Alhamdulillah.
Pertama:
Kaidah ‘Peristiwa Dikaitkan Dengan Waktu Yang Terdekat’, Maksudnya adalah ‘kalau terjadi perbedaan waktu terjadinya suatu perkara, dan tidak ada bukti yang menentukannya, maka perkara ini disandarkan kepada waktu yang terdekat dari suatu kondisi. Karena hal itu yang lebih meyakinkan, sementara waktu yang terjauh itu masih meragukan. Akan tetapi kalau Terdapat bukti penyandarannya ke waktu terjauh, maka dia harus mengamalkannya. (Mausu’ah Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah, karangan Doktor Muhammad Sidqi Al-Barnu, 12/316).
Terkadang diungkapkan dengan redaksi ‘Hukum asalnya, semua peristiwa diperkirakan kepada waktu yang terdekat.’ Atau dengan redaksi ‘Setiap peristiwa dialihrkan kepada waktu yang terdekat’.
As-Suyuthi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Asybah Wan Naza’ir, hal. 59, “Kaidah asal dari dalam suatu peristiwa adalah memperkirakan waktu terdekat.
Di antara contoh kasus dalam masalah ini, misalnya; Seseorang melihat mani di bajunya, namun dia tidak ingat waktu bermimpinya, maka dia harus mandi (besar) menurut pendapat yang terkuat. (As-Syafi’i) berkata dalam kitab ‘Al-Umm’, “Dan diwajibkan mengulangi semua shalat yang telah dia lakukan sejak tidur yang terakhirnya.”
Di antara contohnya juga: Seseorang mandi atau berwudhu, kemudian dia melihat sesuatu yang menghalangi sampainya air, baik berupa adonan atau bahan lainnya, sementara dia tidak mengetahui waktu terjadinya. Maka sesuai kaidah, kejadian tersebut diperkirakan terjadi setelah dia bersuci, sehingga dia tidak harus mengulangi mandi atau berwudhu. Karena orang yang mengalami suatu peristiwa, maka kapan kejadiannya disandarkan kepada waktu terdekatnya.
Silakan lihat kitab ‘Gomzu Uyunil A-Bashoir Fi syarkhi Al-Asybah wan naza’ir, (1/217). Durorul Hukkam Fi Syarkh Majallatul Ahkam, (1/28).
Akan tetapi kalau ada petunjuk yang menunjukkan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu sebelumnya yang lebih lama, maka dia berpatokan dengan hal tersebut.
Di antara contoh hal itu, kalau diketahui pada barang yang telah dijual ada catat setelah berada di tangan pembeli, sementara penjual beralasan bahwa hal itu terjadi ketika barang sudah ada di pembeli, sedangkan pembeli menuduh terjadinya ketika berada pada penjual namun tidak ada bukti pada keduanya. Maka pendapat (yang diambil) adalah yang menduga bahwa kejadiannya di waktu yang terdekat, dalam hal ini adalah pendapat penjual plus diambil sumpahnya, sehingga terjadinya cacat tersebut dianggap saat barang berada di tangan pembeli. Kecuali kalau cacatnya itu memang dari bentuk awalnya yang tidak mungkin terjadi seperti itu di tangan pembeli.” (Silakan lihat Mausu’atul Qowaid, (1/113).
Kedua:
Keluarnya cairan merupakan perkara yang biasa terjadi pada Wanita. Dia lebih sering dibandingkan dengan keluarnya madzi. Cairan yang keluar dari kemaluan (wanita) itu suci, akan tetapi dia dapat membatalkan wudhu, berbeda dengan mazi, dia termasuk najis.
Terdapat penjelasan perbedaan antara cairan, madzi dan mani dalam jawaban soal no. (257369) di dalamnya dijelaskan bahwa siapa yang rancu dari urusan ini, maka dia diperbolehkan untuk memilihnya, dan menjadikan hukum pada salah satunya, dan ini adalah mazhab Syafiiyyah, dan hal ini lebih layak terutama bagi orang yang mengalami was-was.
Dalam kitab Mugni Al-Muhtaj, (1/215) dikatakan, “Kalau ada kemungkinan sesuatu yang keluar itu mani atau lainnya seperti wadi atau madzi, maka dipilih di antara keduanya menurut pendapat yang menjadi sandaran. Kalau dia anggap itu mani, maka dia harus mandi. Atau dia berpendapat yang lainnya (selain mani), maka cukup berwudu dan membersihkan anggota tubuh yang terkena, karena kalau dia bersuci sesuai pandangan terhadap salah satunya, maka dia dianggap suci secara yakin. Dan kemungkinan yang lainnya tidak berlaku dan tidak dipertentangkan.”
Wallahu a’lam