Kamis 18 Jumadits Tsani 1446 - 19 Desember 2024
Indonesian

MEMPERGUNAKAN OBAT TIDAK MENAFIKAN TAWAKAL KEPADA ALLAH

Pertanyaan

Apa pandangan Islam dalam menggunakan obat? Apakah penggunannya menyalahi tawakal kepada Allah?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama: Berobat dianjurkan secara umum.

Dari Abu Darda radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obat, maka berobatlah. Tapi jangan berobat dengan yang haram."

(HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, 24/254. Hadits dishahihkan oleh Syekh Al-Albany dalam As-Silsilah As-Shahihah, no. 1633)

Dari Usama bin Syuraik radhiallahu anhu berkata, orang-orang Badui bertanya,

"Wahai Rasulullah tidakkah kita berobat? Beliau menjawab, ‘Ya. Berobatlah wahai hamba Allah. Karena sesunggunya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali (Dia) memberikan kesembuhan, kecuali satu penyakit. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah apa itu?' beliau menjawab, "Tua renta."

(HR. Tirmizi, no. 2038, beliau berkomentar, hasan Shahih, Abu Daud, no. 3855 dan Ibnu Majah, no. 3436)

Kedua: Berobat tidak menafikan tawakal.

Ibnu Qayim rahimahullah berkata;

"Dalam hadits yang shahih ada perintah berobat. Hal itu tidak menafikan tawakal. Sebagaimana mencegah lapar, haus, panas, dingin dan semisalnya dianggap tidak menafikan hal tersebut. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melakukan sebab yang telah Allah tetapkan dalam kandungan akibatnya, baik secara takdir maupun secara agama. Mengabaikannya termasuk merusak ketawakalan itu sendiri, sebagaimana hal tersebut juga mengabaikan  perintah dan hikmahnya. Bahkan hal tersebut juga lemah dari sudut pandang orang yang melalaikannya dan beranggapan bahwa meninggalkan usaha itu lebih kuat dalam bertawakal. Karena sesungghunya meninggalkannya merupakan  kelemahan yang dapat meniadakan tawakal. Sebab pada hakikatnya, tawakkal  adalah bersandarnya hati kepada Allah agar seorang hamba mendapatkan apa yang bermanfaat untuk agama dan dunianya dan mencegah apa yang mencelakakan agama dan dunianya. Sikap ini mengharuskan upaya melakukan sebab. Kalau tidak, maka termasuk kelalaian, baik dari sisi hikmah maupun agama. Janganlah seorang hamba menjadikan kelemahannya sebagai bentuk tawakal dan ketawakalannya sebagai alasannya untuk lemah." (Zadul Ma’ad, 4/15)

Wallahu’alam .

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid