Alhamdulillah.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tawaf dan sai wanita adalah berjalan seluruhnya.” Ibnu Munzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa tidak ada berjalan cepat (raml) bagi wanita di depan Ka’bah, juga tidak di antar Shafa dan Marwa, merekapun tidak disunahkan idhtiba. Karena, asalnya, idhtiba (dahulu) tujuannya adalah memperlihatkan kekuatan dan hal itu tidak dapat ditujukan bagi wanita. Karena wanita itu dituntut ditutupi. Sedangkan raml (berjalan cepat saat tawaf qudum) dan idthtiba (membuka pundak kanan) menyebabkan terbuka.” (Al-Mughni, 3/197)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Anda telah memberi isyarat dalam tawaf dan sai untuk berlari. Apakah hal ini khusus bagi laki-laki. Jika seorang laki-laki membawa isterinya atau bahkan beberapa orang wanita, apakah mereka (para wanita itu) dianjurkan berlari bersamanya?”
Beliau menjawab, “Sebagian ulama berpendapat bahwa ulama kaum muslimin sepakat (ijmak) bahwa wanita tidak disyariatkan lari, baik saat tawaf dan sai. Awalnya saya menilai bahwa wanitapun disunahkan berlari di antara dua tanda hijau saat sai, karena asal sai adalah meneladani Ummu Ismail (kemudia beliau kisahkan cerita Hajar), akan tetapi setelah saya ketahui bahwa para ulama mengutip adanya ijmak ulama bahwa wanita hanya berjalan, tidak berlari, maka saya berpendapat bahwa yang benar bagi wanita adalah berjalan, bukan berlari (saat tawaf dan sai).
Sekarang masalahnya tinggal orang laki yang tawaf dan sai bersama isterinya, apakah disyariatkan berlari baginya dan meninggalkan isterinya atau dia berjalan bersama isterinya sesuai dengan jalannya? Kami katakan, “Jika sang isteri dapat berjalan sendiri dan berpengalaman serta tidak dikhawatirkan kondisinya, maka tidak mengapa anda melakukan raml pada tiga putaran pertama, lalu dia berkata di akhir tawaf, ‘Kita bertemu di Maqam Ibrahim. Akan tetapi jika isterinya belum mandiri dan dikhawatirkan (hilang), maka sang suami berjalan bersamanya lebih utama daripada ram (berjalan cepat saat tawaf) dan berlari cepat (saat sai) di antara kedua tanda hijau.” (Al-Liqa Asy-Syahri, 7/21, Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 22/430)
Tidak mengapa jika orang yang sakit atau orang tua renta, jika tidak mampu berjalan seperti biasa, untuk berjalan dengan pelan sesuai kemampuannya. Jika terasa berat baginya, maka tidak mengapa dia naik roda.
Wallahu a’lam.