Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Hukum Berpuasa Bagi Penderita Diabet dan Kapan Dibolehkan Tidak Berpuasa

Pertanyaan

Sejak 14 bulan yang lalu saya menderita sakit gula (diabetes) stadium dua. Penyakit ini dikenal dengan penyakit gula yang membutuhkan suntikan insulin. Saya tidak menggunakan pengobatan apapun akan tetapi saya menjaga makan dan selalu berolahraga ringan agar kadar gula saya tetap stabil.

Pada bulan Ramadhan tahun lalu, saya berpuasa beberapa hari dan saya tidak mampu menyempurnakan puasa karena kadar gula saya turun. Namun sekarang Alhamdulillah keadaan saya sudah lebih baik, hanya saja saya merasakan sakit kepala pada saat berpuasa.

Apakah saya harus tetap berpuasa tanpa memperdulikan penyakit saya? Apakah saya boleh memeriksa kadar gula darah saya dalam kondisi berpuasa? Karena diperlukan ambil darah melalui jari.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Yang disyari’atkan bagi seseorang yang sedang sakit adalah agar boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan jika puasa tersebut membahayakan atau akan memberatkannya, atau karena dibutuhkan pengobatan pada siang hari dengan mengkonsumsi obat, sirup dan lain sebagainya baik dengan cara ditelan atau yang diminum; berdasarkan firman Allah –‘azza wa jalla-:

وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ (سورة البقرة: 185)

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. Al Baqarah: 185)

Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

“Sungguh Allah mencintai jika keringanan-keringanan-Nya (rukhsah) dipergunakan, sebagaimana Dia juga benci jika bermaksiat kepada-Nya dikerjakan.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Sebagaimana  Dia mencintai jika (perintah-Nya) dikerjakan sepenuhnya”.

Adapun pengambilan darah melalui pembuluh darah untuk diobservasi atau tujuan lainnya, menurut pendapat yang benar adalah tidak membatalkan puasa, akan tetapi jika darah yang diambil banyak maka sebaiknya ditunda pada malam harinya, dan jika tetap dilakukan pengambilan di siang hari maka untuk lebih berhati-hati agar mengqadha puasanya; karena hal itu serupa dengan berbekam.

(Fatawa Syeikh Ibnu Baaz –rahimahullah- dari kitab Fatawa Islamiyah: jilid 2 hal.139)

Orang sakit itu mempunyai beberapa kondisi:

Kondisi Pertama:

Tidak berpengaruh pada puasa, seperti; pilek ringan, pusing ringan, sakit gigi, dan lain sebagainya. Pada kondisi tersebut haram tidak berpuasa. Meskipun sebagian ulama berpendapat: “Boleh tidak berpuasa berdasarkan ayat:

وَمَنْ كَان مَرِيضاً  (سورة البقرة: 185)

“Dan Barangsiapa yang sedang sakit”. (QS. Al Baqarah: 185)

Akan tetapi pendapat kami adalah bahwa hukum tersebut ada illat (sebab)nya, yaitu; jika tidak berpuasa akan menjadi lebih nyaman, maka pada saat demikian maka kami berkata: “tidak berpuasa lebih utama”, adapun jika tidak banyak berpengaruh maka harus berpuasa dan tidak boleh membatalkannya.

Kondisi kedua:

Jika dia merasa berat untuk berpuasa namun tidak membahayakan, maka pada kondisi seperti ini makruh berpuasa dan disunnahkan meninggalkan puasa.

Kondisi Ketiga:

Jika tetap berpuasa akan memberatkan dan akan membahayakannya, seperti; seseorang yang terkena penyakit ginjal, atau penyakit diabetes, dan lain sebagainya yang dengan puasa akan membayakannya, maka haram hukumnya berpuas. Dalam hal ini kita bisa mengetahui kesalahan sebagian ahli ijtihad dan para pasien yang berat untuk berpuasa yang mungkin akan membahayakannya, namun mereka enggan untuk membatalkan puasa. Sikap mereka ini keliru karena enggan menerima kemurahan Allah –‘azza wa jalla- dan keringanan dari-Nya, disamping mereka telah membahayakan diri mereka sendiri, Allah –‘azza wa jalla- berfirman:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُم  (سورة النساء: 29)

“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri”. (QS. An Nisa: 29)

(Asy Syarhul Mumti’, Syeikh Ibnu Utsaimin, Jilid 6, Hal. 352-354)

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid