Alhamdulillah.
Pertama:
Seseorang diharuskan menikahkan puteranya jika sang anak membutuhkan perkawinan dan tidak mampu menanggung biayanya, menurut pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama. Karena kebutuhan untuk menikah boleh jadi tidak lebih ringan dari makan dan minum untuk dipenuhi kebutuhannya. Maka hal tersebut dapat dimasukkan dalam katagori nafkah yang wajib.
Al-Mardawai dalam Kitab Al-Inshaf (9/204) berkata, "Seseorang wajib menjaga kesucian diri orang yang wajib dia nafkahi, baik bapak, kakek, anak, cucuk dan selain mereka yang wajib diberi nafkah. Inilah pendapat yang shahih menurut mazhab (yaitu mazhab Ahmad)."
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Kebutuhan manusia terhadap pernikahan sangat mendesak. Kadang kebutuhannya seperti kebutuhan makan dan minum. Karena itu, ulama berkata, "Orang yang wajib memberi nafkah kepada seseorang, maka wajib baginya untuk menikahkannya jika dia memiliki keluasan harta. Maka wajib bagi seorang bapak menikahkan puteranya jika sang anak membutuhkan pernikahan sedangkan dia tidak memiliki biaya pernikahan. Akan tetapi, saya mendengar dari sebagian kaum bapak yang lupa dengan kondisi mereka saat muda, ketika puteranya meminta kepadanya untuk menikah, dia berkata kepadanya, "Menikahlah dari hasil keringatmu." Sikap ini tidak boleh dan haram baginya, jika dia mampu menikahkannya. Anaknya akan menuntutnya pada hari kiamat jika dia tidak menikahkannya sementara dia mampu untuk melakukan hal itu."
(Fatawa Arkanul Islam, hal. 440-441)
Kedua:
Jika kebutuhan terhadap haji dan perkawinan anak berbarengan, sedangkan harta yang dimiliki hanya cukup untuk melaksanakan salah satu dari keduanya, maka hendaklah dia menilai pernikahan sang anak, apakah harus dilakukan sekarang atau dapat ditunda? Jika sang anak sang membutuhkan pernikahan dan khawatir dirinya terjerumus perbuatan haram, maka pernikahannya harus didahulukan dari haji untuk dirinya dan juga haji untuk bapaknya, karena dua sebab;
Pertama; Sesungguhnya menjaga kesucian dirinya dari terjerumus dalam perbuatan haram, adalah perkara wajib yang tidak boleh ditunda. Sedangkan ibadah haji masih mungkin ditunda hingga Allah berikan kemudahan baginya.
Kedua: Haji tidak diwajibkan bagi seorang bapak, kecuali jika dia memiliki kelebihan uang belanja untuk dirinya dan untuk orang yang wajib dia nafkahi. Dalam kondisi seperti ini, dia wajib menikahi anaknya agar dia tidak terjerumus pada perbuatan haram.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Kitab Al-Mughni (5/12), "Jika anaknya membutuhkan pernikahan dan khawatir dirinya mengalami kesulitan, hendaknya dia (bapaknya) mendahulukan untuk menikahkan anaknya, karena hal itu merupakan kewajiban baginya dan tidak dapat dia tinggalkan. Perkara tersebut seperti kewajiban nafkah kepada mereka. Jika sang anak tidak khawatir (melakukan perbuatan haram), hendaknya dia mendahulukan haji. Karena pernikahan dalam kondisi tersebut hukumnya sunah, maka tidak didahulukan dari pelaksanaan ibadah haji."
(Al-Majmu, 7/71, An-Nawawi)
Lihat soal no. 27120
Adapun jika sang anak tidak membutuhkan pernikahan dan tidak khawatir dirinya terjerumus dalam perbuatan haram seandainya pernikahannya ditunda, maka sang bapak tidak wajib menikahkan puteranya saat sekarang. Maka, ketika itu sang bapak wajib menunaikan ibadah haji, karena dia memiliki kelebihan harta untuk dirinya dan untuk orang yang wajib dia tanggung.
Allah Ta'ala berfirman,
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاًوَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (سورة آل عمران: 97)
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah; Yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali Imran: 97)
Wallahua'lam.