Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Ketika janabah, ranjang dan penutupnya terkena mani. Sementara menurut saya pendapat terkuat adalah mani itu najis. Jika dia terkena (mani) dengan yakin, maka saya biarkan saja najis tersebut, karena dia najis hukmiyah. Saya melakukan demikian karena saya mahasiswa dan tinggal bersama para mahasiswa lainnya, sehingga sulit bagi saya setiap kali untuk mencuci ranjang.
Terkadang saya duduk di atasnya dan kondisi tubuh saya basah atau najis itu basah. Sementara saya berpendapat sesuai dengan pendapat Imam Malik, bahwa hukum najisnya mani tidak berpindah. Apakah yang saya lakukan itu benar? Bagaimana kedudukan shalat-shalat saya? Karena saya shalat mempergunakan pakaian yang sama saat saya duduk di atasnya?
Alhamdulillah.
Pertama:
Para ulama fikih berpeda pendapat akan kesucian mani dan najisnya menjadi dua pendapat. Mazhab Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa mani itu sucinya . Ini termasuk pendapat terkuat berdasarkan dalil. Sementara mazhab Abu Hanifah dan Malik mengatakan mani itu najis.
Kedua:
Jika mengambil pendapat yang menyatakan bahwa mani itu najis, ketika seseorang bermimipi basah, maka hendaknya dia menghindari ranjang agar tidak terkena mani, karena biasanya yang terkena adalah bajunya saja tidak akan melebihi dari itu. Selayaknya hindari penyakit was was karena dia termasuk penyakit dan keburukan.
Jika dipastikan ranjang terkena mani, jika maninya telah kering kemudian seseorang duduk diatasnya, maka tidak akan menjadi najis kecuali kalau didapati ada sesuatu yang basah pada bajunya atau ranjangnya dan najis tidak akan berpindah kedua-duanya sama-sama kering.
Dan mazhab Malikiyah mengatakan kalau barang najis itu dibersihkan dengan selain air mutlak, maka najis itu tidak akan berpindah lagi meskipun masih basah.
Khalil, ulama dalam mazhab Maliki, berkata dalam mukhtasornya, “Kalau barang najisnya itu dihilangkan dengan selain (air) mutlaq, maka tidak akan berpindah najisnya kepada sesuatu yang menempel tempatnya.”
Al-Khottobi dalam Syarkhnya ‘Mawahibul Jalil, (1/165) mengatakan, “Maksudnya kalau najisnya itu dihilangkan dengan selain air mutlak. Mungkin air yang dicampur atau dengan sesuatu yang dapat menghilangkan selain dari air seperti cuka dan semisalnya. Kami mengatakan hal itu tidak dapat membersihkan tempat najis yang dihukumi atasnya. Karenamya tidak boleh shalat dengannya.
Kemudian kalau menempel di tempat itu padahal masih basah atau sesuatu yang basah menempel setelah kering atau dalam kondisi basah, apakah dapat berpindah najisnya dari sesuatu yang menempel tadi atau tidak menjadi najis? Ada dua pendapat dalam masalah ini, Ibnu Abdus Salam dan pengarang serta selain dari keduanya serta kebanyakan ulama mengatakan, ‘Tidak menjadi najis.”
Ulaisy dalam kitab ‘Minahul Jalil, (1/73) mengatakan, “(Kalau zat najisnya itu hilang) dari tempatnya dengan selain air (mutlak) seperti air yang telah berubah warnanya dengan bunga, dan tempatnya masih basah, kemudian terkena sesuatu yang kering atau basah atau menempel dengan sesuatu yang basah (tidak berubah menjadi najis sesuatu yang menempel tersebut) – maksudnya najisnya menurut pendapat dalam mazhab.
Ungkapan “Atau kering menempel dengan sesuatu yang basah” ini terkait jika zat najisnya dihilangkan wujudnya dengan selain air mutlak. Sehingga kaidah di atas tidak cocok terhadap najis yang mengering tapi zatnya tidak dihilangkan.”
Wallahua’lam