Alhamdulillah.
Permasalahan dalam pertanyaan anda wahai saudaraku yang mulia, sumbernya dari ungkapan salah yang terkenal ‘Kami tidak beribadah kepada Allah takut dari nerakaNya dan tidak mengharap dari surgaNya. Bahkan kami beribadah kerena cinta kepadaNya.’ Sebagian menyebutkan dengan redaksi lain. Yang kembalinya bahwa siapa yang beribadah kepada Allah takut dari nerakaNya, maka itu termasuk ibadahnya seorang budak. Siapa yang beribahda mengharap surgaNya, maka itu ibadahnya pedagang. Mereka menyangka bahwa orang yang beribadah adalah orang yang menyembahNy karena cinta kepadaNya ta’ala.
Ungkapan apapun atau redaksi yang mengandung arti itu, siapa saja yang mengatakannya, maka itu termasuk suatu kesalahan. Menyalahi agama yang suci. Yang menunjukkan hal itu adalah:
1.Bahwa antara cinta, takut dan harapan itu saling bertentangan. Sampai –saudaraku penanya- ingin menyembah Tuhan anda karena cinta kepadaNya. Karena orang yang takut dan mengharap kepada Allah, kecintaan kepada Allah tidak tercabut darinya. Bahkan mungkin lebih banyak merealisasikan dibanding orang yang menyangka cinta kepadaNya.
2.Bahwa ibadah sesuai syariat menurut ahlu Sunnah mencakup kecintaan dan pengagungan. Kecintaan menghasilan harapan dan pengagungan menghasilkan ketakutan.
Syekh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah terbangun atas dua hal yang agung, keduanya adalah kecintaan dan pengagungan. Keduanya bersumber dari :
إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغباً ورهَباً (سورة الأنبياء: 90)
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. Al-Anbiya: 90)
Kecintaan itu dengan harapan dan pengagungan dengan rasa takut. Oleh karena itu ibadah adalah dengan perintah dan larangan. Perintah dibangun atas harapan dan permintaan sampai pada suatu urusan dan larangan terbangun atas pengagungan dan rasa takut dari yang Maha Agung.
Kalau anda mencinta Allah Azza Wajalla, anda berharap apa yang ada padaNya. Dan berharap sampai kepadaNya. Anda mencari jalan yang sampai kepadaNya. Anda menjalankan ketaatan dengan cara sesempurna mungkin. Kalau anda agungkan, anda takut kepadaNya, setiap kali anda akan melakukan kemaksiatan, anda merasa akan keagungan Pencinta Azza Wajalla. Sehingga anda lari:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَا أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ )سورة يوسف: 24)
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian.” (QS. Yusuf: 24)
Ini adalah kenikmata Allah kepada anda. Kalau anda ingin melakukan maksiat, anda dapatkan Allah dihadapan anda. Sehingga anda takut dan menjauh dari kemaksiatan. Karena anda beribadah kepada Allah dalam kondisi berharap dan penuh rasa takut.” (Majmu Fatawa Syekh Utsaimin, 8/17, 18).
3.Bahwa Ibadah para nabi, ulama dan orang bertakwa mencakup rasa takut dan harapan serta tidak lepas dari kecintaan. Siapa yang ingin beribadah kepada Allah Ta’ala dengan salah satu dari hal itu, maka termasuk berbuat bid’ah. Bahkan kondisinya bisa kekufuran. Allah ta’ala berfirman dalam mensifati kondisi orang yang berdoa dari kalangan para malaikat, nabi dan orang sholeh:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ (سورة الإسراء: 57)
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” (QS. Al-isra’: 57)
Allah Ta’ala berfirman dalam mensifati kondisi para nabi:
إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغباً ورهَباً (سورة الأنبياء: 90)
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.” (QS. Al-Anbiya: 90)
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Maksud dari ( رَغَباً )bahwa mereka beribadah dalam kondisi penuh harap dari apa yang diharapkan dari rahmat dan keutaman-Nya.
( وَرَهَباً )maksudnya rasa takut mereka dari siksa dan balasanNya dengan meninggalkan ibadah kepadaNya dan melakukan kemaksiatanNya. Seperti apa yang kami katakana, begitu juga apa yang dikatakan ahli tafsir. (Tafsir Ath-Thabari, 18/521).
Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Firman Allah
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik).”
Maksudnya pada amalan yang mendekatkan (diri kepada Allah) dan melakukan ketaatan.
وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا
“Dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.”
Ats-Tsauri mengatakan kata ( رَغَبًا ) maknanya penuh harap yang ada pada Kami.
Dan ( وَرَهَبًا ) maknanya cemas dari yang ada pada kami.
( وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ ) Ali bin Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas maksudnya membenarkan apa yang Allah turunkan. Mujahid mengatakan, “Orang-orang yang benar-benar beriman. Abu Aliyah mengatakan, “Orang yang penuh ketakutan. Abu Sinan mengatakan, “Khusu’ adalah rasa takut yang senantiasa dalam hati. Yang tidak berpisah selamanya. Dai Mujahid juga kata ( خَاشِعِينَ )maksudnya orang yang tawadhu’. Hasan dan Qatadah serta Dohhaq mengatakan, ( خَاشِعِينَ )adalah merendahkan diri kepada Allah Azza Wajalla. Semua pendapat ini berdekatan. Tafisr Ibnu Katsir, (5/370).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimaullah mengatakan, “Sebagian ulama salaf mengatakan, “Siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan kecintaan, maka dia Zindiq. Siapa yang beribadah hanya dengan rasa takut maka dia Haruri –maksudnya kaum Khowarij- dan siapa yang beribadah kepada-Nya dengan hanya penuh pengharapan saja maka dia murji’ah. Siapa yang beribadah kepadaNya dengan cinta, rasa takut dan penuh harap, maka dia adalah orang mukmin yang mengesakan.” Majmu Fatawa, (15/21).
4.Keyakinan mereka bahwa surga itu pepohonan, sungai dan bidadari. Mereka lupa yang lebih agung dari itu dimana seorang hamba berusaha untuk mendapatkannya. Yaitu melihat Allah Ta’ala dan menikmatinya. Neraka bukan sekedar hawa panas dan minuman yang mendidih (samum) dan zaqum. Bahkan ia termasuk kemararahan dan siksa Allah serta terhalangi dari melihat Allah Azza Wajalla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dari sini jelas hilangnya kesamaran ungkapan orang yang mengatakan, “Kami tidak beribadah kepadaMu karena rinduk ke SurgaMu. Tidak takut nerakaMu. Sesungguhnya saya beribadah kepadaMu hanya rindu melihatMu. Sesungguhnya orang yang mengatakan ini menyangka dia dan orang yang mengikutinya bahwa surga hanya urusan makan, minum, pakaian dan nikah serta semisal itu dari kenikmatan makhluk. Oleh karena itu sebagian dari syekh ungkapan salah ketika mendengar firmanNya:
مِنْكُم مَنْ يُريدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُم مَن يُرِيدُ الآخِرَةَ
“Di antara mereka ada yang menginginkan dunia dan di antara mereka ada yang menginginkan akhirat.”
Dia mengatakan, “Mana yang ingin Allah.” Yang lainnya mengatakan dalam firmanNya:
إِنَّ الله اشْتَرَى مِنَ المُؤمِنينَ أنْفُسَهُم وَأَمْوَالُهُم بِأَنَّ لَهُم الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka bahwa balasan bagi mereka adalah surga.”
Mengatakan, “Kalau jiwa dan harta (dibeli) dengan surga, dimana (kenikmatan) melihat Allah?”
Semuanya ini karena persangkaan mereka bahwa surga tidak masuk di dalamnya melihat (Allah). Yang benar (setelah diteliti) bahwa surga adalah tempat yang menampung semua bentuk kenikmatan. Yang tertingga di dalamnya adalah melihat wajah Allah. Yaitu kenikmatan yang didapatkannya di dalam surga. Sebagaimana yang diberitahukan dalam nash. Begitu juga penduduk neraka. Mereka terhalangi dari Tuhannya dan masuk ke neraka. Padahal orang yang mengatakan pendapat ini, kalau dia mengetahui bahwa maksudnya adalah Jika tidak diciptakan neraka atau tidak diciptakan surga. Maka tetap beribadah. Dan harus mendekatkan diri kepadaNya dan melihat kepadaNya. Maksud surga di sini adalah apa yang dinikmati oleh makhluk.” (Majmu Fatawa, 10/62, 63).
Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Setelah diteliti dikatakan bahwa surga bukan sekedar nama untuk pepohonan, buah-buahan, makanan, minuman, bidadari, sungai dan istana. Kebanyakan manusia salah tentang penamaan surga. Sesungguhnya surga adalah nama untuk tempat kenikmatan secara mutlak dan sempurna. Diantara kenikmatan surga yang paling agung adalah menikmati melihat wajah Allah yang Mulia. Mendengarkan KalamNya, menjadi penyejuk mata dekat denganNya dan keredoanNya. Maka tidak ada tandingan kenikmatan di dalamnya dengan makanan, minuman, pakaian dan gambar dibandingkan dengan kenikmatan ini selamanya. Sedikit saja dari keredoanNya, itu lebih besar dibandingkan isi dari surge itu semua. Sebagaimana firmanNya:
وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ أَكْبَر (سورة التوبة: 72)
“Dan keridhaan dari Allah adalah lebih besar.”
Ada dalam bentuk nakirah (umum) dalam kontek istbat (penetapan). Maksudnya apa saya bentuk redoNya dari hambaNya itu lebih besar dibandingkan surga.
قليل منك يقنعني *** ولكن قليلك لا يقال له قليل
“Sedikit darimu itu dapat mencukupkanku ## akan tetapi sedikit dariMu tidak dikatakan sedikit
Dalam hadits shahih hadits melihat (Allah)
فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم من النظر إلى وجهه
“Demi Allah, tidaklah apa yang Allah berikan kepada mereka apapun yang paling dicintai bagi mereka melebihi dari melihat wajahNya.”
Dalam hadits lainnya:
أنه سبحانه إذا تجلى لهم ورأوا وجهه عيانا : نسوا ما هم فيه من النعيم وذهلوا عنه ولم يلتفوا إليه
“Bahwa Allah Subhanahu ketika menampakkan kepada mereka dan mereka melihat wajahNya secara langsung, mereka lupa kenikmatan yang ada. Tercengang darinya dan tidak menengok lainnya.”
Tidak ragu lagi, bahwa permasalahannya seperti ini. Dia lebih mulia dari yang terbetik dalam benak atau yang ada dalam hayalan. Terutama ketika (mendapatkan) kemenangan orang yang dicintai disana ada kebersamaan dengan kecintaan. Karena ‘Seseorang bersama orang yang dicintai’ tidak ada pengkhususan dalam hukum ini. Bahkan ini merupakan suatu ketetapan, baik yang Nampak maupun yang tidak Nampak. Kenikmatan, kelezatan, penghibur mata dan kemenangan apa saja yang dapat mengalahkan kenikmatan kebersamaan itu. Kelezatan dan penghibur mata apakah lebih tinggi dari penghibur mata bersama orang yang dicintai yang tidak ada yang lebih tinggi dariNya. Tidak ada yang lebih sempurna dan tidak ada yang lebih menghibur mata dariNya selamanya.
Dan ini –demi Allah – ini adalah ilmu yang digapai para pecinta, serta bendera yang diikuti para arifun. Yaitu ruh yang dinamakan surge dan kehidupannya. Dengannya surga indah dan dibangun di atasnya. Bagaimana dikatakan, “Tidak beribadah kepada Allah karena mencari surgaNya dan tidak takut dari nerakaNya ?!.
Begitu juga neraka, semoga Allah menjaga kita darinya. Sesungguhnya penghuninya diantara siksanya adalah terhalangi dari Allah, penghinaan, kemarahan dan kemurkaanNya. Jauh dariNya lebih besar (siksaan) dari pada panasnya api neraka di tubuh dan ruhnya. Bahkan panasnya di hati mereka mengharuskan panasnya pada tubuh mereka. Dan kepadanya dituntun masuk kedalamnya.
Yang diharapkan para nabi, utusan, para siddiq, para syuahar dan orang sholeh adalah surga. Dan mereka lagi dari neraka. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan dan kepadaNya kita menyandarkan. Tiada daya dan kekuatan melainkan dari Allah, cukup bagi kita hanya kepada Allah dan sebaik-baik wakil. ‘Madrijus Salikin, (2/80, 81).
5. Ungkapan itu menghantarkan menganggap remeh penciptaan surga dan neraka. Sementara Allah Ta’ala yang menciptakan keduanya, disiapkan masing-masing kepada orang yang berhak masuk ke dalamnya. Dengan surga, orang ahli ibadah akan semangat. Dan dengan neraka, membuat takut makhluk dari kemaksiatan dan kekufuran.
6. Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa salalm memohon kepada Allah surga dan berlindung dari neraka. Dan beliau mengajarkan hal itu kepada para shahabatnya radhiallahu anhhum. Begitu juga para ulama dan ahli ibadah mewariskannya. Mereka tidak melihat hal itu menghilangkan kecintaan mereka kepada Tuhannya. Juga tidak mengurangi kedudukan ibadah mereka.
Dari Anas berkata, biasanya kebanyakan doa Nabi sallallahu alaihi wa sallam adalah:
اللَّهُمَّ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (رواه البخاري، رقم 6026 )
“Ya Allah Tuhan Kami, karuniakan kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jauhkan kami dari siksa neraka.” (HR. Bukhari, no. 6026).
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berkata kepada seseorang:
مَا تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ ؟ قَالَ : أَتَشَهَّدُ ، ثُمَّ أَسْأَلُ اللَّهَ الْجَنَّةَ ، وَأَعُوذُ بِهِ مِنْ النَّارِ ، أَمَا وَاللَّهِ مَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ ، وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ – أي : ابن جبل - قَالَ : حَوْلَهَا نُدَنْدِن (رواه أبو داود، رقم 792 وابن ماجه، رقم 3847 ، وصححه الألباني في " صحيح ابن ماجه)
“Apa yang kamu katakana dalam shalat?” Dia menjawab, “Saya bertasyahud kemudian memohon kepada Allah surga dan berlindung kepadaNya dari neraka. Demi Allah saya tidak dapat berucap sebagus kamu dan kebiasaan Muaz –maksudnya Ibnu Jabal- . Beliau berkata, “Seputarnya inilah ucapan-ucapan kami.” (HR. Abu Dawud, no. 792 Ibnu Majah, no. 3847 dinyatakan shahih Albany di Shahih Ibnu Majah)
Dari Baro’ bin ‘Azib radhiallahu anhuma berkata, “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam berkata kepadaku:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وَضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَهْبَةً وَرَغْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مُتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَقُولُ( رواه البخاري، رقم 5952 ومسلم، رقم 2710 ) .
“Kalau anda mendatangi tempat tidurmu, maka berwudulah seperti wudu untuk shalat. Kemudian berbaring pada sisi kanan dan ucapkan doa, “Ya Allah saya pasrahkan jiwaku kepadaMu, saya serahkan urusanku kepadaMu. Saya kembalikan punggungku kepadaMu dalam kondisi penuh harapan kepadaMu. Tidak ada tempat kembali dan tempat yang selamat dariMu kecuali kembali kepadaMu. Saya beriman kepada KitabMu yang Engkau turunkan. Dan dengan nabiMu yang Engkau utus. Maka anda meninggal, maka anda meninggal dalam kondisi fitrah dan jadikanlah hal itu ucapan terakhir anda.” (HR. Bukhari, no. 5952 dan Muslim, no. 2710).
Taqiyudin Subki rahimahullah mengatakan, “Orang yang beramal itu ada beberapa golongan, golongan beribadah karena Dzatnya, hal itu karena layak akan hal itu. Karena Dia layak untuk hal itu. Meskipun tidak menciptakan surga dan neraka. Ini maksud ungkapan orang yang mengatakan, “Kami tidak beribadah kepadaMu karena takut dari nerakaMu dan tidak mengharap dari surgaMu. Maksudnya bahkan kami beribadah kepadaMu karena layak Engkau seperti itu. Meskipun begitu orang yang mengatakan hal ini, tetap meminta surg dan berlindung dari neraka. Sebagian orang bodong menyangka berbeda dari hal itu. Itu ada suatu kebodohan. Siapa yang tidak meminta surga dan selamat dari neraka, maka itu menyalahi sunah. Karena hal itu termasuk sunah Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam. Dan itu yang diucapkan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memohon surga dan berlindung dari neraka. Dan mengatakan, saya tidak bisa sebaik kebiasaanmu dan kebiasaan Muad. Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Seputar itu, kami membiasakannya.
Ini pemimpin umat pertama dan terakhir, mengucapkan ungkapan sepert ini, siapa yang berkeyakinan selain itu, maka dia termasuk bodoh dan menyalahi.
Diantara adab Ahlus sunah ada empath al yang harus ada, diantaranya mencontoh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, merasa fakir dihadapan Allah. Memohon bantuan kepada Allah dan dapat sabar hal itu sampai menemui kematian. Ini yang diucapkan Sahl bin Abdullah Tastari dan itu perkataan yang benar.” Fatawa Subki, (2/560).
Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Semua apa yang disediakan Allah untuk kekasihNya termasuk surga. Melihat kepadaNya juga termasuk surga. Oleh karena itu manusia terbaik memohon kepada Allah surga. Dan berlindung kepadaNya dari neraka. Ketika bertanya kepada sebagian shahabatnya apa yang dikatakan dalam shalatnya, beliau mengatakan, “Sungguh saya memohon kepada Allah surga dan berlindung kepada Allah dari neraka. Sungguh saya tidak bisa sebaik kebiasaanmu dan kebiasaan Muaz, maka beliau bersabda, “Seputar itu kami biasa mengucapkan.” (Majmu Fatawa, (10/241).
7. Siapa yang ingin beribadah kepada Allah Ta’ala dengan hanya kecintaan saja tanpa rasa takut dan pengharapan, maka agamanya dalam bahaya. Dia sangat melakukan bid’ah. Terkadang bisa mengeluarkan dari agama Islam. Sebagian pembesar zindiq mengatakan, “Sesungguhnya kami beribadah kepada Allah karena cinta kepadaNya. Meskipun ujungnya kami di neraka selamanya. Sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa hanya dengan kecintan saja, mendapatkan redo dan kerelaan Allah. Dia seperti itu menyerupai keyakinan orang Yahudi dan Nashroni. Dimana Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (سورة المائدة: 18)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya." Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS. Al-Maidah: 18)
Taqiyudin Subki rahimahullah mengatakan, “Sementara orang ini yang menghilangkan sifat kecintaan. Dan hanya dengan itu beribadah kepada Allah. Maka dia telah tumbuh dengan kebodohan ini, dia meyakini bahwa dia mendapatkan posisi di sisi Allah diangkatnya dari rendahnya penghambaan. Kesesatan, hina dian pada dirinya menuju puncak kecintaan. Seakan dia aman pada dirinya. Mengambil janji dari Tuhannya bahwa dia termasuk orang yang dekat, apalagi dari golongan kanan. Tidak, dia termasuk golongan paling rendah.
Seharusnya bagi seorang hamba, sikap beradab kepada Allah, merendahkan disisiNya, merendahkan diri dan merasa kecil dihadapanNya. Takut akan siksa Allah, tidak aman dari makar Allah. Mengharap keutamaan Allah, memohon bantuan kepadaNya, memohon bantuan untuk dirinya. Seraya mengatakan setelah bersungguh sungguh dalam beribadah, “Kami tidak beribadah kepadaMu dengan sebenar-benar ibadah.” Mengakui kekurangan, memohon ampunan setelah selesai shalat. Hal itu sebagai isyarat apa yang terjadi pada dirinya dari kekurangan dalam beribadah. Waktu akhir malam, memberikan isyarat yang terjadi dari kekurangan, padahal dia telah berdiri (shalat) semalaman. Bagaimana lagi bagi orang yang tidak berdiri (menunaikan shalat)? ‘Fatawa Subki, (2/560).
Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Firman Allah ( وادعوه خوفاً وطمعاً )memerintahkan seseorang dalam kondisi siaga dan ketakutan, serta harapan kepada Allah Azza Wajalla. Sampai menjadikan harapan dan ketakutan bagi seseorang bagaikan dua sayap untuk burung. Membawanya ke jalang istiqamah. Kalau hanya salah satu saja, maka akan celaka manusia. Allah berfirman:
نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ . وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ (سورة الحِجر: 49 ، 50)
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Hijr: 49-50)
Tafsir Al-Qurthubi, 7/227)
Anda dapat melihat, wahai saudaraku penanya, seharusnya anda berjalan dalam ibadah anda sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi dan orang sholeh sebelum anda. Sehingga dapat menunaikan apa yang Allah perintahkan kepada anda dari ibadah sesuai dengan cara yang Allah cintai. Maksud hal itu adalah mendekatkan diri kepadaNya dan mengharap pahala yang Allah sediakan bagi orang yang beribadah. Takut dari kemarahanNya dan azab yang didapatkan kalau terjadi kekurangan dalam ketaatan atau meninggalkannya. Siapa yang menyangka dia mencintai Tuhannya Ta’ala hendaknya dia memperlihatkan ketaatan kepada NabiNya sallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (سورة آل عمران: 31)
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Wallahu a’lama .