Alhamdulillah.
Pertama:
Wahyu telah memberikan petunjuknya terkait hikmah umum dari disyari’atkan haji dan umroh, di antaranya adalah sebagaimana yang telah disebutkan secara global di dalam Al Qur’an:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ، ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
الحج 27 – 30:
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”. (QS. Al Hajj: 27-30)
- Haji dan umroh dan manasik pada keduanya dalam rangka menghadirkan tauhid kepada Allah Ta’ala, karena meninggalkan perkataan dusta, termasuk meninggalkan syirik dengan semua penampakan, jenis dan tingkatannya, dan menjadikan kesempurnaan haji dan umroh hanya untuk Allah semata.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
البقرة 196 .
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196)
Dan dari Jabir bin Abdullah –saat beliau menjelaskan sifat dari hajinya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
... فَأَهَلَّ بِالتَّوْحِيدِ : لَبَّيْكَ اللهُمَّ، لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ، وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ
رواه مسلم (1218(
“Seraya beliau memulai dengan kalimat tauhid: “Ya Allah kami datang memenuhi panggilan-Mu, kami datang memenuhi panggilan-Mu yang tidak ada sekutu bagi-Mu kami datang memenuhi panggilan-Mu, sungguh pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu”. (HR. Muslim: 1218)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Adapun haji adalah hal lain yang tidak bisa diketahui kecuali oleh mereka yang lurus di mana mereka membidik cinta dengan anak panah, posisinya teramat agung untuk bisa diungkapkan, hal itu hanya ada pada agama yang lurus ini, hingga dikatakan terkait dengan firman Allah Ta’ala:
حُنَفَاءَ لِلَّهِ
“Dengan ikhlas kepada Allah”. (QS. Al Hajj: 31)
Maksudnya adalah mereka para jama’ah haji.
Dan Allah telah menjadikan masjidil haram sebagai tiang bagi manusia, tiang dunia yang bertumpu di atasnya bangunannya, kalau saja manusia telah meninggalkan haji dalam satu tahun, maka langit akan tersungkur ke bumi, demikianlah yang telah disampaikan oleh sang penerjemah Al Qur’an Ibnu Abbas, beliau berkata: “Masjidil haram adalah tiangnya dunia, maka ia akan senantiasa berdiri dan rumah Allah tersebut akan senantiasa (dikunjungi) oleh para jama’ah haji”.
Haji itu menjadi ciri khusus dari Hanifiyah (agama yang lurus) karena menjadi pondasi dari pada tauhid semata dan kecintaan yang ikhlas”. (Miftah Daar As Sa’aadah: 2/869)
Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata:
“Haji itu semuanya sebagai ajakan untuk mentauhidkan-Nya, istiqamah di atas agama-Nya, tetap tegar berada pada apa yang karenanya Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diutus oleh-Nya, tujuan paling agung dari haji adalah mengarahkan manusia untuk mentauhidkan Allah, ikhlas beribadah kepada-Nya, mengikuti Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam kebenaran dan petunjuk dalam haji dan yang lainnya di mana Allah mengutus beliau karena-Nya”.
Talbiyah saat pertama kali jama’ah haji dan umroh tiba adalah:
لبيك اللهم لبيك، لبيك لا شريك لك لبيك
“Aku memenuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku memenuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, aku memenuhi panggilan-Mu”.
Ia mendeklarasikan tauhidnya kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, dan bahwa Allah –Subhanahu- tidak ada sekutu bagi-Nya, demikian juga dalam bab thawaf, ia mengingat Allah dan mengagungkan-Nya, dan beribadah kepada-Nya semata dengan thawaf tersebut, dan melaksanakan sa’i dan beribadah kepada-Nya semata dengan sa’i tersebut, tidak karena tujuan lainnya, demikian juga (tahallul) mencukur gundul atau sebagian dari rambutnya, termasuk menyembelih hewan al Hadyu (sembelihan haji) dan hewan qurban, semua itu karena Allah semata, termasuk dzikir-dzikir yang dilantunkan di Arafah, Muzdalifah dan Mina, semuanya menyebut nama Allah, mentauhidkan-Nya, dan mengajak kepada kebenaran dan menjadi petunjuk bagi para hamba, dan yang menjadi kewajiban mereka adalah beribadah kepada Allah semata, dan agar mereka saling bergandengan tangan, saling tolong-menolong dan saling menasehati dalam hal tersebut”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 16/186-187)
- Haji adalah menegakkan dzikir kepada Allah Ta’ala, pada setiap manasik dari manasik-manasiknya terdapat dzikir kepada Allah Ta’ala, sebagaimana petunjuk dari ayat ini:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ
“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”. (QS. Al Hajj: 28)
Allah Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ ،فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا
البقرة 198 – 199
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu”. (QS. Al Baqarah: 198-199)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Bahkan hal itu –maksudnya dzikir- adalah ruh, inti dan tujuan dari haji, sebagimana sabda Nabi:
إنما جعل الطواف بالبيت، والسعي بين الصفا والمروة، ورمي الجمار: لإقامة ذكر الله
“Bahwa dijadikan thawaf di baitullah, sa’i di antara bukit Shafa dan Marwah dan melempar jumrah, untuk menegakkan dzikir kepada Allah”. (Madarikus Salikin: 4/2537)
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah ta’ala- berkata:
“Dzikir itu termasuk bagian dari manfaat yang disebutkan di dalam firman Allah:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan”. (QS. Al Hajj: 28)
Dihubungkannya dengan manfaat dari sisi menghubungkan sesuatu yang khusus kepada sesuatu yang umum, dan telah ditetapkan riwayatnya dari Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إنما جعل الطواف بالبيت والسعي بين الصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله
“Sungguh dijadikan thawaf di Baitullah, sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, dan melempar jumroh adalah untuk mewujudkan dzikir kepada Allah”.
Dan beliau juga telah mensyari’atkan bagi manusia sebagaimana yang ada di dalam Al Qur’an yaitu; menyebut nama Allah saat menyembelih, dan telah mensyari’atkan bagi mereka menyebut nama Allah saat melempar jumrah, dan setiap jenis manasik haji adalah dzikir kepada Allah, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Haji dengan semua aktifitas dan perkataannya semuanya adalah dzikir kepada Allah”. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baaz: 16/185-186)
- Dan di dalam manasik haji dan umroh akan terealisasikannya banyak manfaat diniyah dan duniawi bagi para jama’ah haji dan umroh, dan bagi penduduk tanah haram dan mereka yang mukim di sana, dan pada hikmah ini ayat tersebut memberikan isyarat:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka”. (QS. Al Hajj: 28)
Syeikh Abdurrahman As Sa’di –rahimahullah- berkata:
“Agar dengan Baitullah mereka mendapatkan manfaat diniyah, dari mulai ibadah utama, dan ibadah-ibadah yang tidak bisa dikerjakan kecuali di sana, dan manfaat duniawi, seperti penghasilan, dan mendapatkan keuntungan duniawi, semua itu adalah hal yang bisa dilihat oleh mata, semua orang mengetahuinya”. (Tafsir As Sa’di: 536)
Dan bagian dari manfaat ini adalah berkumpulnya umat Islam dari semua negara, mereka jadi saling mengenal satu sama lain, sebagian mereka mendapatkan manfaat dari sebagian lainnya, baik dari sisi ilmu, bisnis dan manfaat lainnya, persatuan mereka semakin bertambah dengan bersatunya keadaan mereka, penampakan mereka, dan tujuan dari perjalan mereka ini.
- Umat Islam tampak bersatu dengan penampilan yang bersatu pada tempat, waktu, aktifitas dan posisi. Mereka semua berdiri di masya’iril haram pada satu waktu, aktifitas mereka satu, posisi mereka satu, dengan dua helai kain atasan dan bawahan, tunduk dan hina di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla.
- Apa yang dihasilkan dari semua penyembelihan, dan hewan Al Hadyu yang wajib maupun yang sunnah, dalam rangka mengagungkan kehormatan Allah dan menikmatinya dengan mengkonsumsinya, menghadiahkan dan mensedekahkan kepapada fakir miskin.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Al Utsaimin: 24/241)
Kedua:
Adapun hikmah dari urutan manasik haji dan umroh begitu tampak:
Pertama dengan ihram dan talbiyah, dengan keduanya seorang muslim mengumumkan untuk memasuki manasik haji dan umroh, dan komitmen dirinya pada hukum-hukum keduanya, dan memulai melaksanakan thawaf saat sampai di Makkah; karena Baitullah adalah yang paling agung yang di dalam Haram, dan thawaf termasuk rukun haji dan umroh yang paling penting, maka menjadi hal yang sesuai dimulai dengannya bukan dengan yang lain, setelah selesai dengan amalan yang berkaitan dengan Baitullah, maka menjadi cocok untuk berpindah pada amalan lainnya, yaitu; sa’i antara bukit Shafa dan Marwah karena keduanya yang paling dekat dengan Baitullah, lalu mabit di Mina; karena menjadi persiapan untuk rukun terpenting dalam ibadah haji, yaitu; wukuf di Arafah, kemudian mabit di Muzdalifah; karena ia menjadi jalan untuk sisa manasik haji lainnya setelah thawaf ifadhah dari Arafah, maka menjadi sesuai jama’ah haji untuk beristirahat di sana untuk persiapan mengerjakan amalan pada hari Nahr (tanggal 10), kemudian berikutnya melempar jumrah; karena jumrah ada di Mina dan setelah Muzdalifah, dan tahallul serta qurban sesuai dilakukan pada hari tersebut; karena hari itu adalah hari raya idul Adha, kemudian melakukan thawaf di Ka’bah sebagai bentuk syukur kepada Allah untuk menyempurnakan amalan haji yang paling penting, kemudian berikutnya mabit di Mina –yaitu; tempat di mana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyembelih sembelihan hajinya- maka menjadi sesuai jika jama’ah haji bermalam di sana selama hari tasyrik (Tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah), untuk berdzikir kepada Allah dan menyembelih sembelihan haji, memakannya dan membagikannya.
Dari Nubaisyah al Hudzali berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ) وزاد في رواية ( وَذِكْرٍ لِلَّهِ )
رواه مسلم (1141).
“Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan dan minum”. Ada tambahan pada riwayat lain: “Dan untuk berdzikir kepada Allah”. (HR. Muslim: 1141)
Dan karenanya dilarang berpuasa pada hari-hari tasyrik, kecuali mereka yang tidak mendapatkan al Hadyu (hewan sembelihan haji).
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, dari Salim, dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhum- berkata:
لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ، إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الهَدْيَ
رواه البخاري (1997).
“Tidak ada keringanan pada hari-hari tasyrik untuk berpuasa di dalamnya, kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan sembelihan haji”. (HR. Bukhori: 1997)
Kemudian turun ke Makkah untuk melaksanakan thawaf wada’ dan jama’ah haji meninggalkan Makkah.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Adapun rahasia di dalam ibadah ihram ini, menjauhi kebiasaan, membuka kepala, menanggalkan pakaian biasanya, thawaf, wukuf di Arafah, melempar jumroh, dan semua masya’ir haji; apa saja kebaikan yang telah disaksikan oleh akal sehat dan fitrah yang lurus, dan mengetahui bahwa yang telah mensyari’atkan hal ini tidak ada hikmah di atas hikmah-Nya”. (Miftah Daar As Sa’aadah: 2/869)
Sebagian para ulama telah melakukan ijtihad untuk mendapatkan hikmah yang terperinci untuk sebagian amalan haji dan umroh.
Dan yang dikatakan terkait hal itu adalah:
Hikmah Tidak Mengenakan Pakaian Yang Berjahit.
Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’ pernah ditanya:
“Kenapa Allah Ta’ala telah mengharamkan kepada para jama’ah haji untuk memakai pakaian yang berjahit, apa hikmah di balik hal itu ?”
Mereka menjawab:
Pertama:
Allah telah mewajibkan haji kepada orang mukallaf yang mampu mengadakan perjalanan ke sana, satu kali seumur hidup, dan Dia telah menjadikannya salah satu dari rukun Islam, hal itu termasuk perkara yang mudah diketahui di dalam agama, maka diwajibkan bagi seorang muslim untuk menunaikan kewajiban Allah tersebut, untuk mengharap ridha dari Allah dan melaksanakan perintah-Nya, mengharap pahala dan takut akan siksa-Nya, di sertai rasa percaya diri bahwa Allah Maha bijaksana dalam syari’at-Nya dan semua perbuatan-Nya, Maha penyayang kepada para hamba-Nya, Dia tidak mensyari’atkan kepada mereka kecuali yang akan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, dan manfaat luas yang akan kembali kepada mereka di dunia dan akhirat, dan kepada Tuhan kita Yang Maha Menguasai Maha Bijaksana Maha Suci sumber syari’at dan menjadi kewajiban seorang hamba adalah mengamalkannya dan berserah diri.
Kedua:
Ada banyak hikmah dengan disyari’atkannya pakaian yang tidak berjahit pada ibadah haji dan umroh, di antaranya adalah: mengingatkan keadaan manusia pada saat hari kebangkitan, karena mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam kondisi tanpa alas kaki dan telanjang kemudian mereka berpakaian, dan dalam mengingat kondisi di akhirat mengandung pelajaran dan hikmah, di antaranya: Menundukkan jiwa, menjadikannya merasakan kewajiban tawadhu’ dan mensucikannya dari noda kesombongan.
Di antara pelajaran lainnya adalah menjadikan jiwa merasakan mabda’(pondasi) berdekatan, persamaan, dan kesederhanaan, jauh dari kemewahan yang berlebihan, iba kepada orang-orang fakir dan miskin, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan ibadah sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan telah dijelaskan oleh Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
(Lajnah Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta’)
(Abdullah bin Qu’uud, Abdullah bin Ghadyan, Abdur Razzaq ‘Afifi, Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz)
(Fatawa Lajnah Daimah: 11/1790180)
Hikmah Thawaf dan Mencium Hajar Aswad.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Hikmah dari thawaf Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskannya saat beliau bersabda:
إنما جعل الطواف بالبيت والصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله
“Sungguh telah dijadikan thawaf di Baitullah, Shafa dan Marwah, melempar jumrah untuk menegakkan dzikir kepada Allah”.
Seorang yang thawaf di sekitar Baitullah ia melaksanakannya dengan hatinya untuk mengagungkan nama Allah Ta’ala yang akan menjadikannya sebagai orang yang berdzikir kepada Allah, dan pergerakannya dengan berjalan dan mencium, mendapatkan hajar aswad, rukun yamani, memberikan isyarat pada hajar aswad dalam rangka mengingat Allah; karena hal itu bagian dari ibadah kepada-Nya, dan setiap ibadah adalah dzikir kepada Allah dengan makna yang umum, adapun apa yang diucapkan oleh lisannya dari mulai takbir, dzikir, dan do’a maka begitu tampak termasuk bagian dari dzikir kepada Allah Ta’ala.
Adapun mencium hajar aswad hal termasuk ibadah; di mana manusia mencium batu yang tidak ada kaitan dengan dirinya, kecuali hanya dalam rangka beribadah kepada Allah dengan mengagungkan-Nya dan mengikuti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal itu, sebagaimana yang telah ditetapkan riwayatnya bahwa Amirul Mukminin Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata saat mencium hajar aswad:
إني لأعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت رسول الله يقبلك ما قبلتك
“Sungguh saya mengetahui bahwa kamu adalah batu, tidak membahayakan dan tidak mendatangkan manfaat, kalau saja saya tidak melihat Rasulullah menciummu maka saya tidak akan menciummu”.
Adapun apa yang dianggap oleh sebagian orang-orang bodoh bahwa yang dimaksud dari amalan tersebut adalah bertabarruk (mencari barakah) dengannya, maka hal ini tidak ada dasarnya, maka menjadi batil”. (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syeikh Ibnu Utsaimin: 2/318-319)
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Al Mahlab berkata: “Sungguh telah disyari’atkan mencium –hajar aswad- itu sebuah ujian, agar diketahui dengan nyata ketaatan orang yang taat, dan hal itu mirip dengan kisah dari iblis yang telah diperintah untuk bersujud kepada Adam, dan pada ucapan Umar ini adalah bentuk penyerahan diri kepada pembuat syari’at dalam urusan agama dan mengikuti dengan baik dalam hal-hal yang belum nampak makna (yang terkadung di baliknya)”.
Hal itu merupakan kaidah agung untuk mengikuti Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- terkait dengan apa yang beliau amalkan, meskipun belum diketahui hikmah di balik hal tersebut. (Fathul Baari: 3/463)
Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda terkait dengan hajar:
وَاللَّهِ لَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ، يَشْهَدُ عَلَى مَنْ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ
رواه الترمذي (961) وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. وصححه الألباني في "صحيح سنن الترمذي" (1 / 493).
“Demi Allah, niscaya Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat dengan mempunyai kedua mata yang bisa melihat, dan lisan yang bisa bicara, dengan bersaksi atas orang yang telah mendapatkannya (menciumnya) dengan benar”. (HR. Tirmidzi: 961 dan ia berkata: “ini adalah hadits hasan, dan telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi)
Adapun terkait dengan Sa’i di antara bukit Shafa dan Marwah.
Syeikh Muhammad Amin As Syinqithi –rahimahullah-:
“Adapun hikmahnya sa’i, telah dijelaskan di dalam nash yang shahih, yaitu yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori di dalam Shahihnya dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- terkait dengan kisah Nabi Ibrahim saat meninggalkan ibunda Hajar dan Ismail di Makkah, bahwa beliau telah meletakkan di sisi keduanya sebuah wadah yang ada kurmanya, dan wadah lain berisi air, dan di dalam hadits shahih tersebut berbunyi:
وجعلت أم إسماعيل ترضع إسماعيل، وتشرب من ذلك الماء، حتى إذا نفد ما في السقاء عطشت، وعطش ابنها، وجعلت تنظر إليه يتلوى، أو قال: يتلبط، فانطلقت كراهية أن تنظر إليه، فوجدت الصفا أقرب جبل في الأرض يليها، فقامت عليه، ثم استقبلت الوادي تنظر هل ترى أحدا، فلم تر أحدا، فهبطت من الصفا حتى إذا بلغت الوادي رفعت طرف درعها، ثم سعت سعي الإنسان المجهود، حتى جاوزت الوادي، ثم أتت المروة فقامت عليها، ونظرت هل ترى أحدا، فلم تر أحدا، ففعلت ذلك سبع مرات ) قال ابن عباس: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ( فذلك سعي الناس بينهما الحديث.
“Dan Ibunya Ismail mulai menyusuinya, dan beliau meminum air tersebut, sampai air yang di wadah tersebut habis, lalu beliau dan anaknya merasa kehausan, beliau melihat anaknya mulai resah atau bingung, beliau pun bergegas pergi karena tidak mau melihat anaknya (dalam kondisi seperti itu), beliau pun mendapati bukit Shafa gunung terdekat yang ada, beliau pun berdiri di sana, lalu menghadap ke lembah melihat apakah ada orang, ia pun tidak melihat ada orang, lalu beliau turun dari Shafa sampai di lembah dengan mengangkat ujung hastanya, kemudian beliau bersa’i (jalan cepat) seperti orang berjalan yang bersungguh-sungguh hingga melewati lembah tersebut, lalu tiba di bukit Marwah, ia pun berdiri di atasnya, dan melihat apakah ada orang, ia pun tidak melihat seorang pun, beliau melakukan hal itu sebanyak tujuh kali”. Ibnu Abbas berkata: “Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Maka itulah ibadah sa’inya manusia di antara keduanya”. (Al Hadits)
Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hadits ini: “Maka itulah ibadah sa’inya manusia di antara keduanya”, merupakan isyarat yang cukup akan hikmahnya sa’i antara Shafa dan Marwah; karena Hajar telah melakukan sa’i di antara keduanya seperti yang telah disebutkan sedang ia dalam kondisi sangat membutuhkan, dan sangat berharap kepada Rabbnya; karena buah hatinya Ismail ia melihatnya sedang gelisah kehausan di negeri yang tidak ada air dan juga tidak ada teman, kondisi Hajar juga dalam kelaparan dan kehausan dan sangat butuh kepada Pencipatanya –Jala Jalaluhu-, ia dalam kondisi sulit untuk mendaki gunung ini, jika ia tidak melihat apapun ia pun berlari ke gunung yang kedua mendakinya untuk melihat seseorang, maka Allah menyuruh manusia untuk melakukan sa’i di antara Shfa dan Marwah agar mereka merasakan bahwa kebutuhan dan kefakiran mereka kepada Pencipta dan Pemberi rizekinya seperti kebutuhan wanita tersebut dalam waktu yang sempit dan dalam kesusahan yang besar (mengadu) kepada Pencipta dan Pemberi rizeki kepadanya; agar mereka semuanya mengingat bahwa barang siapa yang taat kepada Allah seperti Ibrahim –semoga shalawat terlimpah kepada beliau dan kepada Nabi kita- yang Allah tidak menelantarkannya dan tidak menggagalkan doanya.
Inilah hikmah berharga yang nampak yang ditunjukkan oleh hadits yang shahih”. (Adhwa’ul Bayan: 5/342-343)
Hikmah Mabit/Bermalam di Mina
Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:
“Apa hikmah dari melempar jumrah dan mabit di Mina selama tiga hari, kami berharap dari anda yang terhormat untuk menjelaskan hikmah dari hal tersebut dan kami berterima kasih”
Beliau menjawab:
“Kewajiban seorang muslim adalah taat kepada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengikuti syari’at, meskipun ia belum mengetahui hikmahnya, Allah telah memerintahkan kepada kita untuk mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan mengikuti kitab-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”. (QS. Al A’raf: 3)
Dan Dia juga berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ
“Dan Al Qur'an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia”. (QS. Al An’am: 155)
Dia juga berfirman:
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
“Dan ta`atlah kamu kepada Allah dan ta`atlah kamu kepada Rasul (Nya)”. (QS. Al Maidah: 92)
Dia juga berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. Al Hasyr: 7)
Maka jika anda mengetahui hikmahnya Alhamdulillah dan jika anda tidak mengetahuinya maka tidak masalah.
Dan semua yang telah disyari’atkan oleh Allah ada hikmah di baliknya, dan semua yang telah dilarang oleh-Nya ada hikmah dibaliknya, baik kita mengetahuinya atau tidak mengetahuinya.
Maka melempar jumrah adalah jelas hal itu untuk menjadikan syetan tersungkur dan untuk taat kepada Allah –‘Azza wa Jalla-.
Dan bermalam di Mina, Allah Yang Maha Mengetahui hikmah di balik hal itu, dan mudah-mudahan hikmahnya adalah untuk memudahkan melempar jumrah jika bermalam di Mina supaya sibuk dengan berdzikir kepada Allah dan bersiap untuk melempar pada waktunya, jika ia mau ia akan pergi pada waktu yang ditentukan untuk melempar jumrah sesuai dengan waktu yang cocok baginya, jika tidak mabit di Mina mungkin ia akan terlambat atau tertinggal atau karena sibuk dengan hal lainnya. Dan Allah –‘Azza wa Jalla- Maha Mengetahui dengan hikmah –suhanahu wa ta’ala- dalam hal tersebut”. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Syeikh bin Baz: 380-382)
Hikmah Melempar Jumrah.
Syeikh Mumammad Amin As Syinqithi –rahimahullah- berkata:
“Ketahuilah bahwa tidak diragukan lagi bahwa hikmahnya melempar jumrah secara umum adalah taat kepada Allah dengan apa yang diperintahkan oleh-Nya, dan mengingat-Nya untuk mengerjakan kewajiban yang diperintahkan oleh-Nya melalui Nabi-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.
Abu Daud berkata di dalam Sunannya:
“Musaddad telah meriwayatkan kepada kami, dari Isa bin Yunus, dari Ubaidillah bin Abi Ziyad, dari Al Qasim, dari Aisyah berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إنما جعل الطواف بالبيت، وبين الصفا والمروة، ورمي الجمار لإقامة ذكر الله ...
“Sungguh dijadikannya thawaf di Baitullah, di antara Shafa dan Marwah, dan melempar jumrah adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah”.
Dan Ubaidillah bin Abi Ziyad tersebut adalah Al Qadah Abu Hushain Al Makkiy, sekelompok orang menganggapnya terpercaya, dan sebagian lainnya menganggapnya lemah, dan makna dari haditsnya ini adalah tidak diragukan lagi benar adanya, dan yang menjadi saksi dari kebenaran maknanya adalah firman Allah Ta’ala:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang”. (QS. Al Baqarah: 203)
Karena hal itu masuk pada dzikir yang telah diperintahkan, yaitu; melempar jumrah dalilnya adalah firman Allah setelahnya:
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya”. (QS. Al Baqarah: 203)
Hal itu menunjukkan bahwa melempar jumrah telah disyari’atkan untuk menegakkan dzikir kepada Allah sebagaimana hal itu nampak dengan jelas.
Namun hikmah ini adalah hikmah global, Al Baihaqi –rahimahullah- telah meriwayatkan di dalam Sunannya dari Ibnu Abbas secara marfu’ berkata:
لما أتى إبراهيم خليل الله عليه السلام المناسك، عرض له الشيطان عند جمرة العقبة، فرماه بسبع حصيات، حتى ساخ في الأرض، ثم عرض له عند الجمرة الثانية، فرماه بسبع حصيات، حتى ساخ في الأرض، ثم عرض له في الجمرة الثالثة، فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض. قال ابن عباس رضي الله تعالى عنهما: الشيطانَ ترجمون ، وملةَ أبيكم تتبعون
انتهى بلفظه من السنن الكبرى للبيهقي .
“Saat Ibrahim –khalilullah ‘alaihis salam- melakukan manasik, maka syetan menawarkan kepada beliau (sesuatu) di jumrah Aqabah, maka beliau melemparnya dengan tujuh kerikil hingga pergi, lalu ia pun menawarannya pada jumrah yang kedua, lalu beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil sampai pergi menjauh, kemudian ia menawarkannya lagi pada jumrah yang ketiga, beliau pun melemparnya lagi dengan tujuh kerikil sampai pergi menjauh”. Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Syetan itu kalian akan melemparnya, dan agama ayah kalian akan mengikutinya”. (Redaksi Sunan Kubro karya Al Baihaqi)
Al Hakim telah meriwayatkan hadits ini di dalam Al Mustadrak secara marfu’, lalu beliau berkata: “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan syaratnya kedua imam Bukhori dan Mulim, namun keduanya tidak meriwayatkannya”.
Atas dasar yang telah disebutkan oleh Al Baihaqi, maka dzikir kepada Allah yang disyari’atkan untuk melempar jumrah adalah menteladani Ibrahim dalam memusuhi syetan dan melemparnya dan tidak terikat dengannya, dan Allah berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim”. (QS. Al Mumtahanah: 4)
Maka seakan melempar jumrah ini adalah simbolis dan isyarat untuk memusuhi syetan di mana Allah telah memerintahkannya kepada kita, di dalam firman-Nya:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu)”. (QS. Fathir: 6)
Dan firman-Nya yang lain dalam rangka mengingkari orang yang wala’ kepada syetan:
أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain daripada-Ku, sedang mereka adalah musuhmu?”. (QS. Al Kahfi: 50)
Dan seperti yang diketahui bahwa melempar dengan batu termasuk bentuk permusuhan yang paling besar”. (Adhwa’ul Bayan: 5/340-341)
Inilah sebagian pendapat kami, dari apa yang telah dikatakan oleh para ulama terkait hukum amalan-amalan dalam ibadah haji, dan mayoritas di antaranya termasuk perkara ijtihadi, kebanyakan tidak ada nashnya bahwa itulah hikmah yang diinginkan dari disyari’atkannya rincian ibadah yang agung ini.
Oleh karenanya, ada sekelompok para ulama berpendapat bahwa amalan-amalan dalam ibadah haji tidak bisa dicerna oleh akal sehat, telah disyari’atkan dalam kondisi seperti itu untuk menjadi ujian sejauh mana ketaatan para hamba Allah kepada Rabb mereka, dan Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan apa yang ia kehendaki.
Ibnul Jauzi –rahimahullah- berkata:
“Ketahuilah bahwa hukum asal dari ibadah itu adalah masuk akal, yaitu; kehinaan seorang hamba di hadapan Tuhannya dengan berlaku taat kepada-Nya, karena shalat dalam ibadah termasuk tawadhu’ dan kerendahan yang difahami sebagai penghambaan”.
Dan dalam zakat adalah makna yang difahami sebagai bentuk sosial dan peduli.
Dan dalam puasa memecah syahwat diri untuk menuntunnya pada yang ia layani.
Dan meninggikan Baitullah dan membangunnya ada tujuannya tersendiri, dan di sekitarnya dijadikan sebagai haram untuk mengagungkan-Nya, dan berdatangannya banyak manusia dalam kondisi kusut seperti berdatangannya seorang hamba kepada Penolongnya dengan kondisi hina dan membutuhkan adalah sebuah perkara yang bisa difahami.
Setiap jiwa akan merasa bahagia dalam beribadah dengan apa yang ia fahami, maka kecenderungan diri kepadanya akan membantu dan mendorongnya untuk mengamalkannya, maka jiwa pun menjalankan tugas-tugas yang tidak ia fahami agar menjadi sempurna keterikatannya, seperti; sa’i, melempar jumrah, hal itu tidak ada bagian dari jiwa, tidak menjadikan kebiasaannya bahagia, akal tidak mengetahui maknanya, maka tidak menjadi pendorong untuk mengerjakan kewajiban, kecuali hanya perintah dan dengan keterikatan semata.
Dengan penjelasan ini akan mengetahui rahasia di balik ibadah yang rumit”. (Mutsirul Azmi as Sakin: 285-286)
Kesimpulannya wahai saudaraku…!
Bahwa yang disyari’atkan bagi seorang hamba saat mengamalkan ibadah haji dan umrah, hendaknya jama’ah haji dan umrah mengingat apa yang disyari’atkan untuk diamalkan, lalu ia pun mengamalkannya. Dan apa yang tidak disyari’atkan maka ia tinggalkan. Dan hendaknya ia berijtihad untuk mentadabburi dzikir-dzikir yang telah diurutkan oleh syari’at pada setiap amalan haji dan umrah, hal itu termasuk tujuan dari ibadah haji yang agung sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jama’ah haji dan umrah tidak meninggalkan waktu saat melaksanakan ibadah haji dan umrahnya berlalu dengan sia-sia, namun hendaknya berusaha untuk selalu berdzikir kepada Allah Ta’ala, sesuai dengan kemampuannya, dan mengagungkan syi’ar-syi’ar Rabbnya dengan sebenarnya pengagungan, Allah Ta’ala berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
الحج/32 .
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. (QS. Al Hajj: 32)
Dan untuk mengenali sifat ibadah haji dan umrah dan dzikir apa saja yang telah disyari’atkan di dalamnya silahkan merujuk pada beberapa soal berikut ini: 31822, 31819, 34744, 47732, 10508, 109246, dan 220989.
Wallahu A’lam