Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apa hikmah tidak adanya istirahat bagi lelaki dalam beribadah seperti para wanita. Contohnya ketika kami puasa di bulan Ramadan, ketika haid kita berbuka. Begitu juga kita shalat, waktu haid dan nifas kita tidak shalat.
Alhamdulillah.
Ibadah tidak (dilakukan) dengan susah dan payah agar seorang muslim dapat beristirahat darinya. Bahkan ibdah adalah kecintaan dan penghormatan untuk Allah Ta’ala. Memberikan dorongan kejujuran menuju kepada Allah, menjadikan kerinduan besar kepada-Nya subhanahu. Seorang muslim bersimpuh dengan (ibadah) di antara Tuhannya dan Penolong-Nya. Mengajak dan bermunajat menghapad kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya. Memohon keutamaan, kedermawanan dan kedekatan-Nya. Barangsiapa yang kondisinya seperti ini, maka dia tidak akan pindah dan tidak meminta pindah. Tidak meminta kecuali tambahan waktu musim ibadah dan ketaatan. Maka kondisinya seperti kondisi Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dahulu bersabda,
أَرِحْنَا بِهَا – يَعْنِي باِلصَّلاَةِ – يَا بِلاَل
“Wahai Bilal!, hiburlah kami dengannya –yakni dengan shalat-.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, ‘Tidak diragukan lagi bahwa kesempurnaan ubudiyah mengikuti kesempurnaan kecintaan. Dan kesempurnaan kecintaan mengikuti kesempurnaan yang dicintai pada dirinya. dan Allah subhanahu pemilik kesempurnaan secara mutlak pada segala sisi. Tidak ada kekurangan sama sekali. Dari masalah ini, maka hati tidak ada yang lebih dicintai dari-Nya. Selagi fitrah dan akalnya selamat. Kalau sekiranya segala sesuatu yang lebih dicintainya, maka tidak ada kemungkinan lain kecuali kecintaannya itu mengharuskan ubudiyah dan ketaatan kepada-Nya. Dan mencari-cari keredhoan-Nya dan menguras segala tenaga untuk beribadah kepada-Nya. Dan kembali kepada-Nya. Dan ini adalah pendorong yang lebih sempurna serta pendorong terkuat dalam beribadah. Sampai kalau sekirnya tidak ada perintah, larangan, pahala, balasan maka akan (tetap) mengerahkan sepenuh tenaga dan hatinya tetap ikhlas untuk yang diibadati secara benar. Dari sini perkataan sebagian Ulama’ salaf, ‘Bah ia dapat mengeluarkan biji dari hatiku yang tidak dapat dikeluarkan dari ucapannya.’ Diantaranya ungkapan Umar bin Suhaib, ‘Kalau sekiranya tidak takut kepada Allah, maka dia tidak akan berbuat kemaksiatan kepada-Nya.
Sungguh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam pernah berdiri sampai kakinya bengkak, dikatakan kepada beliau, ‘Anda melakukan hal ini, padahala anda telah diampuni (dos) yang lalu maupun ke depan! Beliau menjawab, ‘Tidakkah boleh saya menjadi hamba yang pandai bersyukur.’
Maka Allah subhanahu disembah, dipuji dan dicintai karena layak dan berhak untuk hal itu. Bahkan hak-Nya dari hamba-hamba tidak dapat diperoleh dengan kemampuan dan keinginannya. Tidak tergambar di akal mereka. Tidak seorangpun darihamba-Nya beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benar ibadah. Tidak dapat terpenuhi hak kecintaan dan pujian. Oleh karena itu orang yang terbaik dari makluh, tersempurna, paling mengtahui, paling mencintai dan paling taat kepada-Nya mengatakan ‘Saya tidak mampu menghitung pujian kepada Engkau’. Beliau juga memberitahukan bahwa amalannya tidak dapat selamat dengan sendirinya dengan mengatakan,
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلا أَنَا إِلا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ
“Tidak ada seorang pun yang terselamatkan hanya karena amalannya. (Para shahabat) berkata, ‘Begitu juga anda wahai Rasulullah? Beliau menjawab, ‘Begitu juga saya, kecuali Allah memberikan kepadaku rahmat dan keutamaan-Nya’
Shalawat dan salam sebanyak ciptaan di langit, sebanyak ciptaan di bumi, dan sebanyak di antara keduanya serta sebanyak apa yang diciptakan. Dalam hadits marfu’ (sampai kepada Nabi) yang terkenal bahwa di antara para malaikat ada yang bersujud kepada Allah, tidak pernah mengangkat kepalanya semenjak diciptakan, di antara mereka ada yang ruku, tidak pernah mengangkat kepadalanya semenjak diciptakan sampai hari kiamat. Sementara mereka mengatakan, ‘Maha Suci Engkau, kami tidak beribadah dengan sebenar-benar ibadah kepada Engkau.’ (Miftah Dar As-Sa’adah, 2/88-90)
Silahkan lihat soal jawab no. 49016.
Wallahu’alam .