Kamis 6 Jumadil Ula 1446 - 7 November 2024
Indonesian

APAKAH DIBOLEHKAN BERPUASA PADA HARI PERTENGAHAN (NISHFU) SYA’BAN MESKIPUN HADITSNYA LEMAH?

Pertanyaan

Setelah kita mengetahui lemahnya hadits, apakah kita dibolehkan berpedoman kepadanya jika terkait dengan kutamaan amalan (fadha'ilul a'mal), "Jika datang malam pertengahan Sya’ban, maka tunaikanlah malamnya (dengan shalat) dan siangnya dengan berpuasa." Perlu diketahui bahwa puasa dan qiyamul lail sebagai sunnah untuk beribadah kepada Allah.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama

Riwayat tentang keutamaan shalat dan puasa serta beribadah di pertengahan Sya’ban bukan hanya sekedar hadits lemah, bahkan ia termasuk (hadits) palsu dan batil. Maka tidak dibolehkan mengambil dan mengamalkan isinya, tidak dalam keutamaan amal ataupun lainnya.

Sejumlah ulama telah menghukumi bahwa riwayat-riwayat yang ada tentang hal itu adalah batil (tertolak). Di antaranya Ibnu Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Maudhu’at, 2/440-445. Ibnu Qayyim di Al-Manarul Munif, no. 174-177. Abu Samah As-Syafi’i dalam kitab ‘Al-Baits Ala Inkari Al-Bida wal Hawadits, 124 – 137. Al-Iraqi dalam takhrij Ihyau Ulumuddin no. 582. Syaikhul Islam telah menukil kesepakatan ulama tentang batilnya (riwayat hadits ini) dalama Majmu Fatawa, 28/ 138.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata terkait tentang hukum merayakan malam pertengahan Sya’ban: “Sesungguhnya merayakan malam pertengahan Sya’ban dengan shalat atau lainnya dan  mengkhususkan harinya dengan berpuasa adalah bid’ah munkar menurut kebanyakan ahli ilmu dan tidak ada asalnya dalam agama yang suci."

Beliau rahimahullah juga menambahi: “Tidak ada hadits shahih tentang malam pertengahan Sya’ban. Semua hadits yang ada di dalamnya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya. Tidak ada kekhususan pada malam tersebut, baik untuk membaca Al-Quran, shalat secara khusus tidak juga dengan berjama’ah. Adapun pendapat sebagian ulama bahwa malam itu memiliki kehususan, maka itu adalah pendapat yang lemah, tidak dibolehkan mengkhususkan dengan sesuatu dan ini yang benar." Wabillahi taufiq, Fatawa Islamiyah, 4/511. Silakan melihat soal no. 8907.

Kedua.

Jika kita terima bahwa itu adalah hadits lemah bukan palsu, maka sesungguhnya pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah tidak berpedoman dengan hadits lemah secara mutlak. Meskipun dalam masalah keutamaan sebuah amalan, anjuran dan ancaman. Hadits shahih sudah cukup bagi seorang seorang muslim, sehingga tidak perlu lagi mengambil yang lemah. Tidak dikenal pengkhususan  malam ini maupun siangnya, tidak dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat.

Al-Allamah Ahmad Syakir berkata: ”Tidak ada perbedaan antara masalah hukum dan amalan utama (fadha'ilul a'mal) atau semisalnya, bahwa mengambil periwayatan yang lemah tidak dibenarkan . Bahkan tidak ada hujjah bagi siapapun kecuali riwayat yang shahih dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, baik berupa hadits shahih maupun hasan." (Al-Baitus Al-Hatsits, 1/278)

Silahkan lihat tambahan penjelasan dalam kitab Al-Qaul Al-Munif Fi Hukmi Al-Amal Bil Hadits Ad-Dhaif. Silahkan lihat soal Jawab no. 44877.

Wallallahu’alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam