Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Perbuatan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- Yang Menjadi Syari’at dan Yang Tidak Menjadi Syari’at, dan Yang Khusus

Pertanyaan

Apa dalilnya untuk mengikuti Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada perilaku beliau, khususnya bahwa kaidah yang dianggap adalah dari sisi keumumannya, masih ada perbedaan pendapat di dalamnya. Apakah hukum asalnya adalah sebagai syari’at, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sama dengan umatnya dalam syari’at. Apakah di dalamnya terdapat kesepakatan dan apa dalilnya untuk mengikuti cara Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan jika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan perbuatan yang tersembunyi, lalu telah dilihat oleh salah seorang dari para sahabat, apakah dalam hal ini ia mengikuti seperti apa yang telah ia lihat, buang air kecil dengan berdiri, dan apakah saya boleh berfikir sebentar dalam masalah-masalah seperti ini ?, Iblis akan mengganggu saya pada saat saya mengikuti cara Nabi ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Perbuatan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bermacam-macam, sebagiannya adalah syari’at, dan sebagian yang lain adalah perilaku yang dilakukan karena tuntutan kebiasaan manusiawi seperti makan dan tidur, dan sebagiannya bisa memungkinkan keduanya sebagai syari’at dan kebiasaan manusiawi, seperti beliau berhaji naik kendaraan, dan beliau tidur setelah shalat sunnah subuh.

Dan adapun perbuatan beliau yang murni sebagai syari’at, seperti shalat beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, puasa, haji, dzikir, dan apa saja yang beriringan dengan anjuran beliau kepada umatnya, seperti siwak, membaca basmalah pada saat makan, masuk masjid dengan kaki kanan, dan lain sebagainya, maka dalam hal ini hukum asalnya adalah mengikuti beliau; berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

الأحزاب/21

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al Ahzab: 21)

Dan firman Allah Ta’ala:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

آل عمران/31

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali Imron: 31)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

الحشر/ 7

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (QS. Al Hasyr: 7)

Adapun perbuatan manusiawi, yang dilakukan karena tuntutan kemanusiaan dan kebiasaan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya, maka hal ini tidak diminta untuk menirunya.

Dan apa yang kemungkinan ada unsur syari’at dan kebiasaan manusiawi, maka hal ini ranah perbedaan pendapat.

Telah disebutkan di dalam Muraqi As Su’ud:

وفعله المركوز في الجبلهْ   **** كالأكل والشرب فليس مِلّهْ

من غير لمح الوصف والذي احتمل **** شرعا ففيه قل تردد حَصَلْ

فالحج راكبا عليه يجرى **** كضجعة بعد صلاة الفجر

“Dan perbuatannya yang terkonsentrasi pada kebiasaan manusiawi # seperti makan dan minum maka bukan termasuk agama

Tanpa menoleh pada sifat dan yang memungkinkan # menjadi syari’at,  maka di dalamnya sedikit dan masih terjadi perdebatan

Maka haji dengan berkendara telah dilaluinya # seperti tidur setelah shalat subuh

Dan ucapannya: “tanpa melihat kepada sifat”, yaitu; bahwa makan hukum asalnya adalah kebiasaan manusiawi, akan tetapi menjadikannya dengan tangan kanan, dan makan dari yang terdekat, membaca basmalah sebelumnya, maka hal ini termasuk yang disyari’atkan untuk diikuti.

Syeikh Amiin As Syinqithi –rahimahullah- berkata:

“Perbuatan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilihat dari sisi kebiasaan manusiawi dan sebagai syari’at dibagi menjadi 3 bagian:

Pertama:

Murni sebagai aktifitas kebiasaan manusiawi, yaitu; perbuatan yang menjadi tuntutan kebiasaan manusiawi dengan tabiatnya, seperti; berdiri, duduk, makan, minum. Maka hal ini tidak dilakukan untuk penetapan syari’at dan tidak untuk diikuti, maka seseorang tidak perlu berkata: “Saya duduk dan berdiri untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan dalam rangka mengikuti Nabi-Nya –shalllahu ‘alaihi wa sallam- karena beliau dahulu berdiri dan duduk; karena beliau tidak melakukan hal itu untuk disyari’atkan dan diikuti. Dan sebagian mereka berkata: “Perbuatannya sebagai kebiasaan manusiawi menuntut boleh, dan sebagian mereka berkata: “menuntut sunnah”.

Dan yang nampak dari apa yang telah saya sebutkan, bahwa beliau tidak melaksanakan hal itu untuk disyari’atkan, akan tetapi menunjukkan boleh saja.

Kedua:

Perbuatan beliau yang murni disyari’atkan, yaitu yang dilakukan untuk diikuti dan disyari’atkan, seperti gerakan shalat, manasik haji, disertai dengan sabda beliau:

خذوا عني مناسككم

“Ambillah manasik kalian dariku”.

صلوا كما رأيتموني أصلي  

“Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat”.

Ketiga:

Maksudnya di sini adalah perbuatan yang memungkinkan menjadi kebiasaan manusiawi dan menjadi syari’at.

Pastinya adalah kebiasaan manusiawi ini menjadi sesuai dengan tuntutan tabi’atnya, akan tetapi terjadi berkaitan dengan ibadah, bahwa terjadi di dalamnya, atau pada sarananya, seperti; berkendara dalam ibadah haji, karena berkendaranya beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada hajinya memungkinkan sebagai kebiasaan manusiawi, karena kebiasaan manusiawi menuntut beliau berkendara, sebagaimana beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkendara pada perjalanannya, tidak sebagai beribadah dalam berkendara tersebut, akan tetapi karena tuntutan kebiasaan manusiawi kepada beliau, dan memungkinkan untuk syari’at:

Karena beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengerjakannya saat beliau memakainya pada haji, dan berkata:

خذوا عني مناسككم

“Ambillah dariku manasik kalian”.

 Dan menjadi bagian dari masalah ini adalah: duduk istirahat pada shalat, dan kembali dari shalat ied melewati jalan yang lain selain dari jalan berangkatnya, dan tidur berbaring bertumpu pada rusuk sisi kanan, dan antara dua raka’at subuh dan shalat subuh, dan masuknya Makkah dari Kada’ dan keluar dari Kada, dan turun ke Muhasshab setelah nafar dari Mina, dan serupa dengannya.

(Dan di dalam setiap masalah ada perbedaan di antara para ulama; karena kemungkinannya menunjukkan untuk kebiasaan manusiawi dan untuk syari’at). Selesai. (Adhwa’ Al Bayan: 4/300)

Kedua:

Hukum asalnya adalah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengikut-sertakan umatnya dalam hukum, kecuali ada dalil yang menunjukkan kekhususannya.

Oleh karenanya bahwa para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- mereka berqudwah kepada beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada apa yang telah ia lakukan, dan mereka tidak bertanya kepadanya, apakah perbuatan ini khusus untuk beliau atau tidak ?, sebagaimana di dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melepas kedua saldalnya, dan mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah melihat anda melepas (sandal anda) maka kami juga melapasnya, dan berkata: “Maka semua orang melepas sandal mereka, lalu pada saat beliau beranjak, beliau bersabda: “

لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ ؟) فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا ، قَالَ : (إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا ، فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا ، فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالْأَرْضِ ، ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا رواه أحمد ( 17 / 242 ، 243 ) وصححه محققو المسند

“Kenapa kalian melepas sandal kalian ?, maka mereka berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah melihat anda melepas, maka kami juga melepasnya”. Lalu beliau bersabda: “Sungguh Jibril telah datang kepadaku dan memberitahukan bahwa pada keduanya ada kotoran, lalu jika salah seorang dari kalian mendatangi masjid, maka baliklah sandalnya dan lihatlah. Maka jika ia melihat ada kotoran maka gosokkanlah ke tanah, kemudian hendaknya ia shalat dengannya”. (HR. Ahmad: 17/242-243 dan telah dinyatakan shahih oleh para peneliti Al Musnad)

Bahkan sungguh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- marah kepada sebagian para sahabatnya, ketika mereka telah menisbatkan perbuatan yang telah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lakukan secara khusus.

Maka dari ‘Aisyah istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنِّي أُصْبِحُ جُنُبًا ، وَأَنَا أُرِيدُ الصِّيَامَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (وَأَنَا أُصْبِحُ جُنُبًا وَأَنَا أُرِيدُ الصِّيَامَ فَأَغْتَسِلُ وَأَصُومُ ) ، فَقَالَ الرَّجُلُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّكَ لَسْتَ مِثْلَنَا ! قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ ، فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ : ( وَاللَّهِ إِنِّي لأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَعْلَمَكُمْ بِمَا أَتَّبِعُ رواه أبو داود ( 2389 ) وصححه الألباني في " صحيح أبي داود

“Wahai Rasulullah, saya junub di pagi hari, dan saya ingin berpuasa, lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Dan saya junub di pagi hari dan saya ingin berpuasa, lalu aku mandi dan aku berpuasa”. Maka laki-laki tadi berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh anda ini tidak sama dengan kami !, Allah telah mengampunimu, dosa anda terdahulu dan yang akan datang, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- marah dan bersabda: “Demi Allah, sungguh aku berharap untuk menjadi orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling mengetahui apa yang aku ikuti”. (HR. Abu Daud: 2389 dan telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Abu Dauh)

Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata: “Dan tidak boleh dikatakan pada sesuatu yang telah dikerjakan oleh beliau -‘alaihis salam- bahwa hal itu khusus bagi beliau kecuali dengan dalil tekstual dalam hal itu; karena beliau –‘alaihis salam- telah marah kepada orang yang telah berkata demikian, dan segala sesuatu yang menjadikan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- marah, adalah haram”. Selesai. (Al Ihkam fii Ushuli Al Ahkam: 4/433)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Hukum asalnya adalah umatnya ikut serta dengan beliau dalam hukum, kecuali ada dalil yang mengkhususkannya, oleh karenanya Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- berkata:

اخرُجْ ولا تُكَلِّمْ أحدَاً حتى تَحْلِقَ رأسك وتنحر هَدْيك

“Keluarlah dan jangan bicara dengan seorang pun, sampai anda mencukur rambut anda, dan menyembelih hewan sembelihan haji anda”.

Dan saya tahu bahwa manusia akan mengikuti anda”. Selesai. (Zaad Al Ma’ad: 3/307)

Ketiga:

Setiap apa yang telah dinukil dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka terdapat rincian yang tadi disebutkan, jika tidak termasuk pada kebiasaan manusiawi, maka ia akan terletak untuk diikuti kecuali ditetapkan kekususannya dengan dalil, dan tidak ada perbedaan antara dilihat oleh sekelompok para sahabat atau dilihat oleh satu orang saja.

Buang air kecil hukum asalnya kebiasaan manusiawi, akan tetapi tata caranya dari mulai berdiri atau duduk, ini masuk kepada syari’at, dan berkaitan untuk diikuti; karena adanya larangan buar air kecil dengan berdiri, dan larangan ini merupakan syari’at dan haknya untuk diamalkan, kemudian dinyatakan bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukannya dengan berdiri, maka di sini dilihat tentang bagaimana cara menggabungkannya.

Ibnu Majah: 309 telah meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk buang air kecil berdiri akan tetapi ini merupakan hadits lemah. Al Bushury berkata di dalam As Zawaid: “Mereka bersepakat akan lemahnya hadits tersebut. Albani berkata: “Lemah sekali”.

Tirmidzi (12) telah meriwayatkan dari Umar, berkata:

رَآنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُولُ قَائِمًا، فَقَالَ: يَا عُمَرُ، لَا تَبُلْ قَائِمًا، فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ . والحديث ضعفه الترمذي والألباني.

“Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melihatku buang air kecil dengan berdiri, lalu beliau bersabda: “Wahai Umar, janganlah buang air berdiri”, maka aku tidak pernah kencing berdiri setelah itu”. (Hadits telah dinyatakan lemah oleh Tirmidzi dan Albani)

Al Bazzar telah meriwayatkan dari Buraidah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 من الجفاء أن يبول الرجل قائماً . والحديث أشار إليه الترمذي ، وقال إنه غير محفوظ.

“Termasuk hal yang asing/keras jika seorang laki-laki itu kencing dengan berdiri”. (Hadits ini diisyaratkan oleh Tirmidzi dan ia berkata: Hadits ini tidak terhafal)

Atas dasar itu, maka larangan kencing berdiri tidak sah dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Akan tetapi Tirmidzi (12) dan Nasa’i (29) dari Aisyah berkata:

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ، مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا قَاعِدًا  وصححه الترمذي والنسائي.

“Barang siapa yang telah menceritakan kepada kalian bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah buang air kecil dengan berdiri maka janganlah dipercaya, tidaklah beliau buang air kecil kecuali dengan duduk”. (Telah dinyatakan shahih oleh Tirmidzi dan Nasa’i)

As Syaukani berkata di dalam Nail Authar (1/16):

“Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak pernah buang air kecil dengan berdiri, akan tetapi petunjuk beliau untuk buang air kecil adalah duduk, maka kencing dengan berdiri adalah makruh.

Dan yang menunjukkan bolehnya kencing dengan berdiri adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Bukhori (224) dan Muslim (273) dari Hudzaifah berkata:

أَتَى النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا، ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ .

“Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendatangi tempat buang hajatnya suatu kaum, lalu beliau buang air kecil dengan berdiri, kemudian beliau meminta air dan saya membawakan air kepada beliau, lalu beliau berwudhu’”.

Al basathah: tempat pembuangan najis.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

“Telah ada keringanan padanya dari Umar dan Ali, Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, Sahl bin Sa’d, Anas, Abu Hurairah dan Urwah.             

Hudzaifah telah meriwayatkan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mendatangi tempat buang hajatnya suatu kaum, lalu beliau buang air kecil dengan berdiri”. (HR. Bukhori dan yang lainnya)

Dan semoga Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melakukan hal itu untuk menjelaskan kebolehannya, dan tidak melakukannya kecuali hanya satu kali.

Dan kemungkinkannya bahwa beliau berada di tempat yang tidak memungkinkan beliau duduk.

Dan dikatakan: beliau melakukan hal itu karena sakit pada bagian betisnya. Al Ma’bidh adalah apa yang ada di bawah lutut dari setiap hewan”. Selesai. (Al Mughni: 1/108)

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Telah ditetapkan dari Umar, Ali, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya, bahwa mereka buang air kecil dengan berdiri, dan hal itu menunjukkan boleh dan tidak makruh, jika aman dari percikannya. Wallahu A’lam

Dan tidak ada riwayat yang ditetapkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- larangan tentang hal ini sedikitpun. Wallahu A’lam. Selesai. (Fathul Baari: 1/330)

Lihat untuk faedah jawaban soal nomor: 9790 dan 176943

Keempat:

Sebaiknya waspada terhadap was-was karena hal itu merupakan penyakit dan keburukan, dan bukan termasuk was-was memahami agama, mengenali sunnah, dan bersemangat untuk mengikutinya.

Semoga Allah menambah ilmu dan semangat dalam kebaikan.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam