Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Arti “Ta’ala Jadduk” Pada Doa Istiftah

Pertanyaan

Hari ini saya menerima surat yang berisi:

“Bahwa mayoritas orang yang shalat telah melakukan kesalahan pada doa istiftah, mereka mengatakan: “Wa Ta’ala Jadduk” dengan jim yang fathah, ini kesalahan besar; karena Allah Ta’ala tidak ada bapak, tidak ada anak, tidak ada kakek. Yang benar adalah dengan ucapan: “Jidduk” dengan jim yang kasrah yang berarti keagungan bagi Allah, bagaimanakah kebenaran ucapan ini ?, bagaimanakah yang benar “Jadduk” atau “Jidduk”.

Ringkasan Jawaban

Di dalam hadits tertera “Wa Ta’ala Jadduk” dengan jim yang fathah, satu ucapan yaitu; keagungan. Tidak sah diucapkan dengan “Jidduk” dengan jim yang kasrah, karena hal itu merupakan berarti merubah ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengucapkannya dengan fathah. Dan tidak satupun dari para ulama –setelah dilakukan pencarian- pendapat lain pada bacaan hadits tersebut.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Imam Muslim (399) telah meriwayatkan di dalam shahihnya:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، كَانَ يَجْهَرُ بِهَؤُلَاءِ الْكَلِمَاتِ يَقُولُ: سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، تَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ

“Bahwa Umar bin Khattab dahulu membaca dengan keras kalimat-kalimat tersebut, beliau berkata: “Maha suci Engkau Ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, Nama-Mu Maha Berkah, dan Maha Tinggi keagungan-Mu, dan tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau”.

Redaksi ini telah diriwayatkan dengan marfu’ (kepada Nabi), dan mauquf (terhenti) kepada Umar dan sahabat Nabi lainnya.

Baca: As Sunan karya ad Daruquthni (2/58) dan setelahnya, Silsilah Ahadits as Shahihah: 2996 dan Sifat as Shalati an Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-: 93 karya Albani –rahimahullah-.

Para ulama ahli hadits, fikih, bahasa dan selain mereka telah memastikan bahwa kata “Al Jaddu” ini dengan jim yang fathah, dan mereka tidak menyebutkan yang lainnya.

Al Jaddu adalah al ‘adhamah (keagungan)

Arti hadits tersebut adalah “Maha tinggi keagungan-Mu”.

An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Tahdzibul Asma’ wal Lughat: 3/331

“Ucapan beliau pada doa istiftah: (وتعالى جدك)  dengan jim yang fathah yang artinya Maha Tinggi Keagungan-Mu”.

Dikatakan bahwa maksud dari Al Jaddu adalah al Ghina (Kekayaan), kedua makna tersebut baik, Al Khithabi tidak menyebutkan kecuali makna Al ‘Adhamah (keagungan), seperti firman Allah Ta’ala yang mengabarkan tentang jin:

 وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا

الجن/3 

“dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami”. (QS. Al Jinn: 3)

Maksudnya keagungan-Nya.

Al Ba’li berkata di dalam “Al Mathla’ ‘ala Abwabi al Muqanna’ (46):

“Wa Ta’ala Jadduka” dengan jim yang fathah.

Al Buhuti –rahimahullah- berkata di dalam Kasyfu al Qana’ (2/478):

“Wa Ta’ala jadduka, dengan jim yang fathah, maksudnya Maha Tinggi keagungan-Mu dan Maha tinggi kebesaran-Mu”.

Dan di dalam Hasyiyatu Ibnu Qasim kepada Ar Raudh al Murabba’ (2/22):

“Dan kata “Jaddun” dengan jim yang fathah, yaitu; keagungan, mendapat bagian, kebahagiaan, dan kekayaan. Dan kata Ta’ala adalah Maha Agung, disebutkan dalam bentuk perluasan, maka hal itu menunjukkan akan kesempurnaan ketinggian dan batas akhirnya, yaitu; Maha Tinggi keagungan-Mu, Maha Tinggi kebesaran-Mu, Maha agung di atas segala keagungan, Maha Tinggi keadaan-Mu dari semua keadaan, dan kekuasaan-Mu Maha kuat dari semua kekuasaan”.

Dan di dalam Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul Maram karya Al Bassam (2/169):

“(Jadduka) dengan jim yang fathah dan dal yang bertasydid, maksudnya; keagungan-Mu, kebesaran-Mu, dan kekuasaan-Mu”.

Kata “Jaddun” dengan jim berfathah ini telah terulang di dalam Al Qur’an al Karim dan Sunnah Nabawiyah.

Allah Ta’ala berfirman menceritakan tentang jin:

 وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلا وَلَداً

الجن/3  

“dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak (pula) beranak”. (QS. Al Jinn: 3)

As Sa’di (890) –rahimahullah- berkata:

“Maha tinggi keagungan-Nya, dan Maha suci nama-nama-Nya”.

Al Qurthubi –rahimahullah- (19/8) berkata:

“Jaddu Rabbina adalah keagungan dan kebesaran-Nya”.

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

رواه البخاري  844  ، ومسلم  593 

“Ya Allah, tidak ada penghalang dari apa yang telah Engkau berikan, tidak ada yang mampu memberi dari apa yang Engkau larang, dan tidak bermanfaat pemilik keagungan (karena) keagungan itu berasal dari-Mu”. (HR. Bukhori: 844 dan Muslim: 593)

Para ulama berkata:

“Tidak bermanfaat pemilik bagian, kekayaan dan kedudukan kecuali bagian, kekayaan dan kedudukan dari-Mu”. (Fathul Baari / Ibnu Rajab: 7/417)

Ibnu Rajab berkata terkait sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

 ولا ينفع ذا الجد منك الجد 

“Al Jaddu –dengan jim yang berfathah- maksud dari hadits ini adalah kekayaan, yang berarti tidak bermanfaat kekayaan orang yang memilikinya karena kekayaan itu berasal dari-Mu”.

An Nawawi berkata di dalam Syarah Shahih Muslim:

“Sabda beliau: “Dzal Jaddu” yang sudah dikenal adalah dengan jim yang berfathah, demikianlah penelitian para ulama terdahulu dan terkini”.

Ibnu Abdil Bar berkata:

“Sebagian mereka meriwayatkan dengan kasrah, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At Thabari: dengan fathah, ia berkata: As Syaibani berkata dengan kasrah, ini menyelisihi apa yang telah dikenal oleh ulama dalil naqli. Tidak diketahui orang yang berpendapat demikian selain beliau.

At Thabari dan generasi setelah beliau telah melemahkan pendapat dengan kasrah, mereka berkata: “Maksudnya –kelemahannya- adalah ijtihad, yaitu; tidak bermanfaat ijtihadnya orang yang berijtihad karena ijtihad berasal dari-Mu, karena yang bermanfaat dan akan menyelamatkan adalah rahmat-Mu”.

Dikatakan bahwa maksudnya yang mempunyai kebesaran, usaha sempurna mendapatkan dunia.

Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah bersegera untuk melarikan diri, yaitu; tidak bermanfaat pelarian orang yang bersegera melarikan diri darimu; karena dia berada di dalam genggaman dan kekuasaan-Mu.

Yang benar dan sudah dikenal adalah Al Jaddu dengan jim yang fathah, yaitu; bagian, kekayaan, keagungan dan kekuasaan, yaitu; tidak bermanfaat orang yang mempunyai bagian di dunia dengan harta, anak, keagungan, dan kekuasaan, karena semua itu berasal dari-Mu, yaitu; bagiannya tidak menyelamatkannya dari-Mu, karena yang akan bermanfaat dan menyelamatkannya adalah amal sholih, sebagaimana firman Allah:

 الْمَال وَالْبَنُونَ زِينَة الْحَيَاة الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَات الصَّالِحَات خَيْر عِنْد رَبّك 

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu”. (QS. Al Kahfi: 46)

Dengan ini menjadi jelas bahwa kepastian hadits “Wa Ta’ala jadduka” dengan jim yang fathah, satu pendapat, yaitu; keagungan.

Tidak benar jika disebut dengan jim yang kasrah (Jidduka) karena hal itu merubah ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengucapkannya dengan fathah. Tidak seorang pun dari para ulama –setelah dilakukan penelitian- pendapat lain untuk kepastian hadits tersebut.

Karena kalau dibaca dengan kasrah maka akan merubah makna hadits, kata Al Jiddu dengan kasrah adalah ijtihad (kesungguhan) dalam amal, lawan kata dari main-main, makna ini bukanlah yang dimaksud dalam hadits.

Menjadi kewajiban bagi orang yang ingin mengingatkan kesalahan manusia yang mereka alami, memastikan kebenaran ucapan sebelum menyebarkannya, apalagi jika masalahnya berkaitan dengan hukum syar’i dan hadits Nabi, sehingga tidak mendustakan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tanpa terasa, sehingga melarang hal yang benar dan menyuruh hal yang salah, maka akan termasuk mereka yang:

 الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعاً

الكهف/104

“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (QS. Al Kahfi: 104)

Wallahu A’lam

Refrensi: Al-Liqa Asy-Syahri 17