Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Hukum Musik, Lagu Dan Joget

Pertanyaan

Saya sering mendengar bahwa musik, joget dan lagu adalah haram dalam Islam. Saya membuka website di internet, disana banyak tulisan yang mengatakan bahwa musik, lagu dan joget itu halal dalam Islam selagi dua jenis yang tidak bercampur dan disana tidak ada minuman keras (khomr). Bahkan mereka berusaha menguatkan hal ini dengan menyebutkan hadits dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau menyetujui hal tersebut. Sekarang saya dalam keraguan, apakah anda dapat menjelaskan kepadaku hukum musik, joget dan lagu dalam Islam. Terima kasih

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Kata ‘المعازف' jama' dari kata ‘معزفة' yaitu alat musik (Fathul Bari, 10/55). Yaitu alat untuk memainkan musik dengannya (Al-Majmu, 11/577). Al-Qurtubi rahimahullah megutip pendapat Al-Jauhari rahimahullah bahwa Ma’azif adalah lagu. Di dalam kamus Shihah-nya bahwa alat yang melalaikan dikatakan sebagai suara yang melalaikan (musik). Dalam hawasyi (catatan kaki) Ad-Dimyati rahimahullah (bahwa yang dimaksud adalah) Alat musik dengan rebana dan selainnya yang ditabuh (Fathul Bari, 10/55).

Dalil keharaman dari Kitab dan Sunnah.

Allah berfirman di surat Luqman:

ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman: 6)

Ulama umat ini, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, “Ia adalah nyanyian.” Mujahid rahimahullah mengatakan, “Lahwu (yang melalaikan) adalah gendang (Tafsir Ath-Thabary, 21/40). Hasan Basri rahimahullah berkata, “Ayat ini turun tentang nyanyian dan seruling.” (tafsir Ibnu Katsir, 3/451). As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Masuk dalam hal ini adalah semua perkataan haram, semua yang menyia-nyiakan dan batil. Perkataan kacau yang mengarah kepada kekufuran dan kemaksiatan. Di antaranya juga perkataan yang menolak kebenaran, berdebat dengan kebatilan untuk mengalahkan kebenaran. Termasuk juga menggunjing, mengadu domba, bohong, menghardik, menghina. Juga nyanyian, seruling syetan. Perkataan yang melalaikan yang tidak bermanfaat untuk agama dan dunia (Tafsir As-Sa’dy, 6/150). Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Cukup penafsiran para shahabaat dan para tabiin, bahwa ‘lahwal hadits’ adalah nyanyian. Terdapat (atsar) shahih hal itu dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud. Abu Suhba’ mengatakan, “Saya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang firman Allah:

ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman: 6)

Beliau mengatakan, “Demi Allah yang tiada ilah (tuhan) selain-Nya. Ia adalah nyanyian.  Beliau mengulangi tiga kali. (atsar) shahih dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma juga bahwa itu adalah nyanyian. Tidak ada kontradiksi antara penafsiran ‘lahwal hadits’ dengan nyanyian dan tafsir ‘lahwal hadits’ dengan  kisah-kisah non arab, raja-raja mereka, raja Romawi dan semisal itu. Karena Nadr bin Harits menceritakan bahwa penduduk Mekkah dibuat lalai dengannya dari Al-Qur’an. Keduanya termasuk lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna).

Oleh karena itu Ibnu Abbas mengatakan, ‘Lahwal hadits’ adalah kebatilan dan nyanyian. Di antara para shahabat ada yang menyebutkan ini dan ada yang menyebutkan lainnya. Juga ada yang menggabungkan keduanya. Nyanyian lebih melalaikan dan lebih besar dampak negatifnya dari pada perkataan dan kisah raja-raja mereka. Nyanyian adalah karibnya zina, tempat tumbuh kenifakan, temannya syetan, menutup akal. Penutup dari Al-Qur’an lebih besar daripada penutup lainnya dari perkataan batil. Karena kecenderungan dan kesenangan jiwa sangat kuat. Ayat ini mengandung celaan terhadap tindakan mengganti Al-Quran dengan lahwal hadits untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa didasari keilmuan dan menjadikannya sebagai mainan. Ketika dibacakan Al-Qur’an, mereka berpaling ke belakang seakan-akan tidak mendengarkanya seakan tertutup telinganya; berat dan tuli. Ketika dia mengetahui sedikit darinya, dia mengejeknya. Kesemuanyai ini tidak terjadi kecuali kepada orang yang yang lebih besar kekufurannya. Meskipun terjadi pada sebagian penyanyi dan pendengarnya, mereka mendapatkan bagian dari celaan ini.” (Ighotsatul Lahfan, 1/258-259).

Dan firman Allah Ta’ala:

" واستفزز من استطعت منهم بصوتك

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu.” (QS. Al-Isra: 64)

Dari Mujahid rahimahullah berkata, “(Maksudnya) meminta mereka turun dengan suara anda”. Dia berkata, “Yang dimaksud suaranya adalah nyanyian batil.” Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan, “Penyandaran ini termasuk penyandaran pengkhususan, sebagaimana penyandaran kuda dan kaki kepadanya. Maka semua perkataan selain ketaatan kepada Allah atau suara dengan seruling, rebana atau kendang, itu semua adalah suara setan. Semua yang mengarah kepada kemaksiatan kepada Allah dengan kedua kakinya, termasuk dari kakinya. Semua kendaraan bermaksiat kepada Allah termasuk dalam kudanya. Begitulah pendapat ulama salaf sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Hatim dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma:  “Kakinya adalah semua kaki berjalan menuju kemaksiatan kepada Allah.” (Ighotsatul Lahfan)

Fiman Allah Ta’ala:

أفمن هذا الحديث تعجبون ، وتضحكون ولا تبكون ، وأنتم سامدون

“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?, Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?. Sedang kamu melengahkan(nya)?” (QS. An-Najm: 59-61)

Ungkapan ‘اسمدي لنا’ artinya bernyanyilah. Beliau rahimahullah berkata, Ikrimah rahimahullah berkata dari Ibnu Abbas kata ‘السمود ‘ adalah nyanyian dalam Bahasa Himyar. Diriwayatkan bahwa mereka, ketika mendengarkan Al-Qur’an, bernyanyi, maka turunlah ayat ini. Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat ‘وأنتم سامدون ‘ Sofyan Tsauri berkata dari ayahnya dari Ibnu Abbas berkata, “Nyanyian” ini bahasa orang  Yaman. “Bernyanyilah untuk kami.” Begitu juga pendapat Ikrimah. (Tafsir Ibnu Katsir).

Dari Abu Umamah radhiallahu anhu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berkata:

“Jangan menjual penyanyi wanita, jangan membeli dan mengajarkannya. Tidak ada kebaikan berdagang denganya. Hasil keuntungannya haram. Dalam masalah seperti ini, ayat ini diturunkan

ومن الناس من يشتري لهو الحديث ليضل عن سبيل الله

““Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (QS. Luqman: 6) (Hadits hasan)

Rasulullah sallallahu alaihiwa sallam bersabda:

ليكونن من أمتي أقوام يستحلون الحر والحرير والخمر والمعازف ( رواه البخاري تعليقا، رقم 559091  ووصله الطبراني والبيهقي ، وراجع السلسلة الصحيحة للألباني)

“Akan terjadi di umatku suatu kaum yang menghalalkan zina (wanita merdeka), sutera (bagi laki-laki), minuman keras dan lagu.”  (Hadits diriwayatkan Bukhari secara menggantung (tidak besambung) dengan no. 559091. Ath-Thabrani dan Baihaqi menyebutkan sanadnya yang bersambung. Silahkan merujuk ‘Silsilah Shahihah’ Karangan Al-Albany)

Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini shahih, dikeluarkan oleh Bukhari dalam shahihnya dan beliau berdalil dengannya dan tegas dalam memberi judul dengan  mengatakan “Bab fii man yastahillul khomro wa yusamiihi bi ghairi isimihi“(Bab tentang orang yang menghalalkan minuman keras dengan memberi nama selain namanya).

Hadits ini sebagai dalil diharamkannya alat musik dan gendang dari dua sisi;

Sisi pertama; Sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam ‘Mereka menghalalkan’ dengan jelas bahwa apa yang disebutkan di antaranya adalah musik. Dia dalam agama diharamkan, kemudian kaum tersebut menghalalkannya.

Sisi kedua; Disandingkannya music dengan sesuatu yang sudah pasti haramnya yaitu zina dan minuman keras. Jika tidak diharamkan, tidak akan disandingkan dengannya. (Silsilah Shahihah karangan Albani, 1/140-141 dengan diedit).

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan pengharaman musik. Musik adalah alat yang melalaikan menurut ahli Bahasa. Nama ini mencakup semua peralatan ini.” (Al-Majmu, 11/535).

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Dalam bab ini (juga terdapat riwayat) dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy dan Imron bin Hushain, Abdullah bin Amr, Abdullah Bin Abbas, Abu Hurairah, Abu Umamah Al-Bahili, Aisyah Ummul mukminin, Ali bin Abi Tholib, Anas bin Malik, Abdurrahman bin Sabith dan Gozi bin Rabi’ah). Kemudian beliau menyebutkan dalam kitab ‘Ighotsatu Al-Lahfan’ yang menunjukkan  akan pengharaman (musik).

عن نافع رحمه الله قال : " سمع ابن عمر مزمارا ، قال : فوضع إصبعيه على أذنيه ، ونأى عن الطريق ، وقال لي : يا نافع هل تسمع شيئا ؟ قال : فقلت : لا ، قال : فرفع إصبعيه من أذنيه ، وقال : كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم فسمع مثل هذا ، فصنع مثل هذا " صحيح أبي داود

Dari Nafi’rahimahullah mengatakan, “Ibnu Umar mendengar seruling, kemudian beliau meletakkan jari telunjuk di kedua kupingnya dan menepi dari jalan. Lalu berkata  kepadaku, “Wahai Nafi’ apakah anda mendengar sesuatu?” Saya mengatakan, “Tidak.” Kemudian beliau mengangkat jemarinya dari kedua telinganya, lalu mengatakan, “Dahulu aku bersama Nabi sallallahu alaihi wa sallam mendengar seperti ini, maka beliau melakukan seperti ini.” (Shahih Abu Daud)

Sebagian kaum menyangka bahwa hadits ini bukan dalil akan pengharaman. Dengan alasana bahwa jika demikian halnya, Rasulullah sallallahu alaiahi wa sallam pasti memerintahkan Ibnu Umar radhiallahu anhuma menutup kedua telinganya, lalu Ibnu Umar pasti memerintahkan Nafi’ begitu juga. Dijawab, bahwa beliau tidak menyimak akan tetapi sekedar mendengar. Ada perbedaan antara mendengar dan menyimak (السامع والمستمع)

Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Kalau seseorang tidak bermaksud menyimak, maka tidak berlaku baginya larangan dan celaan (dalam hal music) menurut kesepakatan para imam. Oleh karena itu celaan dan ujian berlaku kepada orang yang menyimak bukan kepada orang yang mendengar. Orang yang menyimak Al-Qur’an akan mendapat pahala, sementara orang yang mendengar tanpa ada maksud dan keinginan, tidak mendapat pahala. Karena amalan tergantung niat. Begitu juga apa yang dilarang dari sesuatu yang melalaikan, kalau dia mendengarkan tanpa bermaksud hal itu, tidak tercela akan hal itu.” Al-Majmu’, 10/78.

Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengatakan, “Mustami’ adalah yang sengaja ingin mendengarkan. Dan hal ini tidak ada pada diri Ibnu Umar radhiallahu anhuma, akan tetapi hanya sekedar mendengar saja. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam ada keperluan untuk mengetahui terputusnya suara darinya karena beliau minggir dari jalan dan menutup kedua telinganya. Tidak kembali ke jalan dan tidak juga mengangkat kedua telunjukknya sampai tak terdengar lagi suara darinya. Makah al ini diperbolehkan karena ada keperluan. (Al-Mughni, 10/173). Bisa jadi mendengar yang disebutkan dalam perkataan kedua imam tersebut (hukumnya) makruh, maka diperbolehkan ketika ada keperluan sebagaimana pendapat Imam Malik rahimahullah yang akan disebutkan. Wallahu a’lam.

Pendapat para Imam Islam:

Qosim rahimahullah mengatakan, “Musik termasuk kebatilan.” Hasan rahimahullah mengatakan, “Kalau dalam walimah termasuk yang melalaikan maka tidak wajib memenuhi undangan mereka.” (Al-Jami, Al-Qoiruni, hal. 262-263)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mazhab para Imam empat adalah bahwa alat yang melalaikan semuanya adalah haram. Terdapat ketetapan dalam Shahih Bukhari dan lainnya, Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa dari umatnya akan ada orang yang menghalalkan zina dan sutera, minuman keras dan musik. Disebutkan bahwa mereka itu berubah menjadi kera dan babi. Tidak disebutkan ada seorang pun dari para imam berbeda pendapat tentang (haramnya) at yang melalaikan (musik).’ (Al-Majmu, 11/576. Albany rahimahullah mengatakan, “Mazhab empat sepakat akan pengharaman alat gendang semuanya.” (As-Shahihah, 1/145)

Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Mazhab Abu Hanifah dalam hal ini mazhab yang paling keras, pendapatnya termasuk yang paling tegas. Para ulama mazhabnya dengan tegas mengatakan haram mendengarkan semua yang melalaikan seperti seruling, rebana sampai memukul dengan bahan keras. Mereka menegaskan bahwa hal itu merupakan suatu kemaksiatan, dihukumi fasik dan ditolak persaksiannya. Bahkan lebih keras dari itu mereka mengatakan, “Bahwa mendengarkan termasuk fasik, dan menikmatinya termasuk kafir.” Ini teks mereka. Mereka meriwayatkan hadits yang tidak sampai kepada nabi. Mereka mengatakan, “Seharusnya bersungguh-sungguh untuk tidak mendengarkan kalau dia melewati atau di sampingnya.” Abu Yusuf mengatakan di rumah yang mendengarkan suara nyanyian dan yang melalaikan, “Masuklah kepada mereka (untuk mengingkarinya) walau tanpa izinya, karena melarang dari kemungkaran merupakan suatu kewajiban. Apabila tidak dibolehkan masuk tanpa izin untuk melarang kemungkaran, niscaya hal tersebut akan menghalangi orang menunaikan kewajiban.” (Ighotsatul Lahfan, 1/425).

Imam Malik rahimahullah ditanya tentang gendang dan seruling yang terdengar dan dirasakan kenikmatannya, baik di jalan atau di majlis. Beliau menjawab, “Hendaknya dia berdiri (tinggalkan tempat itu) kalau merasa menikmatinya, kecuali kalau duduk ada keperluan, atau tidak mampu berdiri. Kalau di jalan, hendaknya dia mundur atau berjalan ke depan.” (Al-Jami’ karangan Qoirawi, 262).

Beliau rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya orang yang melakukan menurut kami adalah fasik (Tafsir Qurtubi, 14/55). Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Diantara hasil usaha yang sepakat diharamkan adalah riba, hasil perzinaan, menyeka, suap, upah meratap dan lagu, perdukunan, meramal gaib dan kabar langit berdasarkan rumus dan permainan batil semuanya. (AlKafi).

Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan mazhab Imam Syafi’i rahimahullah, “Teman-teman yang memahami mazhabnya menegaskan akan keharamannya dan mengingkari orang yang menyandarkan kehalalan kepadanya.” (Ighotsatul Lahfan, 1/425).

Pemilik kitab Kifayatul Ahyar dari mazhab Syafiiyyah memasukkan perkara yang melalaikan berupa seruling dan lainnya termasuk suatu kemungkaran. Diharuskan bagi yang hadir untuk mengingkarinya. Beliau mengatakan, “Tidak gugur kewajiban mengingkari dengan kehadiran para ahli fikih yang buruk.” Maksud mereka adalah kalangan sufi yang menamakan dirinya dengan fuqara’ –secara umum mereka mengikuti semua seruan- merusak agama, tidak dengan kefakiran mendapatkan dosa, tidak mendapatkan petunjuk dengan cahaya ilmu dan condong dengan semua hembusan angin.” (Kifayatul Ahkyar, 2/128).

Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, “Sementara mazhab Imam Ahmad, anaknya Abdullah mengatakan, “Saya bertanya kepada ayahku tentang musik, maka beliau menjawab, “Musik menumbuhkan nifak dalam hati, dan saya tidak menyukainya. Kemudian dia menyebutkan pendapat Malik, “Sesungguhnya orang yang melakukan hal itu di sisi kami adalah nifak.” (Ighotsatul Lahfan).

Ibnu Qudamah –peneliti ulang mazhab Hanbali rahimahullah mengatakan, “Yang melalaikan itu ada tiga, pukulan yang haram, yaitu petikan gitar, nayat, dan semua seruling, Al-ud, genderang, nyanyian, rebab dan semisalnya. Siapa yang senantianya mendengarkannya, maka persaksiannya ditolak. (Al-Mughni, 10/173).  

Beliau rahimahullah juga menambahkan, “Kalau diundang dalam walimah yang di dalamnya ada kemungkaran, seperti minuman keras dan musik dan memungkinkan untuk mengingkarinya, maka hendaknya hadir dan mengingkarinya karena dia mengumpulkan dua kewajiban. Kalau tidak memungkinkan baginya (untuk mengingkarinya), maka hendaknya tidak hadir.” (Al-Kafi, 3/118).

Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Para ulama bersepakat menyatakan makruh dan melarang musik. Yang berbeda pendapat adalah adalah Ibrohim bin Sa’d dan Ubaidillah Al-Anbary. Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam telah bersabda,”Hendaknya anda bersama kelompok mayoritas. Siapa yang berpisah dari jamaah dan mati maka dia mati dalam kondisi jahiliyah.” (Tafsir Al-Qurtuby, 14/56).

Dahulu kata ‘Makruh’ digunakan untuk arti haram, kemudian lebih dominan dengan arti tanzih (boleh). Sehingga (dalam kontek masalah ini) lebih mengarah kepada pengharaman berdasarkan perkataan ‘Dan melarangnya’. Karena tidaklah sesuatu dilarang kecuali karena hal itu diharamkan. Beliau  menyebutkan dua hadits yang di dalamnya ada ancaman keras. Al-Qurtubi rahimahullah yang menukil atsar ini. Dan dia yang mengatakan setelah ini, “Abul Faraj, Qaffal dari kalangan kami mengatakan  tidak diterima kesaksian penyanyi dan tukang joget.” Saya berkata, “Kalau sudah ada keputusan tentang hal ini, maka tidak diperbolehkan mengambil upahnya.”

Syekh Fauzan hafidhohullah mengatakan, “Apa yang diperbolehkan oleh Ibrohim bin Sa’d dan Ubaidillah Al-Anbary tentang musik, bukan seperti musik yang terbersit dalam benak, jauh sekali kedua ulama ini memperbolehkan seperti musik yang tujuannya kerusakan moral dan kebusukan.” (Al-I’lam)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak diperbolehkan membuat alat music.” (Al-Majmu, 22/140). Beliau rahimahullah menambahi, “Peralatan musik seperti gendang, boleh dihancurkan menurut mayoritas ulama fikih, dan ini adalah mazhab Malik dan yang riwayat terkenal dari Imam Ahmad.” (Al-Majmu, 28/113)

Beliau  (Syaikhul Islam) berkata: “Sisi keenam, Ibnu Mundzir menyebutkan kesepakatan para ulama tentang larangan menyewa penyanyi dan peratap. Beliau mengatakan, “Terdapat ijma’ dari orang yang kami ingat dari kalangan ahli ilmu, kebatilan para peratap dan penyanyi. Dimakruhkan oleh Sya’bi, Nakho’i, Malik. Abu Tsaur, Nukman –Abu Hanifah rahimahullah- Ya’qub dan Muhammad –murid Abu Hanifah rahimahumullah mengatakan, “Tidak diperbolehkan menyewa  sedikitpun dari penyanyi dan peratap, dan ini pendapat kami. Lalu dia berkata, “Nyanyian menutup hati, mempengaruhi jiwa lebih besar pengaruhnya dibanding pengaruh air dalam gelas.” (Majmu’ Fatawa, 10/417).

Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan (atsar), bahwa seseorang menghancurkan gendang orang lain. Kemudian orang itu menggugatnya melalui Syuraih (hakim). Akan tetpi  beliau tidak menjatuhkan vonis ganti apapun –maksudnya tidak diwajibkan menganti harganya- karena sesuatu yang haram tidak ada harganya. (Al-Musonnaf, 5/395).

Al-Baghawi rahimahullah memberikan fatwa haramnya semua peralatan musik dan yang batil seperti gendang, seruling dan semua alat musik. Kemudian beliau mengatakan, “Kalau gambarnya dihapus, dan peralatan lagu dirubah dari bentuknya, maka diperbolehkan menjual hiasan dan bahan dasarnya. Baik dari perak, besi, kayu atau lainnya. (Syarh As-Sunnah, 8//28).

Pengecualian yang benar

Dikecualikan (dalam masalah keharaman music) adalah dibolehkannya rebana –yang tidak ada kincringannya - dalam perayaan hari raya dan pernikahan untuk para wanita.

Hal itu Terdapat dalil yang shahih. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Akan tetapi Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi keringanan akan hal itu dalam beberapa macam permainan di acara pernikahan dan semisalnya. Sebagaimana diberi keringanan bagi para wanita memukul rebana dalam pernikahan dan bergembira. Sementara para lelaki pada zaman beliau, tidak ada seorang pun pada masa beliau lelaki yang memukul rebana, tidak juga bertepuk tangan. Bahkan Terdapat dalam hadits shahih beliau bersabda,

التصفيق للنساء والتسبيح للرجال ، ولعن المتشبهات من النساء بالرجال والمتشبهين من الرجال بالنساء

“Tepuk tangan bagi para wanita dan tasbih (mengucap ‘Subhanallah’) untuk para lelaki. Dan beliau melaknat wanita yang menyerupai lelaki dan lelaki yang menyerupai wanita.”

Karena lagu dan pukulan dengan rebana adalah kebiasaan para wanita, dahulu ulama salaf memberikan nama bagi para lelaki yang melakukan hal itu dengan waria. Dan memberi nama para lelaki penyanyi dengan waria. –alangkah banyaknya mereka pada zaman sekarang ini- dan ini yang terkenal pada perkataan mereka.

Dalam bab ini ada hadits Aisyah radhiallahu anha ketika ayahnya masuk waktu hari raya di dapati ada dua wanita -maksudnya masih kecil- menyanyi dengan senandung yang pernah dinyanyikan kaum Anshar waktu perang Bu’ats. Lalu  Abu Bakar radhiallahu anhu berkata, “(Pantaskah) ada seruling setan dalam rumah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam?” Saat itu wajah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berpaling dari keduanya menghadap tembok –oleh karena itu, sebagian para ulama mengatakan bahwa Abu Bakar radhiallahu anhu tidak pernah mencela atau mengingkari di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi dia menyangka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallalm tidak memperhatikan apa yang terjadi wallahu a’lam- beliau bersabda:

دعهما يا أبا بكر فإن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا أهل الإسلام

 “Biarkan keduanya wahai Abu Bakar, karena setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kami umat Islam.”

Hadits ini menunjukkan bahwa bukan kebiasaan Nabi sallalahu alaihi wa sallam dan para shahabat berkumpul. Oleh karena itu Abu Bakar memberi nama dengan seruling syetan.

Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallalm menetapkan penamaan ini dan tidak dihapus dan beliau mengatakan, “Biarkan keduanya, karena setiap kaum mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kami.” Hal itu memberikan petunjuk bahwa sebab diperbolehkan karena waktu itu hari raya. Maka pemahamannya adalah adanya pengharaman pada selain hari raya, kecuali apa yang dikecualikan di waktu pernikahan dalam hadits lain. Syeh Albany rahimahullah menjabarkan secara terperinci dalam kitabnya yang bagus ‘Tahrim Alat At-Thorbi (Pengharaman Alat Musik)’

Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam menyetujui para wanita waktu hari raya seperti dalam hadits. “Agar orang-orang musyrik mengetahui bahwa di dalam agama kami ada keluangan.” Dalam hadits tidak Cuma dua wanita saja. Bahwa Nabi sallallahu alaiahi wa sallam mendengarkannya, karena perintah dan larangan terkait dengan menyimak tidak hanya sekedar mendengar. Seperti dalam pandangan. Sesungguhnya ia terkait dengan maksud melihat bukan terjadi tanpa pilihan.

Dengan demikian jelas bahwa hal itu khusus untuk para wanita saja. Sampai Imam Abu Ubaid rahimahullah mendefinisikan rebana dengan mengatakan, “Ia adalah yang dipukul oleh para wanita.” (Garibul Hadits, 3/64).  Seyogyanya sebagian dari mereka ketika keluar dengan mengenakan hijab syar’i.

Pengecualian yang batil

Sebagian mengecualikan dibolehkannya gendang dalam peperangan, sebagian ulama kontemporer menyamakan dengan musik militer. Pendpat ini tidak benar sama sekali. Berdasarkan beberapa alasan,

Pertama, pendapat ini berarti mengkhususkan hadits pengharaman tanpa ada pengkhususan, kecuali sekedar logika dan melihat ada kebaikan, dan hal itu batil.

Kedua, yang diwajibkan bagi umat Islam waktu peperangan, hatinya menghadap kepada Tuhannya. Seperti firman Allah:

يسألونك عن الأنفال قل الأنفال لله والرسول فاتقوا الله وأصلحوا ذات بينكم

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu.” (QS. Al-Anfal: 1)

Sementara penggunaan musik dapat merusak mereka dan memalingkan dari mengingat Tuhan mereka.

Ketiga, penggunaan (musik) termasuk kebiasaan orang-orang kafir, dan tidak diperbolehkan menyerupai mereka. Apalagi dengan apa yang telah Allah Tabarak wata’ala haramkan kepada kita secara umum seperti musik. (As-Shahihah, 1/45).

ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتوا الجدل

“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan hidayah kecuali ketika mereka diberi kepandaian berdebat.” (Shahih)

Sebagian di antara mereka berdalil dengan hadits permainan orang dari Habasyah dalam Masjid Nabi sallallahu alaihi wa sallam diperbolehkannya menyanyi.

Bukhari rahimahullah menulis judul hadits ini dalam shahihnya (Bab Al-Hurub wad Darq Yaumal Id /Bab permainan alat senjata pada hari raya).

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits diperbolehkan permainan dengan senjata dan semisalnya dari peralatan perang di dalam masjid. Dimasukkan semua yang semakna dari sebab-sebab yang membantu dalam jihad.” (Syarh Muslim). Akan tetapi seperti yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah, “Siapa yang berbicara bukan pada bidangnya, maka akan mendatangkan keajaiban seperti ini.

Sebagian berdalil dengan hadits nyanyian dua wanita kecil. Hal itu telah dibahas tadi. Akan tetapi kita ketengahkan perkataan Ibnu Qoyiim rahimahullah karena sangat bernilai, “Yang lebih mengherankan dari dalil anda tentang diperbolehkannya mendengar (lagu) yang tersusun seperti yang telah kami sebutkan dari posisi berkumpul dengan lagunya anak perempuan kecil yang belum balig di sisi wanita kecil pada hari raya dan kegembiran dengan syair-syair arab yang berisi sifat keberanian, peperangan, akhlak mulia dan kelembutan. Ini jelas Beda.

Yang lebih mengherankan bahwa hadits ini termasuk dalil terbesar (yang melemahkan) mereka. Bahwa Abu Bakar radhiallahu anhu memberi nama hal itu dengan seruling syetan  dan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menyetujuinya tentang penamaan ini. Dan beliau memberi keringanan kepada dua wanita kecil yang belum terkena beban kewajiban dan tak berdampak negatif dalam melagukan dan mendengarkannya. Apakah hal ini menunjukkan diperbolehkannya apa yang kalian lakukan, yaitu mendengar yang tak diragukan lagi keburukannya? Subhanallah, bagaimana akal dan pemahaman mereka dapat tersesat? (Madarijus Salikin, 1/493).

Ibnu Al-Jauzi rahimahullah mengatakan, “Dahulu Aisyah radhiallahu anha waktu itu masih kecil. Tidak ada riwayat yang dikutip darinya  kecuali mencela musik. Anak saudaranya Qosim bin Muhammad mencela musik dan melarang mendengarkannya sementara beliau mengambil ilmu dari Aisyah.” (Talbisul Iblis, no. 29).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Sekelompok sufi berdalil dengan hadits dalam bab –hadits dua wanita kecil- tentang diperbolehkannya menyanyi dan mendengarkannya baik dengan alat atau tanpa alat. Untuk menjawab hal itu cukup dengan penegasan Aisyah dalam hadits setelah bab ini dengan mengatakan ‘Dan kedua wanita kecil tidak menyanyi’ maka beliau meniadakannya dari keduanya secara makna apa yang telah ditetapkan untuk keduanya dengan lafaz. Maka kesimpulannya hendaknya cukup dengan apa yang ada sesuai nash dari sisi waktu dan caranya, untuk memperkecil penyelewengan dasar –maksudnya hadits- wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 2/442-443).

Bahkan sebagian lebih berani terkait mendengarkan lagu (yaitu dengan menyandarkan kepada) para shahabat dan tabiin. Bahwa mereka berpendapat tidak mengapa.

Fauzan hafidhahullah mengatakan, “Kami minta mereka menunjukkan  sanad shahih hingga para shahabat dan tabiin untuk mengakui apa yang disandarkan kepada mereka. Kemudian beliau melanjutkan, “Imam Muslim menyebutkan di muqoddimah shahihnya dari Abdullah bin Mubarak beliau mengatakan, “Sanad (silsilah rawi) bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, orang akan mengatakan sekehendaknya.”

Sebagian mengatakan bahwa semua hadits yang mengharamkan lagu ada cacatnya. Tidak selamat satu haditspun dari cacat menurut ahli fikih dan ulama hadits mereka.

Ibnu Baz rahimahullah mengatakan, “Bahwa hadits yang ada tentang pengharaman lagu tidak ada cacatnya sebagaimana yang anda sangka, bahkan sebagian ada di shahih Bukhari termasuk  kitab paling shahih setelah Kitabullah. Ada yang hasan dan ada juga yang lemah. Karena banyak dan berbagai macam riwayat hadits merupkan dalil yang nyata dan bukti yang kuat tentang pengharaman lagu dan hiburan (yang melalaikan).

Para imam telah sepakat keabsahan hadits pengharaman lagu dan nyanyian. Kecuali Abu Hamid Al-Gozali dan Ibnu Hazm. Al-Ghazali tidak mengetahui ilmu hadits. Al-Albany rahimahullah telah menjelaskan dengan jelas kekeliruan dia. Ibnu Hazm sendiri mengatakan jika haditsnya shahih, dia akan berpendapat dengan itu. Akan tetapi pada zaman sekarang ada orang yang sudah mengetahui shahihnya suatu hadits, karena banyak terdapat dalam kitab ahli ilmu dan mutawatir, dan di antara mereka menshahihkan hadits-hadits ini, akan tetapi mereka berpaling darinya. Sehingga mereka lebih keras dari Ibnu Hazm. Mereka tidak sama (dengan Ibnu Hazm), mereka tidak pada bidangnya dan tidak menjadi tempat rujukan.

Sebagian lagi mengatakan bahwa lagu diharamkan oleh para ulama karena bersanding dengan majlis khamar dan begadang yang diharamkan.

Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan, Jawabannya bahwa sebab diharamkan bukan karena bersandingan. Sebab kalau begitu, akan berakibat bahwa zina yang dengan jelas disebutkan dalam hadist tidak diharamkan kecuali ketika minum khamar dan menngunakan alat musik. Kelaziman ini batil menurut ijmak ulama. Sesuatu yang batil berdasarkan ijmak, maka demikian pula halnya  yang disandingkan.

Begitu juga (kesimpulan di atas) mengharuskan diberlakukannya perkara semisal itu dalam firman Allah ta’ala:

إنه كان لا يؤمن بالله العظيم ولا يحض على طعام المسكين

“Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah Yang Maha Besar. Dan juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Haaqh: 33-34)

Yaitu, bahwa tidak beriman kepada Allah tidak diharamkan kecuali jika tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Kalau dikatakan bahwa pengharaman seperti yang disebutkan ini dalam ketaetapan hukumnya hendaknya membutuhkan dalil lain. Jawabnya adalah bahwa haramnya nyanyian juga diketahui dari dalil lain seperti tadi. (Nailul Authar, 8/107).

Sebagian lagi mengatakan bahwa ‘Perkataan sia-sia’ itu maksudnya bukan lagu. Hal ini telah dijawab. Al-Qurtuby rahimahullah mengatakan, “Ini –maksudnya pendapat bahwa hal itu adalah lagu- adalah pendapat tertingi terkait dengan ayat itu. Ibnu Mas’ud bersumpah akan hal itu ‘Dengan nama Allah yang tiada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia’ sebanyak tiga kali, bahwa hal itu adalah lagu. Kemudian setelah itu dia menyebutkan pendapat dari para imam dan menyebutkan pendapat lain tentang hal itu. Kemudian beliau mengatakan, “Pendapat pertama itu lebih utama dalam bab ini berdasarkan hadits yang sampai kepada Nabi dan pendapat para shahabat serta para tabiin.” (Tafsir Qurtuby).

Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan, setelah menyebutkan tafsir ini, “Hakim Abu Abdillah berkata dalam tafsir di Kitab Al-Mustadrak. Agar diketahui para pelajar, bahwa tafsir shahabat yang menyaksikan wahyu dan yang diturunkan menurut dua pakar hadits adalah hadits musnad. Beliau mengatakan dalam tempat lain di kitabnya, “Menurut kami hal ini mempunyai hukum marfu’ (bersambung sampai kepada Nabi). Pendapat ini, meskipun masih perlu dikaji ulang, tidak diragukan lagi, itu lebih utama untuk diterima daripada penafsiran sesudahya. Mereka umat yang lebih mengetahui keinginan Allah Azza wa Jallah dalam kitab-Nya. Kepada mereka diturunkan, mereka lebih utama diberitahu dari umat ini. Mereka telah menyaksikan tafsir dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam sebagai ilmu dan amalan. Mereka adalah orang arab fasih yang benar. Maka tidak tafsir mereka tidak dikesampingkan selagi ada jalan. (Ighotsatul Lahfan).

Sebagian lagi mengatakan bahwa lagu adalah ketaatan kalau maksudnya adalah menguatkan untuk ketaatan kepada Allah.

Ibnu Qayim rahimahullah mengatakan, “Sungguh mengherankan, maksudnya keimanan, cahaya, ilmu, petunjuk dan pengetahuan didapatkan dengan mendengarkan syair dengan lagu dan nyanyian. Mungkin yang lebih banyak dikatakan adalah suatu yang  haram, apabila Allah dan Rasul-Nya murka dan menyiksanya. Bagaimana ini terjadi bagi orang yang mempunyai sedikit pengetahuan dan hati yang hidup. Mendekatkan diri kepada Allah dengan menambah keimanan, kedekatan serta karomah dengan menikmati sesuatu yang menjadikan Dia marah dan murka disisi-Nya. Allah murka dengan orang yang mengatakan dan rela dengan (perkataan itu). (Madarijus solihin, 1/485).

Syaikhul Islam mengatakan dalam menjelaskan kondisi orang yang terbiasa mendengarkan lagu, “Oleh karena itu, ada orang yang terbiasa menikmati (lagu) namun tidak tersentuh ketika mendengarkan Al-Qur’an dan tidak bergembira dengannya. Tidak mendapatkan sesuatu ketika mendengar ayat seperti yang dia dapatkan ketika mendengar bait syair. Bahkan ketika mendengarkan Al-Qur’an hatinya lalai dan lisannya peluh. Ketika mendengarkan siulan dan tepuk tangan, suaranya khusu, gerakannya tenang dan hatinya mendengarkan dengan seksama.” (Majmu’ Fatawa, 11/557 dan sesudahnya.

Sebagian lagi melontarkan bahwa musik dan lagu dapat melembutkan hati dan perasaan. Menumbuhkan kasih sayang. Hal ini tidak benar, ia menumbuhkan syahwat dan hawa nafsu. Kalau anda melakukan apa yang anda katakan, maka hati para pemusik akan lembut dan akhlaknya akan terbina. (akan tetapi) kebanyakan mereka yang kami ketahui adalah menyeleweng dan akhlaknya rusak.

Penutup

Mungkin jelas bagi anda yang obyektif dari ringkasan ini,- bahwa pendapat memperbolehkan (musik) adalah pendapat yang tidak dianggap dan bahwa dalam masalah ini tidak ada dua pendapat. Maka harus memberikan nasehat dengan baik dan bertahap dalam mengingkarinya bagi yang mampu. Jangan terperdaya kekemasyhuran terkenalan orang di zaman dimana orang beragama menjadi asing.  Orang yang mengatakan diperbolehkanya lagu dan alat musik, sesungguhnya dia memperjuangkan hawa nafsu. Seakan orang awam memberikan fatwa dan dia yang tanda tangan!! Mereka ketika disodori permasalaan, mereka melihat pendapat para ulama dan mengambil yang paling ringan – sebagaimana yang mereka kira- kemudian mencari dalil, bahkan syubhat yang seakan kuat antara jurang yang hampir jatuh dari ketinggian. Berapa banyak membuat aturan agama semacam mereka dengan memanipulasi nama agama Islam sementara Islam berlepas darinya.

Maka upayakan wahai saudaraku untuk mengenal islam anda dari kitab Tuhan anda dan Sunnah Nabi anda. Jangan mengatakan, “Fulan mengatakan begini’ karena kebenaran tidak diketahui dari seseorang bahkan kenali kebenaran, maka anda akan tahu orangnya. Mungkin cukup sampai disini bagi orang yang melawan hawa nafsuna dan tunduk kepada Tuannya. Semoga penjelasan tadi dapat memberi obat di dada orang mukmin. Menghilangkan was was kaum (yang punya) was was. Menguak (keburukan) orang yang berpaling dari wahyu, mengikuti keringanan. Dia mengira bahwa dia mendatangkan dengan apa yang tidak didatangkan oleh generasi awal. Dan berpendapat tentang Allah tanpa ilmu. Meminta keluar dari kefasikan, terjerumus dalam bid’ah. Semoga Allah tidak memberkahinya. Sungguh baik baginya adalah jalan orang-orang mukmin.

Wallahua’lam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah kepada Rasul-Nya yang telah menjelaskan jalan orang-orang mukmin. Dan kepada keluarga serta para shahabat dan yang orang yang mengikutinya dengan baik sampai di hari kiamat.

Ringkasan dari Risalah Ad-Darbi Bin Nawa Liman Abaha Al-Ma’azif Lil Hawa’ karangan Syekh Sa’dudin Bin Muhammad Kabbi

Untuk tambahan silahkan merujuk kitab ‘Al-I’lam Binaqdi Kitab Halal Wal Haram karangan Sykh Allamah Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan

Kitab ‘As-Sima’ karangan Syekhul Islam Ibnu Qayim. Kitab ‘Tahrim Alat At-Tharbi karangan Syekh Nasirudin AlBany rahimahullah.

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid