Alhamdulillah.
Para wali Allah –dengan jelas dan ringkas– adalah ahli keimanan dan ketakwaan, yang merasa diawasi oleh Allah dalam semua urusannya, sehingga mereka komitmen dengan perintah-perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ . لَهُمْ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
يونس/62-64
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus : 62-64).
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah dalam Tafsir Al-Quranil Azhim (4/278) mengatakan, “Allah Ta’ala memberitahukan bahwa para wali (kekasih) Allah itu adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Tuhan mereka. Maka setiap orang yang bertakwa kepada Allah itu adalah wali. Bahwa dia (tidak ada kekhawatiran kepada mereka) terhadap kegentingan yang akan mereka hadapi nanti pada hari Kiamat. (dan mereka juga tidak bersedih hati) atas apa yang sudah terjadi di kehidupan dunia.”
Abdullah bin Mas’ud, Ibnu Abbas dan ulama salaf -yang tidak hanya satu jumlahnya- mengatakan, “Para wali Allah adalah orang-orang yang jika dilihat menyebabkan orang yang melihatnya ingat kepada Allah Ta’ala.” Hal ini telah disebutkan dalam hadits Marfu’.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda,
إن من عباد الله عبادا يغبطهم الأنبياء والشهداء . قيل : من هم يا رسول الله ؟ لعلنا نحبهم . قال : هم قوم تحابوا في الله من غير أموال ولا أنساب ، وجوههم نور على منابر من نور ، لا يخافون إذا خاف الناس ، ولا يحزنون إذا حزن الناس . ثم قرأ : ( أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ ) رواه أبو داود بإسناد جيد – وصححه الألباني في "السلسلة الصحيحة" (7/1369) - "
‘Sesungguhnya, di antara hamba-hamba Allah ada yang bukan nabi, tetapi para nabi dan syuhada cemburu terhadap mereka.’ Ada sahabat yang bertanya, ‘Siapakah mereka wahai Rasulullah? Semoga kami bisa turut mencintai mereka.’ Rasulullah pun menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah tanpa ada hubungan keluarga dan nasab di antara mereka. Wajah-wajah mereka bagaikan cahaya di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut di saat manusia takut, dan mereka tidak sedih di saat manusia sedih.’ Kemudian Rasulullah pun membacakan ayat, ‘Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati’,” (QS. Yunus : 62). (HR. Abu Daud dengan sanad yang bagus, dishahihkan oleh Al-Albani dalam kitab As-Silsilah As-Shahihah, 7/1369).
Kedua.
Wilayah (kewalian) itu berbeda-beda sesuai dengan keimanan dan ketakwaan seorang hamba. Setiap orang Mukmin mendapatkan bagian kewalian dari Allah, kecintaan dan kedekatan dengan-Nya. Akan tetapi, bagian ini berbeda-beda sesuai dengan amal shalih badan dan hati yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Atas dasar itulah, maka kita dapat membagi derajat kewalian itu menjadi tiga tingkatan :
- Derajat orang yang berbuat zalim kepada dirinya, yaitu orang Mukmin yang berbuat kemaksiatan, maka dia mendapatkan wilayah sesuai dengan kadar keimanan dan amal shalihnya.
- Derajat pertengahan, yaitu orang Mukmin yang menjaga perintah-perintah Allah dan menjauhi kemaksiatan, akan tetap dia kurang bersemangat dalam menunaikan amalan-amalan sunah, derajat ini lebih tinggi dibandingkan dengan derajat sebelumnya dari sisi kewaliannya.
- Derajat yang bersegera melakukan kebaikan, yaitu orang yang menunaikan amalan-amalan sunah juga amalan wajib, dan amalan ibadah hatinya sampai kepada Allah pada posisi tertinggi. Ini adalah derajat tertinggi dalam kewalian (wali Allah).
Tidak diragukan lagi, bahwa kenabian itu adalah derajat tertinggi kewalian seseorang kepada Allah Azza wa Jalla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa (10/6) mengatakan, “Manusia itu terbagi dalam tiga derajat: Zhalimun li Nafsihi, Muqtashid dan Sabiqun bil Khairat.
Orang yang berbuat zalim kepada dirinya adalah pelaku kemaksiatan dengan meninggalkan apa yang diperintahkan Allah atau melakukan apa yang dilarang-Nya.
Sedangkan pertengahan adalah orang yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan.
Sementara yang bersegera dalam kebaikan adalah orang yang mendekatkan diri sesuai kemampuan dengan melakukan yang wajib dan sunah, meninggalkan yang haram dan makruh. Meskipun masing-masing dari orang pertengahan dan yang bersegera (dalam kebaikan) itu mempunyai dosa yang dihapuskan darinya dengan bertaubat –dan Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang yang mensucikan diri– atau dengan melakukan kebaikan yang dapat menghapus dosa atau dengan musibah-musibah yang dapat menggugurkan dosa, atau dengan selain itu. Masing-masing dari kelompok pertengahan dan kelompok yang bersegara termasuk wali-wali Allah yang disebutkan dalam kitab-Nya melalui firman-Nya,
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ . الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yunus : 62-63).
Maka pengertian wali (kekasih) Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Akan tetapi, dibagi menjadi dua bagian. Yaitu umum, mereka adalah orang-orang pertengahan. Dan khusus, yaitu mereka yang bersegera. Orang-orang yang bersegera itu derajatnya lebih tinggi, seperti para Nabi dan para pecinta kebenaran.
Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam telah menyebutkan dua kelompok ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’Anhu dari Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam sesungguhnya beliau bersabda,
يقول الله : من عادى لي وليا فقد بارزني بالمحاربة ، وما تقرب إلي عبدي بمثل أداء ما افترضت عليه ، ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه ، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به ، وبصره الذي يبصر به ، ويده التي يبطش بها ، ورجله التي يمشي بها ، فبي يسمع وبي يبصر ، وبي يبطش ، وبي يمشي ؛ ولئن سألني لأعطينه ، ولئن استعاذني لأعيذنه ، وما ترددت عن شيء أنا فاعله ترددي عن قبض نفس عبدي المؤمن ، يكره الموت وأكره مساءته ولا بد له منه
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku, maka sungguh ia telah mengumumkan peperangan dengan-Ku. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (amal shalih) yang lebih Aku cintai dari pada amal-amal yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal-amal tambahan sehingga Aku pun mencintainya. Lalu jika Aku telah mencintai seorang hamba-Ku, maka Aku akan selalu membimbingnya dalam pendengarannya, membimbingnya dalam penglihatannya, menuntunnya dalam perbuatan tangannya dan meluruskannya dalam langkah kakinya. Jika dia memohon kepada-Ku maka Aku akan penuhi permohonannya, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan berikan perlindungan kepadanya. Tidaklah Aku ragu melakukan sesuatu yang mesti Aku lakukan seperti keraguan untuk (mencabut) nyawa seorang yang beriman (kepada-Ku), dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak ingin menyakitinya, dan bagaimana pun ia harus mati.”
Sementara orang yang berbuat kezaliman pada dirinya termasuk ahli iman, maka ia menjadi wali (kekasih) Allah sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Begitu pula sebaliknya, ia menjadi musuh Allah sesuai dengan kadar kejelekannya. Bisa jadi satu orang terkumpul padanya kebaikan yang mengandung pahala dan kejelekan yang mengandung hukuman. Dia diberikan pahala dan siksa. Inilah pendapat semua sahabat Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam dan para Imam Islam serta Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengatakan, “Dia tidak akan kekal selamanya di neraka, yaitu siapa saja yang di hatinya ada keimanan walau seberat biji sawi.”
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah dalam kitab Fatawa Muhimmah, hal. 83 mengatakan, “Siapa yang beriman dan bertakwa, maka dia termasuk wali Allah. Siapa yang tidak begitu, maka dia bukan wali Allah. Apabila ia memiliki sedikit keimanan dan ketakwaan di dalamnya, maka dia mendapatkan sedikit kewalian.”
Ketiga.
Kewalian itu tidak didominasi oleh satu orang, dan bukan sebagai tanda istimewa untuk tingkatan manusia tertentu. Kewalian tidak diperoleh sebagai warisan, juga bukan sebagai hak milik, akan tetapi adalah tingkatan yang bersifat ketuhanan dimulai dari hati yang mencintai dan mengagungkan Allah Azza wa Jalla, yang diterjemahkan dalam amalan realita. Maka pemiliknya mendapatkan cinta kepada Allah Ta’ala dan kasih sayang-Nya.
Keempat.
Kewalian itu tidak menjadikan pemiliknya diperbolehkan melakukan sesuatu yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban. Bahkan kalau dia melakukan hal itu, menunjukkan berkurangnya kewalian. Tidak diperbolehkan seorangpun menghadap orang yang dinamakan dengan para wali. Terkadang mereka tidak layak disebut wali. Jika dilakukan, hal itu akan mengangkat mereka pada posisi kenabian. Suatu urusan jangan dikembalikan kepada mereka. Jangan pula pemikiran dan pendapat didiskusikan dengan mereka. Semua ini termasuk berlebih-lebihan yang dilarang oleh Allah Ta’ala dan merupakan sebab paling besar terjerumusnya manusia pada kesyirikan.
Terkadang sebagian orang sampai melampaui batas sehingga terjatuh pada syirik akbar disebabkan pemahaman yang salah terhadap kewalian dan posisi para wali. Anda melihat seseorang menyeru pada selain Allah, menyembelih hewan sembelihan untuk selain Allah, mempersembahkan persembahan kepada mereka dan berkeliling di sekitar kuburan mereka.
Kelima.
Sementara ungkapan sahabat-sahabat Allah kepada para wali, kami belum mengetahui sesuatu yang menunjukkan keshahihan penamaan ini.
Wali-wali Allah yang terbaik adalah para Rasul dan Nabi, kemudian para sahabat Rasul Muhammad Shallallahu ’Alaihi wa Sallam kemudian generasi setelahnya, lalu generasi setelahnya. Kami belum mengetahui adanya penamaan sahabat Allah pada salah satu di antara mereka. Akan tetapi, ada ketetapan dari Rasul Shallallahu ’Alaihi wa Sallam tentang penamaan Ahlul Qur’an dengan Ahlu Allah (keluarga Allah).
Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad (11870) dan Ibnu Majah (215) sesungguhnya Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنْ النَّاسِ . قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ هُمْ ؟ قَالَ : هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ وصححه الألباني في صحيح ابن ماجة
“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari manusia.” Mereka (para sahabat) bertanya, ”Wahai Rasulullah, siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Mereka adalah ahli Al-Qur’an, mereka adalah keluarga Allah dan orang khusus-Nya.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Kata ‘أهلين ' jama' dari kata ' أهل’
Ahlul Qur’an adalah para penghafal Al-Qur’an, yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan kandungan isinya.
Ahlu Allah adalah para wali-Nya yang yang dikhususkan oleh Allah terhadap diri-Nya seperti pengkhususan manusia terhadap keluarganya.
Wallahu A’lam.