Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Mengapa Malaikat Melakukan Beberapa Urusan Alam Semesta, Padahal Allah Ta’ala Tidak Memerlukan Bantuan Mereka

302845

Tanggal Tayang : 24-11-2024

Penampilan-penampilan : 866

Pertanyaan

Mengapa Allah Menunjuk beberapa malaikat untuk melakukan tugas tertentu, padahal Dia Sendiri bisa Melakunya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Diantara landasan  keimanan adalah iman kepada para malaikat yang mulia, dan bahwasanya Allah ta’ala Mempercayakan kepada setiap malaikat tugas yang harus dilaksanakan, dan diantaranya adalah tugas untuk mengatur beberapa hal yang berkaitan denga alam semesta, Allah ta’ala berfirman:

فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا

(dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia),) QS. An-Naziat :5

Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

Kalimat (dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia),): Ali, Mujahid, ‘Atha, Abu Shalih, Hasan, Qatada, ar-Rabi’ bin Anas dan as-Sudai mengatakan: “ mereka para malaikat – Hasan menambahkan: mengatur urusan mulai dari langit sampai bumi, dalam artian: mereka melakukan tugas itu dengan perintah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, dan tidak ada perbedaan pendapat tentang itu”, akhir kutipan dari “Tafsir Ibnu Katsir” (8/313).

Syeikh Abdurrahman as-Sa’adi rahimahullah ta’ala berkata:

“(dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia)), para malaikat diberikan tugas untuk mengurus beberapa urusan alam semesta dari atas sampai bawah, termasuk urusan hujan, tumbuh-tumbuhan, pepohonan, angin, lautan, gen, binatang, surga, neraka, dan lain sebagainya”, akhir kutipan dari “tafsir as-sa’adi” (hlm. 908).

Ibnu al-Qayyim rahimahullah berkata:

“setiap gerakan yang terjadi di langit dan bumi, baik berupa pergerakan planet-planet, bintang-bintang, matahari, bulan, angin, awan, tumbuhan, hewan, kesemuanya timbul dari para malaikat yang ditugaskan untuk mengurus langit dan bumi, sebagaimana firman Allah ta’ala:

فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا

(dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia),)

dan firman-Nya:

 فَالْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا

(dan demi (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi segala urusan,),

mereka inilah para malaikat dalam pandangan orang-orang mukmin dan pengikut para Rasul ‘alaihi wassalam.

Quran dan Sunnah menyebutkan jenis-jenis malaikat, dan mereka dipercayakan untuk mengurusi jenis-jenis makhluk, dan Allah Yang Maha Kuasa Mempercayakan malaikat tertentu untuk urusan gunung-gunung; malaikat tertentu untuk urusan awan dan hujan; malaikat tertentu untuk urusan Rahim yang mengurus dari mulai nuthfah sampai sempurna penciptaanya; malaikat tertentu untuk urusan hamba dan menjaganya; malaikat tertentu untuk memperhatikan apa-apa yang dikerjakan seorang hamba, lalu menghitung dan mencatatnya; malaikat tertentu untuk urusan kematian; malaikat tertentu untuk bertanya di kubur; malaikat tertentu untuk urusan planet-planet dan pergerakannya; malaikat tertentu yang mengatur matahari dan bulan; malaikat tertentu untuk mengendalikan api dan menyalakannya; malaikat tertentu yang bertugas untuk menyiksa penghuni neraka dan menghidupkannya kembali, malaikat tertentu yang bertugas menjaga dan mengurus surga dan isinya termasuk membangun, mananami, dan membuat sungai-sungainya, para malaikat adalah prajurit-prajurit Allah yang hebat, akhir kutipan dari “ighatsatul lahfan” (2/842).

Kedua:

Para malaikat, meski mendapatkan tugas untuk mengurusi sebagian urusan, tetapi itu adalah pengurusan atas izin dan perintah-Nya, mereka para malaikat ini hanya menjalankan apa yang diperintahkan.

Ibnul Qayyim rahimahullah ta’ala:

Kata malaikat bisa dimaknai sebagai utusan yang menjalankan perintah dari pihak lain, jadi mereka tidak ada urusan apapun dengan  suatu (perintah) tersebut, karena sumber semua perintah adalah dari Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, dan mereka para malaikat hanya menjalankan perintah-Nya.

(Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya, Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang ada di belakang mereka. Mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang Dia ridai dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.) QS. Al-Anbiya :27-28,

(Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (berkuasa) di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). QS. An-Nahl :50,

(Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.) QS. At-Tahrim :6,

para malaikat ini tidak turun tangan kecuali atas perintah-Nya, dan mereka tidak akan melakukan apapun kecuali atas izin-Nya, mereka adalah termasuk hamba-hamba Allah yang dimuliakan, mereka selalu bertasbih, Tidak ada seorang pun di antara mereka kecuali  yang telah diketahui kedudukannya yang tidak dapat dilampauinya, dan ia mengerjakan suatu pekerjaan yang diperintahkan kepadanya, tidak lalai  dan tidak melampauinya” akhir kutipan dari “ighatsatul lahfan” (2/843).

Ketiga:

Adalah sesuatu yang pasti dalam pandangan agama Islam, bahwa Allah ta’ala tidak melakukan sesuatu kecuali pasti ada hikmah dibaliknya baik yang diperlihatkan kepada kita maupun yang dibatasi oleh ilmu-Nya subhanahu wa ta’ala.

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hikmah dibalik penciptaan jin dan manusia.

Beliau rahimahullah menjawab:

“sebelum saya menjawab pertanyaan diatas, saya ingin menegaskan bahwa ada kaidah umum tentang apa yang Allah Ciptakan dan Allah Syariatkan, kaidah ini diambil dari firman Allah ta’ala :   وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ   dan firman-Nya:  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا    , dan ayat-ayat lainya yang menunjukkan dengan tegas bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap ciptaan dan syariat-Nya, artinya baik didalam hukum-hukum alam semesta, dan hukum-hukum syariat, oleh karenanya maka tidak ada satu ciptaan pun yang diciptakan oleh Allah kecuali ada hikmah dibaliknya, baik dalam penciptaanya maupun pembinasaanya, dan tidak ada satu aturan hukum islam pun yang dibuat kecuali ada hikmah dibaliknya, baik dalam hukum yang sifatnya wajib, haram, atau mubah.

Namun ketentuan hukum ini yang mencakup hukum alam dan hukum syara terkadang terlihat oleh kita dan terkadang tidak terlihat, dan juga terkadang terlihat oleh sebagaian orang saja dan tidak terlihat oleh selainnya, sesuai dengan apa yang Allah Anugerhakan kepada mereka dari ilmu dan pemahaman”, akhir kutipan dari “Majmu’ fatawa Syeikh Ibnu ‘Utsaimin” (1/87).

Keempat:

Kesempurnaan hikmah Allah ta’ala adalah keniscayaan bagi seorang muslim, dan menerimanya adalah landasan iman.

Imam as-Syafi’i rahimahullah mengatakan: “mengenai menyembah dan mencipta adalah terserah kehendak Allah melalui lisan Nabi-Nya, dan dia atau siapaun tidak bisa mempengaruhi mengapa, bagaiamana, atau menanggapi berita yang disampaikan melalui Rasulullah”, akhir kutipan dari “al-Umm” (10/16).

Dan pengetahuan tentang hal tersebut: mendorong setiap muslim untuk sibuk mejaga kebersihan jiwanya, dan tidak menyibukkan dirinya dengan memunculkan masalah-masalah yang tidak bermanfaat baginya, tetapi justru membuatnya larut dalam keraguan dan bisikan.

Ibnu Abi al-‘azz al-Hanafi rahimahullah berkata:

“ketahuilah bahwa landasan ibadah dan iman kepada Allah, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya adalah dengan berserah diri, dan tidak mempertanyakan rincian hikmah dibalik perintah-perintah, larangan-larangan, dan hukum-hukum syariah”

Untuk itulah, Allah Yang Maha Kuasa tidak menceritakan tentang suatu kaum yang membenarkan Nabinya dan mempercayai ajaranya, lalu kaum tersebut mempertanyakan kepadanya tentang rincian-rincian hikmah dibalik perintah dan larangan-Nya, dan ia (Nabi) menyampaikan itu dari Tuhannya, apabila kaum tersebut melakukan hal itu maka itu maknanya mereka tidak percaya kepada Nabinya, tetapi yang terjadi adalah mereka taat, berserah diri, dan tunduk.

Dan apa yang diperlihatkan dari hikmah, maka ia bisa melihatnya, dan apa yang tidak diperlihatkan hikmahnya, maka ketaatan dan berserah diri tidak bergantung pada pengetahuan tentang hikmah tersebut, dan hal tersebut bukanlah urusanya, dan jika semestinya demikian maka Rasul lebih berhak daripadanya untuk mempertanyakan hal itu.

Oleh karenanya, umat terdahulu yang merupakan umat yang paling sempurna daripada umat-umat sebelumnya dari sisi logika, pengetahuan, dan ilmu tidak mempertanyakan hal itu kepada Nabinya: mengapa Allah Menyuruh melakukan ini ? mengapa Melarang ini  ? mengapa Menentukan ini ? mengapapa Melakukan ini ? seakan-akan dengan itu mereka bertentangan dengan iman dan islam, dan bahwasanya keteguhan islam tidak kokoh kecuali pada tingkatan berserah diri.

Allah Tuhan Yang Maha Esa tidak dipertanyakan pada-Nya atas apa yang dikerjakan-Nya, hal itu karena kesempurnaan kebijaksanaan (hikmah), kasih sayang, dan keadilan-Nya, bukan karena semata-mata kePerkasaan dan Kekuasaan-Nya”, akhir kutipan dari “syarh at-thakhawiyah” (hlm. 261-262).

Allah ta’ala berfirman:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ

القصص/68

(Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.)

Kelima:

Ketika seorang muslim merenung tentang apa yang dilakukan para malaikat, maka akan terungkap aspek-aspek hikmah Allah Yang Maha Kuasa.

Dalam Allah menciptakan para malaikat dan tugas-tugasnya; menunjukkan kesempurnaan keTuhanan-Nya (rububiyah dan uluhiyah), dan apabila seorang muslim menelaah keagungan penciptaan para malaikat ini, jumlahnya yang begitu banyak, dan tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka, walaupun begitu tidak ada satu pun yang keluar dari perintah-Nya sekecil apa pun, bahkan mereka saling berlomba-lomba dalam mentaati-Nya, Maha Suci lagi Maha Esa.

Dan jika banyaknya jumlah tentara dan pekerja bagi raja-raja yang ada di dunia, menunjukkan kesempurnaan kekuasaan dan kekuatan pemerintahannya, kesempurnaan ketundukan rakyat kepadanya, maka makna seperti ini dalam Allah Tuhan Yang Maha Esa terpenuhi dalam bentuk yang lebih sempurna dengan diciptakannya para malaikat yang dimuliakan, dimana Allah ta’ala berfirman:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُكْرَمُونَ * لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ* يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُمْ مِنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ * وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُونِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ كَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِينَ 

الأنبياء/26 – 29 .

(Mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak.” Maha Suci Dia. Sebaliknya, mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak berbicara mendahului-Nya dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Dia (Allah) mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka (malaikat) dan yang ada di belakang mereka. Mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang Dia ridai dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Siapa saja di antara mereka (malaikat) yang berkata, “Sesungguhnya aku adalah tuhan selain-Nya,” maka (dia) itu Kami beri balasan dengan (neraka) Jahanam. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang zalim.) QS. Al-Anbiya :26-29.

Demikian juga halnya dalam bentuk malaikat, dan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya: bagi orang-orang yang membaca ayat-ayat wahyu tentang mereka akan timbul rasa takut dan ngeri yang sungguh kepada Allah ta’ala, dan pada saat yang sama timbul rasa cinta dan harapan yang utuh.

Dan apabila menelaah ayat-ayat wahyu tentang malaikat adzab, malaikat pencatat amalan hamba, maka seorang hamba akan semakin merasa takut.

Dan sebaliknya, apabila menelaah ayat-ayat tentang malaikat penyayang dan malaikat penjaga, maka akan timbul rasa cinta kepada Tuhan dan harapan ampunan-Nya, dan ini semua berujung pada terwujudnya iman sebagaimana hamba-hamba diperintahkan.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ ، تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

السجدة /15 – 16.

(Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, hanyalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengannya (ayat-ayat Kami), mereka menyungkur (dalam keadaan) sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya dan mereka pun tidak menyombongkan diri. Lambung (tubuh) mereka jauh dari tempat tidur (untuk salat malam) seraya berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut (akan siksa-Nya) dan penuh harap (akan rahmat-Nya) dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.) QS. As-Sajdah :15-16.

Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

“iman kepada para malaikat membuahkan banyak hal besar, diantaranya”:

  1. Ilmu tentang kebesaran Allah ta’ala, kekuatan-Nya, kekuasaan-Nya, karena sesungguhnya kehebatan makhluk adalah kehebatan Penciptanya.
  2. Rasa syukur kepada Allah ta’ala atas perhatian-Nya kepada bani Adam, dengan menugaskan para malaikat tersebut, ada yang bertugas menjaga mereka, ada yang mencatat amalan mereka, dan lainnya yang berkaitan dengan kemaslahatan mereka… akhir kutipan dari “majmu al-fatawa” (6/89).

Dan beliau rahimahullah berbicara tentang hikmah penciptaan para malaikat pencatat yang mulia, walaupun diketahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui dan tidak ada sesuatupun yang bisa disembunyikan dari-Nya baik yang kita sembunyikan maupun yang kita perlihatkan.

Hikmahnya adalah: menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengatur segala sesuatu dan menakarnya, mengendalikannya dengan pengendalian yang sempurna, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk urusan anak cucu adam dari apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka ucapkan, Allah Menciptakan malaikat yang bertugas mencatat apa-apa yang anak cucu adam lakukan, walaupun Allah  Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, sebelum mereka mengerjakannya (Allah sudah Mengetahuinya).

Namun semua itu demi menunjukkan kesempurnaan pemeliharaan Tuhan Yang Maha Esa terhadap manusia, dan kesempurnaan pelestarian-Nya Yang Maha Esa dan Maha Tinggi, serta bahwa alam semesta ini ditata  dengan system yang sebaik-baiknya, dan diatur dengan hukum-hukum yang sebaik-baiknya, akhir kutipan dari “Fatawa Noor ‘ala al-Darb” (1/185).

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam