Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Batasan Aurat Yang Boleh Dilihat Saat Pengobatan

5693

Tanggal Tayang : 10-04-2002

Penampilan-penampilan : 70527

Pertanyaan

Saya mohon Anda menjelaskan tentang masalah memilih dokter. Guru saya mengatakan bahwa untuk memeriksakan penyakitnya seorang wanita harus memilih dokter wanita muslimah, jika tidak ada maka dokter wanita non muslimah, jika tidak ada maka dokter pria muslim, jika tidak ada juga maka boleh diperiksa oleh dokter pria non muslim. Katanya kita boleh memeriksakan diri kepada dokter pria kecuali jika tidak ada dokter wanita dan di saat kita sangat butuh dokter spesialis.
Salah seorang temanku mengatakan bahwa gurunya menyarankan agar mencari dokter muslim, wanita ataupun pria sama saja. Kalau tidak ada baru boleh mencari dokter non muslim, pria maupun wanita.
Saya jadi bingung, saya yakin bahwa dokter-dokter muslim lebih dapat dipercaya daripada dokter non muslim. Akan tetapi bukankah menjaga aurat dan menjauhi fitnah lebih penting?
Sebagian teman-teman wanitaku lebih memilih dokter pria muslim untuk memeriksakan kehamilan mereka. Demikian pula saat melahirkan. Sementara di sana banyak bidan-bidan wanita yang muslimah mapun non muslimah.
Mohon beri kami nasihat, semoga Allah memberi Anda balasan yang baik.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Rabbil 'Alamin, Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi yang diutus sebagai rahmat sekalian alam, Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, kepada segenap keluarga dan para sahabat. Wa ba'du,
Berikut ini akan kami sebutkan beberapa kaidah dan batasan tentang masalah batasan aurat yang boleh dilihat saat pengobatan.
Pertama: Aurat lelaki adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut, berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam :

"Apa-apa yang berada diantara pusar dan lutut adalah aurat"
(Hadits hasan riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Daraquthni) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Kedua: Tubuh wanita seluruhnya aurat bagi lelaki bukan mahramnya. Berdasarkan firman Allah:

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir."
(QS. An-Nuur :53)

Dan berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam :

"Tubuh wanita itu seluruhnya aurat."
(H.R Tirmidzi dengan sanad yang shahih)

Inilah pendapat yang benar dalam madzhab Hambali dan salah satu pendapat dalam madzhab Maliki serta salah satu pendapat juga dalam madzhab Syafi'i.

Ketiga: Sengaja melihat aurat yang dilarang dilihat merupakan perkara yang sangat diharamkan, wajib menundukkan pandangan darinya, berdasarkan firman Allah:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman:"Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka,. (QS. 24:30-31)

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya dan janganlah juga seorang wanita melihat aurat wanita lainnya."
(H.R Muslim)

Beliau juga pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib:

"Janganlah melihat kepada paha orang yang masih hidup ataupun yang sudah mati."
(H.R Abu Dawud dan hadits ini shahih)

Keempat: Setiap aurat yang tidak boleh dilihat maka tidak boleh juga disentuh walaupun memakai penghalang. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan wanita."
(H.R Malik dan Ahmad, hadits ini shahih)

Beliau juga berkata:

"Sekiranya kepala salah seorang kamu ditusuk dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya."
(H.R Ath-Thabrani dan hadits ini shahih)

An-Nawawi berkata: Menurut prioritas hukum, menyentuh wanita yang bukan mahram haram hukumnya sebagaimana juga haram melihatnya. Sebab menyentuh tentunya lebih lezat daripada sekedar melihat.

Kelima: Ada beberapa jenis dan tingkatan aurat, diantaranya aurat yang vital. Yaitu qubul dan dubur. Dan aurat yang tidak vital, seperti paha (antara sesama lelaki).
Aurat anak-anak yang masih berusia dibawah tujuh tahun tidak termasuk dalam cakupan hukum. Adapun aurat anak kecil yang telah mumayyiz (baligh) -antara tujuh sampai sepuluh tahun- adalah kemaluannya. Aurat anak perempuan yang masih kecil dan sudah baligh auratnya dari pusar sampai ke lutut. Demikian pula dalam kondisi aman. Aurat mayit sama seperti aurat orang yang masih hidup. Dan lebih amannya menggolongkan aurat banci (banci alami) sebagaimana aurat wanita, sebab berat dugaan ia seorang wanita.

Keenam: Keadaan darurat membolehkan perkara yang terlarang. Para ulama sepakat bahwa seorang dokter boleh melihat bagian tubuh wanita yang sakit untuk kebutuhan pemeriksaan dan pengobatan dengan memperhatikan batasan-batasan syar'inya. Demikian pula para ulama membolehkan para dokter melihat bagian tubuh lelaki yang sakit. Ia boleh melihat bagian tubuh yang sakit sebatas kebutuhan. Dalam hal ini dokter wanita sama halnya dengan dokter pria. Hukum ini di dasarkan atas kaidah mendahulukan maslahat menyelamatkan jiwa daripada maslahat menjaga aurat jika kedua maslahat itu bertabrakan.

Ketujuh: Kaidah selanjutnya adalah: "Darurat harus diukur sesuai batasnya." Meskipun melihat, menyingkap, menyentuh dan sebagainya dibolehkan karena darurat dan kebutuhan yang sangat mendesak, tetapi tidak dibolehkan melampaui dan melanggar batasa-batas syariat. Batas-batas itu sebagai berikut:

1. Pengobatan kaum lelaki hendaklah ditangani oleh dokter pria, dan pengobatan kaum wanita hendaklah ditangani dokter wanita. Jika seorang wanita terpaksa menyingkap auratnya untuk keperluan pengobatan, maka dianjurkan agar ditangani oleh dokter wanita muslimah. Jika tidak ada maka ditangani oleh dokter non muslimah, jika tidak ada maka ditangani oleh dokter pria muslim, jika tidak ada maka ditangani oleh dokter pria non muslim.
Demikian pula jika bisa ditangani oleh dokter umum wanita muslimah maka tidak perlu ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika diperlukan dokter spesialis wanita dan ternyata tidak ada, maka boleh ditangani oleh dokter spesialis pria. Jika dokter spesialis wanita tidak mencukupi dan sangat perlu ditangani oleh dokter spesialis pria yang mahir maka boleh ditangani oleh dokter pria tersebut.
Jika terdapat dokter spesialis pria yang lebih mahir daripada dokter spesialis wanita, maka tetap tidak boleh ditangani oleh dokter pria kecuali jika spesialisasi dokter pria itu sangat dibutuhkan. Demikian pula halnya dalam proses pengobatan pria, yaitu tidak boleh ditangani oleh dokter wanita jika masih ada dokter pria yang mampu menanganinya.

2. Tidak diperkenankan melampaui batas aurat yang lazim untuk dibuka. Cukup membuka anggota tubuh yang perlu diperiksa saja. Dan hendaknya berusaha menundukkan pandangan semampunya. Dan hendaknya ia sesalu merasa melakukan sesuatu yang pada dasarnya diharamkan dan senantiasa minta ampun kepada Allah atas perbuatan melampaui batas yang mungkin terjadi.

3.Jika pengobatan bisa dilakukan hanya dengan mengidentifikasi penyakit saja (tanpa harus membuka aurat), maka tidak diperkenankan membuka aurat. Jika hanya dibutuhkan melihat tempat yang sakit saja maka tidak perlu menyentuhnya, jika cukup menyentuh dengan memakai penghalang saja maka tidak perlu menyentuhnya tanpa penghalang.

4. Jika yang menangani pasien wanita terpaksa harus dokter pria maka disyaratkan tidak dalam keadaan khalwat. Pasien wanita itu harus disertai suaminya, atau mahramnya atau wanita lain yang dapat dipercaya.

5. Hendaknya dokter yang menanganinya adalah seorang yang terpercaya, tidak cacat moral dan agamanya. Dalam hal ini cukuplah menilainya secara zhahir.

6. Makin vital aurat tersebut makin keras pula larangan melihat dan menyentuhnya. Penulis buku Kifayatul Akhyar berkata: "Ketahuilah bahwa kebutuhan yang sangat mendasar untuk dilihat adalah wajah dan dua telapak tangan. Adapun bagian-bagian tubuh lainnya hanya boleh dilihat sesuai dengan kadar kebutuhan, terutama alat kelamin vital. Oleh sebab itu hal ini sangat perlu dijaga, terutama pada saat membantu kelahiran dan mengkhitan anak perempuan yang mulai tumbuh dewasa.

7. Kebutuhan pengobatan memang sangat mendesak. Seperti penyakit yang tidak dapat ditahankan lagi atau penurunan stamina dikhawatirkan akan membahayakan jiwanya. Adapun jika tidak begitu sakit atau tidak begitu mendesak maka janganlah membuka aurat (hanya untuk pengobatannya), sebagaimana dalam perkara-perkara yang bersifat dugaan dan perkara-perkara sekunder lainnya (yang mana tidak mesti membuka aurat).

8. Seluruh perkara di atas berlaku jika tidak menimbulkan fitnah dan tidak membangkitkan syahwat kedua belah pihak (yakni pasien dan dokternya).
Terakhir, segala sesuatunya harus di dasari ketakwaan kepada Allah. Karena syariat telah menggariskan hukum-hukum yang jelas dan tegas bagi perkara-perkara sensitif seperti ini. Salah satu penyebab timbulnya musibah pada zaman ini adalah memandang remeh masalah membuka aurat di tempat-tempat kunjungan dan rumah-rumah sakit. Sepertinya para dokter-dokter tersebut boleh melakukan segala sesuatu dan dihalalkan baginya segala yang terlarang. Demikian pula yang berlaku dalam program-program pendidikan yang seratus persen ditiru dari program-program pendidikan yang ada di negara-negara kafir. Hal ini termasuk kelengahan dalam berbagai pola pendidikan, latihan dan ujian.
Kaum muslimin wajib mengajarkan berbagai keterampilan khusus bagi kaum wanita agar mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dan hendaknya menyusun jadwal yang rapi dan teratur di klinik-klinik dan rumah-rumah sakit agar wanita-wanita muslimah tidak jatuh dalam kesulitan. Dan hendaknya tidak menelantarkan wanita-wanita muslimah yang sakit atau merasa keberatan jika mereka meminta di tangan oleh dokter wanita.
Hanya kepada Allah sajalah kita memohon agar menganugrahkan bagi kita pemahaman dalam agama dan menolong kita dalam melaksanakan hukum-hukum syariat dan dalam memelihara hak-hak kaum muslimin. Sesungguhnya Dia-lah yang kuasa memberi taufiq dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid