Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Manhaj Yang Benar Terkait Beriman Dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Pertanyaan

Manhajku dalam masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah yaitu apa yang disebutkan oleh Allah Ta’ala tentang diri-Nya di dalam Al-Qur’an atau lewat lisan Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak lain hanyalah untuk mendekatkan pemahaman pada akal pikiran. Jika tidak demikian, ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu Allah. Sedangkan kelompok, golongan dan sekte tidaklah penting bagi saya.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Wajib mengimani nama dan sifat Allah yang telah Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya atau yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam akan hal itu tanpa melakukan Takyif (menyebutkan karakteristik), Tamtsil (menyebutkan sesuatu dengan yang semisalnya), Tahrif (mengubah lafaz dan makna) dan Ta’thil (mengingkari nama dan sifat Allah).

Hal itu termasuk beriman bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Bijaksana. Dan diantara sifat-sifat-Nya adalah mendengar, melihat, ilmu dan bijaksana, bersemayam, datang, senang, tertawa, marah dan ridha. Dia mempunyai wajah dan dua tangan, sebagaimana yang telah diberitahukan-Nya tentang diri-Nya sendiri dan yang diberitahukan oleh Nabi-Nya yang Ma’sum. Begitu pula nama-nama serta sifat-sifat lainnya.

Beriman akan hal itu termasuk beriman kepada Allah Ta’ala, yang merupakan dasar keimanan dan rukunnya yang agung.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan, “Di antara keimanan kepada Allah adalah beriman pada sifat-sifat yang Allah sifati sendiri dalam kitab-Nya nan mulia dan yang disifati oleh Rasul-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam tanpa  melakukan Tahrif, Ta’thil, Takyif dan Tamtsil. Akan tetapi beriman bahwa idak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.

Mereka tidak meniadakan apa yang telah disifati oleh diri-Nya sendiri. Tidak  menyelewengkan firman Allah dari tempat semestinya. Tidak mengingkari nama-nama dan ayat-ayat Allah. Tidak menyebutkan karakteristik (Takyif) dan tidak menyerupakan (Tamtsil) sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memiliki nama yang serupa dengan makhluk, tidak memiliki sesuatu yang setara dengan-Nya, tidak memiliki tandingan serta tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan makhluk-Nya. Dia lebih mengetahui diri-Nya sendiri dibandingkan yang lainnya, lebih benar perkataan-Nya, lebih baik ucapan-Nya dibandingkan dengan makhluk-Nya, kemudian para Rasul-Nya yang benar lagi membenarkan. Berbeda dengan orang-orang yang mengatakan tentang diri-Nya yang mereka ketahui tentang-Nya. Oleh karena itu Allah berfirman,

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ * وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ * وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” (QS. As-Shaffat : 180-182).

Maka Allah mensucikan diri-Nya dari sifat yang disifati orang-orang yang berseberangan dengan para Rasul, melimpahkan kesejahteraaan kepada para utusan, karena berkat mereka, Allah selamat dari kekurangan dan cacat yang mereka katakan. Allah  Subhanahu wa Ta’ala telah menghimpun Nafyi (Negasi) dan Itsbat (Afirmasi) pada nama dan sifat yang Dia sematkan pada diri-Nya sendiri.

Golongan Ahlus Sunah wal Jama’ah tidak boleh keluar dari ajaran yang telah dibawa oleh para Rasul, karena ia termasuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (Kitab Al-Wasithiyah beserta kitab penjelasnya karya Syaikh Khalil Haras, hal. 65).

Kedua.

Keselamatan adalah dengan mengikuti apa yang dilakukan para sahabat Nabi Sallallahu ’Alaihi wa Sallam dan menjauhi perbuatan yang dilakukan oleh golongan pemuja hawa nafsu dan bid’ah. Sungguh, Rasulullah Sallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda,

وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَة, ، قَالُوا : وَمَنْ هِيَ  يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : (مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي ( ، كما في حديث عبد الله بن عمرو عند الترمذي ( 2641. وحسَّنه ، وحسَّنه ابن العربي في " أحكام القرآن " ( 3 / 432 ) ، والعراقي في " تخريج الإحياء " ( 3 / 284 ) ، والألباني في " صحيح الترمذي

“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, ”Apa yang aku berada di atasnya dan beserta para sahabatku (yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan diamalkan beserta para sahabat).” Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Amr yang berada dalam Sunan At-Tirmidzi (2641) dan dihasankannya. Dihasankan juga oleh Ibnul Arabi dalam kitab Ahkamul Qur’an (3/432) dan Al-Iroqi dalam kitab Takhrij Al-Ihya’ (3/284), dan Al-Albani dalam kitab Shahih At-Tirmizi.

Jika anda ingin selamat, maka laluilah jalan para sahabat Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam yaitu jalan yang dilalui oleh para ulama salaf, mereka semua mengimani semua nama dan sifat Allah tanpa Ta’wil, Tahrif, Takyif dan Tasybih (mentakwilkan, tanpa mengubah, tanpa menanyakan bagaimana dan tanpa menyerupakan).

Sementara perkataan anda, ‘...tidak lain hanyalah untuk mendekatkan pemahaman pada akal pikiran. Jika tidak demikian, ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu Allah.

Jika maksud Anda bahwa kita tidak mengetahui hakikat sifat-sifat dan caranya, dan kita tidak mampu menjangkau ilmunya, maka hal ini benar. Kita mengetahui bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat. Bahwa pendengaran itu adalah mengetahui apa yang didengarnya dan penglihatan itu adalah mengetahui apa yang dilihatnya. Akan tetapi kita tidak mengetahui bagaimana pendengaran nan agung dan kita tidak dapat menjangkau ilmunya. Karena Allah Ta’ala mendengar semua suara dengan berbagai macam bentuk, bahasa, dan dialek pada satu waktu. Allah melihat segala sesuatu di alam atas dan alam bawah pada satu waktu. Hal ini kita tidak mengetahui bagaimana caranya dan kita tidak dapat menjangkaunya. Katakan pula hal yang sama pada semua sifat lainnya. Maka kita mengetahui sifat-sifat dari satu sisi, dan tidak mengetahui pada sisi lainnya. Kita mengetahui dari sisi ketetapannya dan mengetahui artinya, dan kita tidak mengetahui dari sisi mengenal cara dan hakikatnya.

Hal ini tidak hanya terjadi pada nama-nama Allah dan sifat-Nya saja, bahkan semua urusan yang gaib dari kita yang tidak kita saksikan, seperti kenikmatan surga. Kita mengetahui ada khomr dan madu di dalamnya ada khomr, kita juga mengetahui arti hal itu sesuai dengan apa yang kita saksikan. Akan tetapi kita bisa pastikan bahwa khomr dan madu surga tidak seperti khomr dan madu yang ada pada kita.

Al-Allamah Al-Wasity Rahimahullah mengatakan,”Sifat-Nya itu diketahui secara global dan penetapan, tapi tidak masuk akal dari sisi karakteristik dan batasannya. Seorang Mukmin akan melihat dari satu sisi dan “buta” dari sisi lainnya, melihat dari sisi penetapan dan keberadaannya, tetapi “buta” dari sisi karakteristik dan batasannya. Dari sini bisa digabungkan antara Itsbat (Afirmasi) atas apa yang Allah sifati sendiri dan antara Nafyi (Negasi) atas Tahrif, Tasybih dan Waqf (tidak bersikap). Itulah yang diinginkan oleh Allah Ta’ala pada kita dalam menampakkan sifat-Nya kepada kita agar kita bisa mengenal-Nya, mempercayai hakekat-Nya serta meniadakan penyerupaan sesuatu dengan-Nya. (kitab An-Nasihah Fi Sifatir Rabb Jalla wa ‘Ala, hal. 41-42).

Jika yang Anda maksud bahwa sifat-sifat ini tidak ada hakikatnya dan ia dikatakan sekadar untuk mendekatkan pemahaman pada akal pikiran dan mengkhayal semata, maka ini adalah batil. Inilah yang menjadi pendapat orang-orang filsafat, bahwa hal itu termasuk khayalan-khayalan yang tidak memiliki hakikat. Pendapat itu hanya untuk kebaikan mayoritas orang agar mereka mempercayai tuhan.

As-Safarini Rahimahullah mengatakan, “Adapun orang-orang yang menyimpang dari jalan mereka itu ada tiga kelompok, yaitu ahli Takhyil, ahli Ta’wil dan ahli Tajhil.

Sementara yang disebut ahli Takhyil mereka adalah ahli filsafat dan orang yang mengikuti jalannya dari kalangan orang filsafat dan orang sufi. Mereka mengatakan bahwa perkara iman dan hari akhir yang disebutkan oleh Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam sesungguhnya itu semata khayalan dari hakikat, agar bermanfaat bagi kebanyakan orang, bukan menjelaskan kebenaran, juga bukan untuk menjelaskan petunjuk kepada makhluk serta bukan menjelaskan hakikat. Tidak ada yang melebihi kekafiran seperti ini kecuali kekufuran juga.

Adapun yang disebut sebagai ahli Ta’wil mereka adalah orang yang mengatakan bahwa nash-nash yang ada tentang sifat, Rasul tidak bermaksud agar orang meyakini kebatilan, akan tetapi beliau bermaksud ada makna-makna (yang lain) yang beliau tidak menjelaskan hal itu kepada mereka, juga tidak menunjukkannya, akan tetapi beliau ingin mereka melihatnya sehingga mereka mengetahui kebenaran dengan akal mereka, kemudian mereka berijtihad dengan memalingkan nash-nash itu dari kandungan yang ada di dalamnya. Maksudnya adalah untuk menguji mereka dan membebaninya dan menyusahkan pikiran dan akalnnya dengan memalingkan dari kandungan yang ada di dalamnya, dan mengenali kebenaran pada yang lainnya. Ini adalah pendapat orang filsafat, Jahmiyah dan Muktazilah serta siapa saja yang mengikuti jalannya. Tidak ragu lagi bahwa isi perkataan mereka ada maksud untuk menyesatkan, tidak memberi nasihat, serta bertolak belakang dengan apa yang dibawa oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan kasih sayang yang digambarkan oleh Allah. Mereka berpura-pura menolong sunnah. Sebenarnya mereka tidak menolong Islam sama sekali, juga tidak memberantas filsafat. Tetapi mereka membukakan pintu untuk pelaku penyelewengan dan membuat aliran kebatinan Qaramithah, yang merupakan pelaku kerusakan, berkuasa untuk menyelewengkan hadits dan Al-Qur’an.

Sementara yang disebut ahli Tajhil adalah mereka yang mengatakan bahwa Rasul tidak mengetahui makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepadanya. Jibril juga tidak mengetahui arti ayat-ayat sifat. Para ulama generasi terdahulu tidak mengetahui hal itu. Mereka juga berpendapat yang sama tentang hadits-hadits sifat. Rasul berbicara dengan perkataan yang tidak tahu artinya. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan orang  mengafiliasikan dirinya pada sunah dan pengikut ulama salaf. Mereka mengatakan tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat, “Tidak mengetahui ilmunya, kecuali Allah.” Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala,

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ

...padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.” (QS. Ali Imron : 7).

Mereka mengatakan, “Sesuai dengan yang tampak.” Dan yang tampak itu selaras dengan  perkataan mereka, “Ia mempunyai takwil dengan makna seperti ini, yang tidak diketahui, melainkan oleh Allah.” (kitab Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, 1/116).

Untuk menambah wawasan silakan lihat pertanyaan no. 20760 dan no. 178915 .

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam