Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Secara asal Hewan Adalah Mubah, Sementara Dalam Sembelihan Dan Daging Adalah Haram

Pertanyaan

Ada kaidah fikih yang disebutkan oleh Allamah as-Sa’dy dalam nadhomnya yang menyatakan  bahwa prinsip asal tentang daging itu diharamkan. Sementara murid beliau Ibnu Utsaimin memberikan catatan bahwa hal itu tidak termasuk hewan. Bahkan (hewan-hewan) ini asalnya adalah mubah. Akan tetapi kaidah dalam daging ibarat hewan buruan yang jatuh di air atau sembelihan yang tidak diketahui penyembelihnya, dimana salah seorang syekh pernah berbicara seperti perkataan ini, ketika beliau menyebutkan kaidah ini dalam perkataan Allamah Ibnu Qoyyim, dan beliau mengingkarinya. Akan tetapi mengakui perkataan Ibnu Utsaimin bahwa jika alasan larangan dan alasan kebolehannya tumpang tindih, maka larangan itu lebih diutamakan. Dan menyebutkan permasalahan berburu kalau ia jatuh di air, beliau berdalil ketika menolak kaidah itu dengan para shahabat yang memakan keledai jinak sebelum diharamkannya. Dimana disana belum ada dalil yang menghalalkannya. Disebutkan bahwa belum ada perbedaan diantara para shahabat akan kehalalan daging. Adanya perbedaan ini setelah itu, ahlu fikih telah menyebutkan kaidah ini, apakah penyebutan mereka dalam kitab-kitabnya itu menjadikan secara umum dimana asalnya dalam daging dan hewan itu diharamkan? Diantara para ulama’ fikih terdahulu mengambil kaidah ini secara umum. Dan diantara mereka ada yang memberi batasan sesuai dengan perincian yang telah disebutkan oleh Syekh Ibnu Utsaimin bahwa hal itu mencakup daging saja bukan pada hewan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Asalnya dalam sembelihan atau daging itu diharamkan, maka tidak dihalalkan sembelihan kecuali kalau kita telah mengetahui bahwa ia telah disembelih sesuai dengan cara syariat Islam. Diantara perkataan ahli ilmu akan ketetapan asal ini adalah:

1. Nawawi rahimahullah mengatakan,”Di dalamnya ada penjelalasan kaidah yang penting yaitu kalau ada keraguan dari sembelihan hewan, maka tidak dihalalkan karena asalnya adalah diharamkan dan hal ini tidak ada perbedaan di dalamnya. Selesai dari Syarkh Shohih Muslim, (13/116).

2. Ar-Rofi’I rahimahullah mengatakan,”dan (hukum asal) Daging-daging itu juga tidaklah mubah, tidakkah anda melihat, jika hewan yang akan mati disembelih dan ragu gerakannya (hewan tersebut) ketika disembelih, apakah gerakannya adalah gerakan hewan yang sudah disembelih (sekarat) atau gerakan hewan yang hidupnya stabil , maka dalam hal ini yang berlaku adalah larangannya lebih kuat. Selesai dari kitab ‘Fathul Aziz Syarkh Al-Wajiz, (1/280).

3. ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan,”Kemudian jenis kedua: istishab wasyfi - memberlakukan ketetapan sifat hukum yang ada sampai ada ketetapan sifat hukum baru yang menyatakan sebaliknya. Dan ini adalah hujjah (dalil). Seperti memberlakukan ketetapan hukum kesucian dan hukum hadats, ketetapan berlanjutnya hukum  pernikahan, hukum kepemilikan dan ketetapan berlakunya beban tanggungan (kewajiban) atas apa yang menjadi tanggung jawabnya. Sampai ada ketetapan (sifat hukum) yang menyatakan sebaliknya. mengenai hal itu dalam sabdanya (Hadis) tentang berburu: (“Jika engkau mendapati binatang buruanmu jatuh ke air maka jangan kau makan; karena engkau tidak tahu air ataukah panahmu yang membunuhnya”). Dan sabdanya dalam hadis yang lain  (“Jika ada anjing lain yang bersamanya (anjingmu) maka jangan kau makan (hewan buruan tersebut) karena engkau membacakan basmalah pada anjingmu dan bukan pada anjing selainnya”).

Tatkala hukum asal dari sembelihan adalah pengharaman, dan (adanya) keraguan: Apakah terpenuhi syarat mubah atau tidak (pada sembelihan)? Maka binatang buruan tersebut tetap pada hukum asalnya yaitu haram”. Selesai dari kitab ‘I’lamul Muwaqi’in, (1/339 – 340).

Beliau juga mengatakan,”Sesungguhnya bab menyembelih itu diharamkan, kecuali apa yang telah dimubahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kalau sekiranya ada pertentangan antara dalil larangan dan (dalil) yang membolehkan (mubah). Maka mengamalkan dengan dalil larangan itu lebih utama berdasarkan tiga hal.

Pertama: Didukung oleh hukum asal pengharaman.

Kedua: Merupakan sikap kehati-hatian.

Ketiga: bahwa kedua dalil itu ketika saling bertentangan, maka keduanya akan gugur dan kembali kepada asalnya yaitu diharamkan. Selesai dari kitab ‘Ahkamu Ahli Dzimmah, (1/538, 539).

Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Apa yang asalnya itu dilarang, seperti hubungan badan, dan daging hewan, maka tidak dihalalkan kecuali dengan kayakinan kehalalannya baik dari sembelihannya ataupun dari akadnya. Kalau ada keraguan sesuatu dari hal itu karena nampak ada sebab lainnya, maka akan kembali kepada hukum asalnya dan dibangun atasnya. Maka dibangun pada hukum asalnya yaitu pengharaman. Oleh karena itu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang memakan binatang buruan yang didapatkan pemburu bekas panah orang lain yang bukan panahnya. Atau anjing lain bukan anjingnya. Atau mendapatkan jatuh di air dengan alasan, bahwa tidak diketahui apakah ia mati disebabkan sesuatu yang dimubahkan (matinya) atau karena yang lainnya. Selesai dari kitab ‘Jamiul Ulum Wal Hikam, hal. 93.

  1. Syekh Abduurahman As-Sa’di rahimahullah dalam Mandzumah Al-Qawaid berkata:

والأصل في الأبضاع واللحوم *** والنفس والأموال للمعصوم

تحريمها حتى يجيء الحلُّ *** فافهم هداك الله ما يُمَلُّ

“Secara asal dalam masalah jima’ dan daging ##  jiwa dan harta yang terpelihara

Itu diharamkan sampai datang yang dihalalkan ## Maka pahamilah semoga Allah memberikan petunjuk kepadamu kepada yang diharapkan”

Kemudian beliau rahimahullah mengatakan dalam penjelasannya:

Maksudnya bahwa prinsip asalnya hal-hal tersebut adalah haram sampai kita meyakini kehalalannya. asal dari jima’ adalah diharamkan, Al-Abdho’ adalah menggauli wanita, maka tidak dihalalkan kecuali dengan keyakinan kehalalannya. Baik dengan pernikahan yang sah atau memilikinya (sebagai budak). Begitu juga daging asalnya adalah haram sampai diyakini kehalalannya.

Oleh karena itu, apabila berkumpul dalam hewan sembelihan itu ada dua sebab mubah dan haram, dalam hal ini dikuatkan yang haram, (sehingga karena adanya 2 sebab ini) maka tidak dihalalkan sembelihan dan hewan buruan. Selesai dari kitab ‘Al-Majmu’ Al-Kamilah’ karangan Syekh As-Sa’di, fiqih, (1/142)

  1. Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,”Asalnya dalam sembelihan itu diharamkan, sampai kita mengetahui  bagaimana proses penyembelihannya. Hal itu karena diantara persyaratan dihalalkannya adalah bahwa ia disembelih dengan cara sesuai syareat (Islam).” Selesai dari ‘Fatatwa As-Soid, (hal. 26 – 27). Penyusun Abdullah At-Toyyar.

Kedua:

Sebagian memahami ungkapan beliau: Asalnya dalam hewan itu diharamkan, maksudnya adalah hewan yang disembelih, bahwa ia harus terbukti penyembelihan yang benar (secara syar’i), bukan dimaksudkan hewan-hewan yang masih hidup.

Diantara hal itu adalah ungkapan Al-Khottobi rahimahullah,”Binatang secara asalnya adalah diharamkan, sampai benar-benar yakin telah disembelih. Dan ia tidak dihalalkan dengan suatu perkara yang masih diragukan. Selesai dari ‘Ma’alim As-Sunan, (4/282).

As-Syatibi rahimahullah mengatakan,”secara asal jima’ itu dilarang. Kecuali dengan adanya sebab yang disyareatkan, dan hewan-hewan itu asal mengkonsumsinya itu dilarang, sampai terjadi penyembelihan dengan cara yang disyariatkan, dan selain itu dari perkara-perkara yang disyariatkan”. Selesai dari kitab ‘Al-Muwafaqat, (1/401)

Ketiga:

Sementara hewan hidup, asalnya itu dihalalkan kecuali apa yang dikecualikan. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

البقرة/29

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” QS. Al-Baqarah: 29

Dan ini adalah dalil asalnya dalam sesuatu itu mubah (halal). Dan itu termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan sampai ada yang menetapkan mengharuskan diharamkannya. Seperti larangan untuk memakannya seperti larangan memakan daging babi, keledai piaraan, atau memakan semua yang mempunyai taring dari hewan buas. Dan semua burung yang mempunyai cakar. Atau larangan untuk membunuhnya seperti larangan membunuh burung hud hud dan surod (shrike bird / burung cendet). Atau perintah untuk membunuhnya seperti perintah untuk membunuh ular, tikus atau adanya bahaya atau karena menjijikan (kotor) berdasarkan firman Allah ta’ala:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

الاعراف / 157

“dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. QS. Al-A’raf: 157.

Dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (18/336): Apa yang diperbolehkan untuk dimakan dari jenis hewan sangat sulit menghitungnya. Dan secara asal semuanya itu dihalalkan kecuali apa yang dikecualikan berikut ini:

Pertama, babi. Ia diharamkan dengan ketetapan dari Qur’an dan Sunnah dan Ijma’ (konsensus para ulama’).

Dan mereka berbeda pendapat selain dari hewan-hewan itu: jumhur (Mayoritas) Ulama’ fikih berpendapat bahwa tidak dihalalkan semua binatang buas yang mempunyai gigi taring seperti singa, macan, singa jantan, srigala, anjing dan selain dari itu. Juga tidak boleh dari jenis burung yang mempunyai cakar seperti elang, rajawali, burung nasar, jenis rajawali, dan jenis elang serta yang lainnya. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang memakan hewan yang mempunyai gigi bertaring dari binatang buas dan dari jenis burung yang mempunyai cakar.

Kemudian mereka berbeda pendapat dalam menghalalkan dan mengharamkan sebagian jenis hewan-hewan seperti kuda, anjing hutan, srigala dan berbagai macam burung gagak dan selain dari itu. Silahkan melihat perinciannya dalam ‘Mustholah Ath’imah (istilah-istilah seputar makanan).

Dalam mazhab Malikiyah dalam satu riwayat berpendapat bahwa boleh dimakan semua jenis hewan baik berupa gajah sampai semut dan cacing. Dan diantara keduanya kecuali manusia dan babi keduanya itu diharamkan sesuai dengan ijma’ (konsensus para ulama’).

Begitu juga dalam riwayat lainnya menurut mereka tidak diharamkan semua jenis burung. Dan ini pendapat Laits, Al-Auza’I, Yahya bn Said. Mereka berdalil akan keumuman ayat yang membolehkannya dan ini juga pendapat Abu Darda’ dan Ibnu Abbas. Sementara apa yang Allah diamkan termasuk yang diampuni-Nya.

Kedua:

Apa yang diperintahkan untuk membunuhya seperti ular, kelajengkeng, tikus dan semua binatang buas yang membahayakan seperti singa, srigala dan selain dari keduanya yang telah disebutkan.

Ketiga:

Hewan yang kotor (menjijikkan). Karena sesungguhnya diantara komponen pokok yang diakui dalam menghalalkan dan mengharamkan adalah yang terlihat bagus (enak) dan yang kotor (jelek). Dan ini menurut Asy-Syafi’i -rahimahulloh- adalah pokok yang agung dan umum. Pondasi dari perkara ini adalah firman Alloh -ta’ala-:

ويحرم عليهم الخبائث

“dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” QS. Al-A’raf: 157

Dan firman-Nya:

يسألونك ماذا أحل لهم قل أحل لكم الطيبات

“Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?." Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik.” QS. Al-Maidah: 4. Selesai

Silahkan melihat kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (5/132 – 147). Di dalamnya disebutkan perincian pembahasan tentang hewan darat itu ada tiga belas macam disertai dengan perbedaan yang ada.

Kesimpulannya:

Bahwasannya perbedaan antara hewan hidup, daging dan sembelihan adalah pembedaan yang sudah dimaklumi. Hewan hidup secara asal adalah mubah, berbeda halnya dengan daging dan sembelihan yang secara asal adalah haram

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya,”Asal daging itu apakah halal atau haram ?

Maka beliau menjawab,”Asal daging itu diharamkan, namun tidak demikian pada hewan. Dan secara asal hewan itu dihalalkan. Dan Asal daging itu diharamkan sampai kita mengetahu atau dalam persangkaan kuat daging tersebut adalah mubah/halal.

Maksudnya kalau kita meragukan bahwa hewan ini apakah halal atau haram? Maka ia halal sehingga kita bisa menyembelihnya dan memakannya. Akan tetapi kalau kita meragukan ada daging ini apakah disembelih atau bangkai? Maka secara asal itu diharamkan, sampai dalam perkiraan kuat bahwa hal itu halal. Selesai dari Bab Al-Bab Al-Maftuh, (9/234).

Wallahua’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam