Selasa 2 Jumadits Tsani 1446 - 3 Desember 2024
Indonesian

Rincian Pendapat Tentang Jam-jam Yang Mustajab Pada Hari Jum’at, dan Hukumnya Memperpanjang Sujud Terakhir Untuk Berdo’a

Pertanyaan

Saya setiap hari Jum’at, pada jam sebelum terbenamnya matahari yang kemungkinan merupakan jam yang mustajab, saya sengaja masuk masjid, dan shalat dua raka’at tahiyyatul masjid kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-, kemudian pada akhir sujud dari dua raka’at tersebut saya sujud sampai terbenam matahari, saya berdoa dalam sujud saya, sampai adzan maghrib; karena waktu kesempatannya adalah pada jam terakhir dari hari Jum’at lebih berpeluang dikabulkan, dan saya menambah kesempatan peluang dikabulkan sedang saya dalam kondisi sujud, dan terkadang jika tidak ada sebab untuk sholat, dan pada waktu yang dilarang shalat saya sengaja baca surat yang ada sujudnya, lalu saya bersujud satu jam sampai adzan maghrib pada hari Jum’at, dan kondisi saya: Berdoa, panjangnya sujud, sehingga pada suatu hari ada seseorang yang mendatangi saya setelah saya melakukan amalan tersebut yang telah menjadikan saya ragu, dan menyiratkan bahwa hal itu bid’ah. Apakah amalan saya ini bid’ah ?, meskipun niat saya antisipasi untuk mendapatkan waktu mustajab pada jam terakhir dari hari Jum’at, dan saya berdoa dalam kondisi sujud, kedua kesempatan ini lebih berpeluang untuk dikabulkan, inilah asal dari niat saya.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama telah berbeda pendapat pada batasan jam mustajab pada hari Jum’at menjadi banyak pendapat, dan pendapat yang terkuat dari sisi dalil adalah: Bahwa jam tersebut antara adzan jum’at dan selesainya shalat jum’at, demikian juga jam setelah shalat ashar sampai terbenamnya matahari, dan setiap satu dari dua jam tersebut ada dalil-dalilnya dari hadits, dan pendapatnya dari para ulama.

  1. Adapun dalil dari jam pertama adalah haditnya Abu Musa Al Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda –yaitu; terkait dengan jam pada hari jum’at-:

هِيَ مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ رواه مسلم ( 853

            “(Jam tersebut) adalah di antara imam duduk sampai selesai sholat”. (HR. Muslim: 853)

            Dan adapun mereka yang berpendapat dengan hal ini banyak orang, Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Para generasi salaf telah berbeda pendapat mana dari keduanya yang lebih kuat, Al Baihaqi telah meriwayatkan dari jalur Abu Fadhl Ahmad bin Salamah An Naisaburi bahwa seorang muslim berkata: “Hadits Abu Musa adalah yang terbaik dalam bab ini dan yang paling shahih, dan hal itu dinyatakan oleh Baihaqi, Ibnul Arabi, dan sekelompok para ulama. Al Qurthubi berkata: “Hal itu adalah penjelasan tekstual pada titik perbedaan, maka tidak perlu dihiraukan pada yang lainnya. An Nawawi berkata: “Inilah yang benar dan bahkan betul, dan dipastikan hal itu di dalam Ar Raudhah bahwa hal itu benar, dan telah ditarjih juga dengan menjadi marfu’ yang jelas, di dalam salah satu dari kedua kitab shahih”. Selesai. (Fathul Baari: 2/421)

  1. Adapun dalil jam yang kedua: Yaitu hadits Jabir bin Abdullah –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 يَوْمُ الجُمُعة ثِنْتَا عَشْرَةَ سَاعَةً ، لاَ يُوجَد فِيهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ الله شَيْئاً إِلاَّ آتَاهُ إِيَّاهُ ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ العَصْر رواه أبو داود (1048) والنسائي (1389) ، وصححه الألباني في " صحيح أبي داود " ، والنووي في "المجموع" (4 / 471

“Hari jum’at 12 jam, tidaklah ada seorang hamba yang muslim yang memohon sesuatu kepada Allah kecuali Dia akan mendatangkannya kepadanya, maka carilah pada jam terakhir setelah ashar”. (HR. Abu Daud: 1048, Nasa’i: 1389 dan telah dinyatakan shahih oleh Albani di dalam Shahih Abu Daud dan Nawawi di dalam Al Majmu’: 4/471)

Dan adapun mereka yang berpendapat dengan hal ini banyak juga, dan kepalanya adalah dua sahabat Abu Hurairah dan Abdullah bin Salam –radhiyallahu ‘anhuma-.

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:

“Orang lain telah berpendapat untuk menguatkan ucapan Abdullah bin Salam, maka Tirmidzi telah mengkisahkan dari Ahmad bahwa ia berkata: “Kebanyakan hadits sesuai itu”. Ibnu Abdil Barr berkata: “Bahwa ia sesuatu yang terkuat dalam bab ini”. Sa’id bin Manshur telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih kepada Abu Salamah bin Abdurrahman: “Bahwa seseorang dari para sahabat telah berkumpul lalu mereka saling mengingatkan dengan jam hari jum’at, kemudian mereka berpencar, lalu mereka tidak berbeda pendapat bahwa jam tersebut pada jam terakhir dari hari jum’at, dan banyak para imam yang telah menguatkannya juga, seperti Ahmad, Ishaq, dan dari Malikiyah: At Tharthusyi, dan Al ‘Ala’i telah mengkisahkan bahwa gurunya Ibnu As Zamlakani –Syeikhnya para tokoh Syafi’iyyah di masanya- dan beliau telah memilihnya, dan dikisahkan juga dari Imam Syafi’i secara tekstual”. Selesai. (Fathul Baari: 2/421)

Dan masing-masing dari dua jam ini, diharapkan menjadi waktu mustajab untuk berdoa.

Imam Ahmad berkata: “Kebanyakan banyak hadits terkait dengan jam yang diharapkan doa terkabul: adalah setelah shalat ashar, dan diharapkan setelah tergelincirnya matahari. Dan telah dinukil oleh Tirmidzi”. (Sunan Tirmidzi: 2/360)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:

“Menurut saya: bahwa jam shalat adalah jam diharapkannya doa terkabul juga, maka keduanya menjadi jam terkabulnya doa, dan jika jam khusus ini hanya pada jam terakhir saja setelah ashar, maka ia merupakan jam tertentu dari satu hari tidak bisa maju dan tidak bisa mundur. Dan adapun jam shalat maka akan mengikuti jam shalat bisa maju atau mundur; karena berkumpulnya umat Islam, shalat mereka, ketundukan mereka kepada Allah Ta’ala berpengaruh pada terkabulnya doa, maka pada jam berkumpulnya mereka adalah jam yang diharapkan terkabulnya doa”.

Dan atas hal ini, maka semua hadits bisa disepakati, dan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menganjurkan umatnya untuk berdoa dan tunduk kepada Allah Ta’ala pada dua jam mustajab ini”. Selesai. (Zaad Al Ma’ad: 1/394)

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata:

“Telah ada pada sebagian riwayat menurut Imam Muslim bahwa “saat imam duduk di mimbar pada hari jum’at sampai selesai shalat”, demikianlah telah ada pada Shahih Muslim dari hadits Abu Musa yang terangkat kepada Nabi, dan sebagian mereka memberikan alasan bahwa dari ucapan Abu Burdah bin Abu Musa dan tidaklah terangkat kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan yang benar adalah ditetapkannya pengangkatan kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan telah ada juga dari hadits Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Salam bahwa di antara shalat ashar dan terbenamnya matahari, dan telah ada pada sebagian hadits bahwa jam terakhir dari hari jum’at, dan semuanya shahih tidak ada saling meniadakan antar keduanya, maka untuk lebih hati-hati dan lebih diharapkan, di antara duduk di atas mimbar sampai shalat selesai, dan setelah shalat ashar sampai terbenam matahari, waktu-waktu ini adalah lebih diharapkan menjadi jam yang mustajab, dan sisa waktu-waktu lainnya pada hari jum’at, semuanya lebih berpeluang jadi waktu doa mustajab, akan tetapi yang lebih berpeluang adalah di antara duduknya imam di atas mimbar sampai selesainya shalat, dan di antara shalat ashar sampai terbenamnya matahari sebagaimana yang sebelumnya. Dan sisa jam-jamnya jum’at diharapkan menjadi waktu mustajab berdasarkan keumuman sebagian hadits yang ada dalam masalah ini, maka sebaiknya memperbanyak doa pada hari jum’at; dengan harapan akan menemui jam yang penuh berkah ini, dan akan tetapi sebaiknya untuk berjaga-jaga dan lebih diperhatikan lebih pada tiga waktu yang tersebut di atas tadi; karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyatakan dengan tekstual bahwa jam tersebut merupakan jam yang mustajab”. Selesai. (Fatawa Syeikh Ibnu Baz: 12/401-402)

Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Jam-jam jum’at yang paling diharapkan untuk dikabulkannya doa adalah waktu sholat, hal ini karena beberapa hal:

Pertama:

Karena telah ada pada Shahih Muslim dari hadits Abu Musa Al Asy’ari –radhiyallahu ‘anhu-.

Kedua:

Bahwa hal ini merupakan pertemuan umat Islam pada satu ibadah dengan satu pimpinan, yaitu satu imam. Dan pertemuan ini menjadi lebih dekat untuk dikabulkan, dan oleh karenanya pada hari Arafah pada saat umat Islam berkumpul di bukit Arafah, Allah –‘Azza wa Jalla- turun ke langit dunia membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan mengabulkan doa-doa mereka, oleh karenanya bersemangatlah wahai saudaraku untuk berdoa pada waktu tersebut, yaitu pada waktu sholat jum’at, akan tetapi sejak kapan berawal dan berakhir waktu ini ?, ia mulai sejak imam masuk sampai sholat selesai, maka perhatikanlah kapan kita berdoa, imam masuk dan mengucapkan salam, dan setelah adzan, saat adzan tidak ada doa, tapi ada jawaban untuk muadzin, setelah adzan ada doa, di antara adzan dan khutbah ada doa, ia mengatakan setelah adzan:

اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة والقائمة آت محمداً الوسيلة والفضيلة ، وابعثه اللهم مقاماً محموداً الذي وعدته ، إنك لا تخلف الميعاد

“Ya Allah, Tuhan dari panggilan yang sempurna ini, shalat dan iqamah. Berikanlah kepada Muhammad wasilah/perantara dan keutamaan. Dan bangkitkanlah ia –Ya Allah- pada kedudukan yang mulia yang telah Engkau janjikan, sungguh Engkau tidak menyesilihi janji”.

Kemudian berdoa sesuai keinginan anda, selama khotib belum mulai khutbahnya maka anda berada pada kehalalan, maka berdoalah kepada Allah sesuai dengan keinginan anda, demikian juga di antara kedua khutbah, anda berdoa kepada Allah sesuai dengan keinginan anda dari kebaikan dunia dan akhirat, demikian juga di tengah shalat dalam sujud:

أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد

“Seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah dalam kondisi bersujud”.

Sebagaimana yang telah ditetapkan riwayatnya dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-

أقرب ما تكون من الرب وأنت ساجد

“Seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya adalah dalam kondisi bersujud”.

Akan tetapi apakah di sana ada tempat doa kedua di dalam sholat ?, setelah bertasyahud sebagaimana di dalam hadits Ibnu Mas’ud pada saat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyebutkan tasyahud kemudian ia berkata setelahnya:

ثم ليتخير من الدعاء ما شاء

“Kemudian pilihlah doa sesuai dengan yang ia inginkan”.

Kata “Ma Sya’a” menurut ulama ushul menunjukkan keumuman.

Maka menurut kami sekarang jam yang mustajab ini adalah pada waktu sholat jum’at beberapa tempat untuk berdoa. Maka gunakanlah kesempatan ini wahai saudaraku, gunakanlah kesempatan dalam berdoa saat sholat jum’at semoga anda bertepatan dengan jam yang mustajab.

 Di sana terdapat jam yang lain yang diharapkan mustajab juga pada hari yang sama, yaitu; setelah ashar sampai terbenamnya matahari, akan tetapi pendapat ini bermasalah bagi sebagian para ulama, dan mereka berkata:

“Sungguh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: -pada saat beliau berdiri shalat- dan setelah ashar tidak ada sholat, dan para ulama telah menjawab dan berkata: “Sungguh orang yang menunggu shalat itu dihukumi sebagai orang yang shalat; berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

ولا يزال في صلاةٍ ما انتظر الصلاة " انتهى

“Dan ia masih dalam shalat selama ia menunggu shalat”.

Selesai. (Durus wa Fatawa Al Haram Al Madani tahun 1416 H).

Dan adapun sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي   

“Dan beliau berdiri melaksanakan sholat”.

Dan setelah shalat ashar tidak ada waktu untuk sholat, maka di sana ada dua kemungkinan pada makna sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut:

  1. Bahwa artinya adalah duduk, dan menunggu sholat. Dan hal itu dinamakan secara syari’at sebagai sholat.

Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

فَقُلْتُ لَهُ – أي: لعبد الله بن سلام - فَأَخْبِرْنِي بِهَا ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ : هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ ، فَقُلْتُ : كَيْفَ هِيَ آخِرُ سَاعَةٍ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (لَا يُصَادِفُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ وَهُوَ يُصَلِّي) ، وَتِلْكَ السَّاعَةُ لَا يُصَلِّي فِيهَا ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَلَامٍ : أَلَمْ يَقُلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (مَنْ جَلَسَ مَجْلِسًا يَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ حَتَّى يُصَلِّيَ) ؟ قَالَ : فَقُلْتُ : بَلَى ، قَالَ : هُوَ ذَاكَ .
رواه الترمذي (491) وأبو داود (1046) والنسائي (1430) ، وصححه الألباني في "صحيح أبي داود" .

“Saya berkata kepada beliau yaitu; Abdullah bin Salam: “Kabarkan kepadaku terkait dengan hal itu”, maka Adullah bin Salam berkata: “Ia adalah jam terakhir dari hari Jum’at, maka saya katakan: “Bagaimana ia menjadi jam terakhir dari hari jum’at sementara Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang menemuinya sementara ia dalam kondisi sholat”. Dan jam itu tidak bisa dipakai untuk sholat ?, lalu Abdullah bin Salam berkata: “Tidakkah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barang siapa yang duduk menunggu sholat maka ia berada dalam shalat sampai ia sholat ?, ia menjawab: “Saya berkata: Ya, ia berkata: Maka ya itu juga demikian”. (HR. Tirmidzi: 491, Abu Daud: 1046, Nasa’i: 1430 dan telah dinyatakan shahih oleh Albani di dalam Shahih Abu Daud)

  1. Dan memungkinkan artinya adalah doa, dan sholat secara bahasa adalah doa.

Badruddin Al ‘Aini –rahimahullah- berkata:

“Maka hal ini menunjukkan bahwa maksud dari sholat adalah doa, dan maksud dari berdiri adalah berkomitmen dan rutin, tidak bermakna berdiri yang sebenarnya”. (Umdatul Qari Syarah Al Bukhori: 6/242)

Maka arti dari: (وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي) adalah: ia yang berkomitmen untuk berdoa.

Maka barang siapa yang ingin berjaga-jaga mendapatkan waktu mustajab setelah ashar pada hari jum’at, maka dalam hal ini banyak gambarannya, di antaranya:

  1. Hendaknya ia menetap setelah shalat ashar tidak keluar dari masjid untuk berdoa, dan lebih dipastikan lagi pada jam terakhir dari ashar, dan inilah kedudukan yang tertinggi.

dan dulu Sa’id bin Jabir, jika ia telah melaksanakan shalat ashar, ia tidak berbicara dengan orang lain sampai terbenam matahari.

  1. Hendaknya pergi ke masjid beberapa waktu sebelum maghrib, lalu ia shalat tahiyyatul masjid, dan berdoa sampai jam terakhir dari ashar, inilah kedudukan yang pertengahan.
  2. Hendaknya duduk di ruangan –di rumahnya atau di tempat lain- berdoa kepada Tuhannya –Ta’ala- di jam terakhir dari waktu ashar, dan inilah kedudukan yang terendah.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Barang siapa yang ingin mendapatkan jam terakhir dari hari jum’at untuk berdoa dan memohon kepada Allah, apakah harus berada di tempat shalat asharnya atau bisa di rumah atau di masjid yang lain ?

Beliau menjawab:

“Yang tampak pada banyak hadits adalah umum, dan bahwa barang siapa yang berdoa pada waktu yang mustajab, maka diharapkan akan diijabah pada jam terakhir dari hari jum’at, dan diharapkan bisa dikabulkan. Akan tetapi jika ia menunggu shalat di masjid yang ia ingin shalat maghrib di sana, maka hal ini akan lebih berjaga-jaga; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:

وَهُوَ قَائِمٌ يُصّلِّي - رواه البخاري

“Sedang ia dalam kondisi berdiri melaksanakan shalat”. (HR. Bukhori)

Dan orang yang menunggu hukumnya sama dengan orang sholat, maka ia berada dalam posisi sholat lebih diharapkan terkabul, maka yang menunggu shalat berada dalam hukumnya orang sholat, dan jika ia sakit dan telah melaksanakan di rumahnya; maka tidak masalah, atau wanita di rumahnya ia duduk menunggu waktu sholat maghrib di musholla rumahnya, atau orang yang sakit di mushollahnya dan berdoa di waktu ashar maka ia diharapkan akan dikabulkan doanya, inilah yang disyari’atkan. Jika ia ingin berdoa dengan tujuan masjid yang ia ingin shalat maghrib di situ di awal waktu, maka ia duduk menunggu waktu shalat tiba dan berdoa”. Selesai.

(Fatawa Syeikh Ibnu Baz: 30/270-271)

Dan atas dasar ini, maka apa yang anda lakukan –wahai saudaraku penanya- adalah salah dari dua sisi:

  1. Dugaan anda bahwa shalat dalam hadits ini adalah shalat yang ada ruku’ dan sujudnya, akan tetapi maknanya adalah: menunggu sholat, atau berkomitmen berdoa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
  2. Memperpanjang sujud kedua pada kedua raka’at tahiyyatul masjid, menyalahi petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam shalatnya. Bahwa petunjuk beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di dalam shalat bahwa perbuatan beliau dekat dengan persamaan, dan telah disebutkan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 111889 bahwa memperpanjang sujud terakhir di dalam shalat untuk berdoa menyalahi  petunjuk Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu A’lam.   

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam