Jum'ah 7 Jumadil Ula 1446 - 8 November 2024
Indonesian

Kekeliruan Saat Berjalan Ke Muzdalifah Dan Saat Di Muzdalifah

Pertanyaan

Apakah kekeliruan yang anda nasehatkan untuk dihindari saat keberagkatan ke Muzdalifah?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Di antara kekeliruan yang terjadi saat keberangkatan dari Arafah ke Muzdalifah adalah;

Pertama:

Saat berangkat dari Arafah ke Muzdalifah, sering terjadi satu sama lain saling merugikan pihak lain. Misalnya membawa kendaraan dengan sangat cepat, sehingga terjadi kecelakaan. Sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat dari Arafah dengan tenang. Beliau berangkat sambil menarik kendali Al-Qushwa (ontanya), seraya berkata, “Wahai manusia, tenanglah, tenanglah.” Akan tetapi, meskipun demikian, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika melewat jalan yang landai, dia berlalu dengan cepat, dan jika melewati jalan mendaki beliau lambatkan jalan ontanya. Akan tetapi jika ada pilihan antara cepat dan perlahan-lahan, maka yang lebih utama adalah perlahan-lahan.

Kedua:

Sebagian orang singgah sebelum tiba di Muzdalifah, khususnya para pejalan kaki yang merasa kelelahan. Mereka singgah sebelum tiba di Muzdalifah dan menetap di sana hingga shalat Fajar, kemudian berangkat ke Mina. Siapa yang melakukan ini, maka dia tidak mendapatkan mabit di Muzdalifah. Ini perakara yang sangat berbahaya, karena mabit di Muzdalifah oleh sebagian ulama dianggap sebagai salah satu rukun haji, sedangkan menurut jumhur ulama dianggap sebagai salah satu wajib haji dan sunah menurut sebagian ulama lainnya. Yang benar adalah bahwa dia merupakan salah satu wajib haji. Maka wajib bagi jamaah haji untuk mabit di Muzdalifah dan tidak meninggalkannya kecuali di waktu yang dibolehkan syariat untuk berangkat, sebagaimana akan dijelaskan berikutnya insya Allah.

Ketiga:

Sebagian orang melakukan shalat Maghrib dan Isya di tengah perjalanan sebagaimana biasanya sebelum tiba di Muzdalifah. Ini bertentangan dengan sunah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ketika singgah di tengah perjalanan, lalu dia buang air kecil, lalu Usamah bin Zaid berkata kepadanya, “Shalat ya Rasulullah?” Beliau menjaawb, “Shalat di depanmu.” (HR. Bukhari, no. 1669, Muslim, no. 1280) Dan Rasulullah shallallahu tetap tidak shalat sebelum tiba di Muzdalifah. Beliau tiba setelah masuk waktu Isyah. Maka beliau melakukan shalat Maghrib dan Isya dengan jamak ta’khir.

Keempat:

Sebagian orang tidak shalat Maghrib dan Isya hingga tiba di Muzdalifah walaupun menyebabkan waktu shalat Isya sudah habis. Ini tidak boleh dan haram, termasuk dosa besar. Karena menunda shalat hingga keluar waktu diharamkan berdasarkan petunjuk Al-Quran dan Sunah.

Allah Ta’ala berfirman,

إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا  (سورة النساء: 103)

“Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” SQ. An-Nisaa’: 103.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang waktu tersebut dan membatasinya. Allah Ta’ala berfirman,

ومن يتعد حدود الله فأولئك هم الظالمون (سورة البقرة: 229)

“Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” SQ. Al-Baqarah: 229

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

ومن يتعد حدود الله فقد ظلم نفسه (سورة الطلاق: 1)

“Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah. Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” SQ. At-Tolaq: 1

Jika seseorang khawatir keluarnya waktu Isya sebelum tiba di Muzdalifah, maka dia wajib shalat walaupun belum tiba di Muzalifah. Hendaknya dia shalat sesuai keadaannya. Jika dia berjalan kaki, hendaknya dia berhenti dan shalat dengan berdiri, ruku dan sujud. Jika dia naik kendaraan dan tidak dapat turun, hendaknya dia shalat walaupun di atas kendaraan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فاتقوا الله ما استطعتم  (سورة التغابن: 16)

“Maka bertakwalah kepada Allah sesuai dengan kemampuan anda semua.” SQ. At-Taghobun: 16.

Meskipun tidak dapat turun dari kendaraan dalam kondisi seperti itu jauh kemungkinannya, karena mungkin baginya untuk menepi di sebelah kiri atau kanan, lalu melakukan shalat.

Intinya adalah, tidak boleh bagi seseorang menunda shalat Maghrib dan Isya hingga keluar waktu Isyah dengan alasan bahwa dia hendak menerapkan sunah shalat di Muzdalifah. Karena menundanya hingga keluar waktu adalah bertentangan dengan sunah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memang menundanya, namun beliau shalat masih dalam waktunya.

Kelima:

Sebagian jamaah haji shalat Fajar sebelum waktunya. Mereka shalat dan langsung berangkat. Inipun kekeliruan besar. Karena shalat sebelum waktunya tidak diterima, bahkan diharamkan. Karena hal itu berarti melampaui ketentuan Allah Azza wa Jalla. Karena shalat telah ditetapkan waktunya dengan waktu tertentu sebagaiman telah ditetapkan syariat, baik di awal maupun di akhir. Tidak boleh seseorang mendahulukan shalat sebelum masuk waktunya.

Maka diwajibkan bagi jamaah haji untuk memperhatikan masalah ini, yaitu jangan shalat Fajar kecuali dia telah yakin atau kuat dugaan waktu Fajar telah masuk. Memang benar, hendaknya bersegera melakukan shalat Fajar di Muzdalifah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyegerakannya, akan tetapi tidak berarti hal itu dia boleh shalat sebelum waktunya. Hendaknya hati-hati dari sikap ini .

Keenam:

Sebagian jamaah haji berangkat dari Muzdalifah sebelum menetap di sana walau sesaat. Ada di antara mereka yang lewat saja, tanpa berhenti. Mereka berkata, lewat saja sudah cukup. Ini kekeliruan besar. Sekedar lewat saja tidak cukup. Bahkan sunah menunjukkan bahwa jamaah haji hendaknya menetap di Muzdalifah hingga shalat Fajar. Kemudian dia menetap di Masy’aril Haram  (Muzdalifah) seraya berdoa kepada Allah hingga hari mulai terang (sebelum matahari terbit), kemudian dia berangkat ke Mina. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memang memberikan keringanan kepada isterinya yang lemah untuk berangkat dari Muzdalifah di waktu malam. Dan Asma binti Abu Bakar menanti-nanti terbenamnya bulan, jika bulan lenyap, beliau berangkat dari Muzdalifah ke Mina. Waktu berangkat ini, setelah bulan terbenam, hendaknya menjadi batasan pemisah, karena dia merupakan perbuatan shahabat dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan bagi orang lemah dari isterinya untuk berangkat di waktu malam dan tidak dijelaskan dalam hadits batas malamnya. Akan tetapi perbuatan shahabat dapat menjadi penjelasan baginya. Karena itu, hendaknya kebolehan bagi orang lemah untuk berangkat malam hari (dari Muzdalifah) dibatasi setelah terbenamnya bulan. Terbenamnya bulan pada malam ke sepuluh (bulan hijriah) pastinya terjadi setelah pertengahan malam  setelah berlalu dua pertiga malam kurang lebih.

Ketujuh:

Sebagian orang pada malam Muzdalifah menghidupkan malam tersebut dengan membaca Alquran dan berzikir. Ini bertentangan dengan sunah. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam tersebut tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla seperti itu. Bahkan dalam shahih Muslim dari hadits Jabir radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam setelah melakukan shalat Isya, berbaring hingga terbit fajar, kemudian beliau shalat Shubuh. Ini menunjukkan bahwa malama itu beliau tidak bertahajjud, atau beribadah, atau bertasbih atau berzikir atau membaca Alquran.

Kedelapan;

Sebagian jamaah haji tetap berada di Muzdalifah hingga matahari terbit. Lalu shalat syuruq atau isyraq (Dhuha), baru setelah itu dia berangkat (ke Mina). Hal ini keliru, karena bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dan lebih cocok dengan kebiasaan orang-orang musyrikin. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat dari Muzdalifah sebelum matahari terbit ketika sudah agak terang, sedangkan orang-orang musyrikin dahulu menunggu matahari terbit (untuk berangkat dari Muzdalifah).

Orang  yang tetap di Muzdalifah dengan niat ibadah hingga matahari terbit, maka dia menyerupai orang-orang musyrik dan menyelisihi sunah sayidul mursalin, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Refrensi: Diambil dari Dalil Al-Akhtha Allazi Yaqa Fiiha Al-Hajj wal Mu’tamir