta bantuan kepada penghuninya. Mereka menyangka hal itu sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah.” selesai dari ‘Kutub Wa Rasail Allamah Abbad, (4/372).

4.Dari Huzaifah bin Yaman berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:

 

يَدْرُسُ الْإِسْلَامُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ، حَتَّى لَا يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلَا صَلَاةٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ، وَلَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي لَيْلَةٍ، فَلَا يَبْقَى فِي الْأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، فَنَحْنُ نَقُولُهَا ) .
فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَهُمْ لَا يَدْرُونَ مَا صَلَاةٌ، وَلَا صِيَامٌ، وَلَا نُسُكٌ، وَلَا صَدَقَةٌ؟
فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّهَا عَلَيْهِ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ.
ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: ( يَا صِلَةُ ، تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ) ثَلَاثًا. رواه ابن ماجه (4049) وصححه البوصيري في "مصباح الزجاجة (2/291), وصححه الألباني في "سلسلة الأحاديث الصحيحة" (1/171)

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya lukisan baju, sampai tidak mengetahui apa itu puasa, shalat, manasik dan shodaqah. Dan diangkat Kitabullah Azza wajallah waktu malam hari. Tidak ada satu ayatpun tersisa di atas bumi. Dan masih tersisa sekelompok manusia, tua renta dan orang tua. Mereka mengetakan, “Kami mendapatkan bapak-bapak kami kata-kata ini Lailaha illallahu dan kita mengucapkannya. Maka Silah (bin Zufar- mengatakan kepadanya, “Lailaha illallahu tidak bermanfaat bagi mereka, karena mereka tidak mengetahui apa shalat, puasa, manasik dan shodaqah? Maka Huzaifah berpaling darinya kemudian dibalas sampai tiga kali. Semuanya itu Huzaifah berpaling darinya. Kemudian pada yang ketiga beliau menghadap seraya mengatakan, “Wahai Silah, apakah mereka selamat dari neraka? Tiga kali. HR> Ibnu Majah, (40409) dinyatakan shoheh oleh Busoiri di ‘Misbahuz Zujajah, (2/291). Dan dinyatakan shoheh oleh Albanu di ‘’Silsilah Ahadits Shohehah, (1/171).

Hadits ini menunjukkan bahwa kaum tersebut tidak mempunyai keimanan kecuali secara global dengan mengikrarkan tauhid. Dan tidak mengetahui tentang Islam sedikitpun hanya sekedar ikrar yang mereka dapatkan dari bapak-bapak mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kebanyak orang tumbuh di tempat dan zaman dimana banyak ilmu kenabian telah hilang sampai tidak tersisa orang yang menyampaikan apa yang Allah utus Rasul-Nya dari Kitab dan sunah. Banyak yang tidak mengetahui dari apa yang Allah utus untuk Rasul-Nya. Karena disana tidak ada orang yang menyampaikan hal itu. Kondisi seperti ini, tidak boleh dikafirkan. Oleh karena itu, para imam bersepakat bahwa orang yang hidup di pedesaan jauh dari ahli ilmu dan iman. Dimana dia baru masuk Islam dan mengingkari sesuatu dari hukum syareat yang jelas mutawatir. Maka dia tidak dihukumi kafir sampai dia mengetahui apa yang datang dari Rasul.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (11/407).

Kesimpulannya:

Bahwa ketidak tahuan yanag menjadi uzur bagi seseorang dimana dia belum mengetahui akan kebenaran dan tidak disebutkan baginya termasuk diangkat dosa dan hukum atas pelakunya dengan kondisi amalan yang dimilikinya. Kemudian kalau dia bersandar pada Islam dan menyaksikan bahwa tiada tuhan yang patut disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. maka ia termasuk di dalamnya. Kalau dia tidak disandarkan pada umat Islam, maka hukumnya adalah hukum pemilik agama yang disandarkan kepadanya waktu di dunia.

Sementara kalau di akhirat, maka kondisinya seperti ahli fatroh (orang yang belum sampai dakwah kepadanya). Urusannya diserahkan kepada Allah Azza wajallah pada hari kiamat. Dan pendapat terkuat terkait dengan mereka adalah mereka diuji dengan kehendak Allah. siapa yang taat, akan masuk surga. Dan siapa yang bermaksiat akan masuk neraka.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Wa Rasail Syekh Ibnu Utsaimin, (2/128). Silahkan melihat jawaban soal no. 215338.

Untuk tambahan silahkan merujuk kitab ‘Isykaliyatul I’dzar Bil Jahli Fil Bakhtsil ‘Aqadi’ karangan Doktor Sulton Umairi.

Wallahu a’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam