Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Wanita Shalat Sendirian Di Belakang Shaf Jamaah Wanita

189778

Tanggal Tayang : 17-12-2020

Penampilan-penampilan : 10729

Pertanyaan

[Setahu saya] Islam mewajibkan atas muslim untuk meluruskan shaf shalat, saling bersinggungan pundak, dan menutup celah di antara mereka. Suatu hari, saya datang ke sebuah mushalla yang letaknya tak jauh dari rumah. Saya datang terlambat. Saya melihat jamaah wanita yang hadir di sana berkumpul dengan teman mereka sendiri. Mereka berkelompok dalam kelompok-kelompok yang saling berjauhan dan terpisah dari shaf. Saya mencoba mengingatkan mereka agar saling mendekat sehingga membentuk shaf yang lurus. Namun mereka tidak menghiraukannya. Kemudian shalat dimulai. Saya tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan. Saya pun mulai shalat. Saya shalat munfarid (terpisah dari shaf jamaah wanita) tapi masih tetap mengikuti imam, agar terhindar dari fitnah. Tidak lama setelah shalat, saya langsung meninggalkan tempat. Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan itu benar ataukah tidak?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama,

Meluruskan shaf dalam shalat adalah wajib. Penjelasan mengenai hal ini telah disinggung di dalam jawaban untuk soal nomor 36881. Kewajiban meluruskan shaf berlaku umum, baik untuk shaf pria maupun shaf wanita. Tidak ada pengecualian. Karena dalil yang mewajibkannya bersifat umum (tidak menunjukkan pengecualian). Termasuk tindakan meluruskan shaf adalah: melengkapi dan menyambung shaf serta menutup celah di antara shaf. Abu Dawud meriwayatkan (666) dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَقِيمُوا الصُّفُوفَ ، وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ ، وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ

“Bentuklah shaf! Dekatkanlah antara satu pundak ke pundak! Jangan sampai berantakan! Terima dan turutilah perlakuan saudaramu [ketika menarik atau mendorongmu agar terbentuk shaf yang lurus]! Jangan biarkan terbuka celah untuk setan! Siapa yang menyambung shaf, niscaya Allah menyambungnya. Siapa yang memutus shaf, niscaya Allah memutusnya.”

Hadis ini dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam “Misykah al-Mishbah” dengan nomor hadis 1102.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimallahu berkata:

Keumuman [redaksi] dalil tersebut menunjukkan bahwa hukum pelurusan shaf berlaku untuk setiap jamaah shalat, baik itu jamaah shalat pria maupun jamaah shalat wanita; dan juga untuk setiap macam shalat jamaah, baik itu shalat jamaah fardhu maupun shalat jamaah sunah, seperti shalat malam [yang dilakukan secara berjamaah] atau shalat jenazah [yang dilakukan secara berjamaah]. Artinya, ketika shaf disyariatkan [di dalam sebuah ibadah] maka disyariatkan pula pelurusan shaf [di dalamnya].

Banyak orang yang kurang memperhatikan pelurusan shaf, padahal dalil-dalil yang ada menunjukkan wajibnya pelurusan shaf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, demikian pula dengan para khulafaurrasyidin, begitu memperhatikan pelurusan shaf, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menepuk dada dan pundak sahabatnya seraya berkata,

استووا ولا تختلفوا فتختلف قلوبكم

“Luruskan! Jangan sampai berantakan, [jika berantakan] niscaya berantakan pula hati kalian!”

Bahkan, para khalifah, seperti Umar dan Utsman, sampai mengangkat petugas khusus yang tugasnya meluruskan shaf menjelang shalat dimulai. Khalifah Umar dan Utsman baru memulai shalat ketika petugas tersebut mengatakan bahwa shaf sudah lurus. Demikian. Dikutip dari “Majmu’ al-Fatawa” (17/106).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya:

Apakah dalam shaf wanita disyaratkan harus lurus dan teratur juga? Apakah hukum berada di shaf pertama sama dengan hukum berada di shaf lainnya, terutama jika jamaah wanita benar-benar terpisah dari jamaah laki-laki?

Beliau menjawab:

Apa yang disyariatkan untuk shaf laki-laki disyariatkan pula untuk shaf perempuan. Yakni, harus lurus, teratur, melengkapi shaf pertama, dan menutup celah di dalam shaf. Jika tidak terdapat tirai pembatas antara jamaah wanita dan jamaah laki-laki, shaf terakhir adalah shaf yang paling baik bagi wanita, karena posisinya jauh dari shaf laki-laki. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadis. Jika antara jamaah wanita dan jamaah laki-laki terdapat tirai pembatas, berdasarkan pendapat yang zhahir, shaf pertama adalah shaf yang paling baik bagi wanita. Karena, dalam kondisi ini, sudah tidak ada lagi yang dikhawatirkan, dan posisi shaf tersebut lebih dekat dengan imam. Wallahu a’lam. Demikian. Dikutip dari “al-Muntaqa min Fatawa al-Fauzan”.

Kedua,

Tidak diperbolehkan shalat munfarid (sendirian) di belakang shaf tanpa ada alasan syar’i. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf,

اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ فَلَا صَلَاةَ لِرَجُلٍ فَرْدٍ خَلْفَ الصَّفِّ

“Ulangi shalatmu! Karena tidak ada shalat bagi yang shalat sendirian di belakang shaf.”

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad (15708) dan dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam “al-Irwa’” dengan nomor hadis (541). Untuk penjelasan lengkap mengenai shalat di belakang shaf, lihat soal-jawab nomor 11199.

Atas dasar itu, jika seorang wanita shalat sendirian (munfarid) di belakan shaf tanpa alasan syar’i maka shalatnya tidak sah, berdasarkan keumuman hadis Abdullah bin Umar di atas, dan hadis riwayat Abu Dawud (682) dan Turmudzi (230)—yang dinyatakan shahih oleh al-Albani—yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seseorang, yang beliau lihat melakukan shalat sendirian di belakang shaf, untuk kembali mengulang shalatnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

Jika seorang wanita shalat sendirian di belakang shaf wanita maka shalatnya tidak sah. Hukumnya seperti hukum laki-laki yang shalat sendirian di belakang shaf laki-laki. Demikian yang disebutkan oleh al-Qadhi Abu Ya’la dalam kitabnya, at-Ta’liq. Hal ini didasarkan pada keumuman sabda Rasulullah, “Tidak ada shalat bagi yang shalat sendirian di belakang shaf”. Hadis ini diriwayatkan di dalam Musnad Ahmad. Dikecualikan dari hukum ini: jika wanita tersebut shalat sendirian di belakang shaf laki-laki. Dasarnya, hadis shahih di atas. Demikian. Dikutip dari “ash-Shalah wa Ahkam Tarikiha” (108).

Al-Mardawi rahimahullah berkata:

Kesimpulan: Jika seorang wanita atau lebih bermakmum kepada imam wanita maka tidak sah shalatnya jika ia atau salah seorang makmum yang lain shalat sendirian di belakang imam tersebut. Demikian pendapat shahih dari madzhab yang disebutkan al-Qadhi di dalam at-Ta’liq. Demikian. Dikutip dari “al-Inshaf” (2/300)

Jika ada alasan syar’i, misalnya karena shaf yang ada sudah tidak bisa diisi lagi atau karena shalat di belakang shaf laki-laki, maka shalat wanita yang dilakukan secara munfarid di belakang shaf adalah sah. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama Anas dan ibunya, atau bibinya, Anas berkata: “Beliau menepatkanku di sebelah kanan beliau, dan menempatkan wanita (yaitu ibunya atau bibinya) di belakang kami.” Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim (660).

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

Para ulama sepakat akan sahnya shalat yang dilakukan seorang wanita secara munfarid (terpisah di belakang shaf) jika dalam jamaah tersebut tidak ada wanita lain selain dirinya. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam Sunnah. Demikian. Dikutip dari “Majmu’ al-Fatawa”.

Dengan demikian, menjadi jelaslah hukumnya, bahwa siapa saja, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang shalat sendirian di belakang shaf tanpa alasan syar’i maka shalatnya batal. Jika ia mengetahui hukum ini maka ia diwajibkan untuk mengulang kembali shalatnya selama masih berada di dalam waktu shalat. Karena ia telah meninggalkan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Namun jika ia tidak mengetahui hukum itu dan [ketika mengetahui hukum itu] waktu shalat sudah berlalu maka ia tidak diwajibkan mengulang kembali shalatnya. Karena syariat Islam hanya dibebankan kepada orang yang mengetahuinya. Demikianlah pendapat yang dikatakan oleh Syaikul Islam rahimahullah.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam