Alhamdulillah.
Pertama:
Telah disebutkan dalam pertanyaan di atas bahwa dana yang masuk pada lembaga terdiri dari dua bagian:
1. Shodaqah yang hukumnya sunnah
2. Shodaqah yang hukumnya wajib (zakat)
Adapun shadaqah yang sunnah, maka penyalurannya sangat luas, selama anda telah memberitahukan kepada donatur instansi-instansi mana yang menjadi penyaluran dana tersebut, hendaknya memperhatikan permintaan donatur dalam penyalurannya dan tidak melampaui penyaluran yang lain, kecuali jika pihak donatur menyerahkan sepenuhnya kepada anda dalam hal penyaluran dana tersebut, atau karena dia tidak mampu menyalurkan sendiri kepada instansi yang sudah ditentukan, maka hendaknya anda mencari instansi yang mirip dengan kreteria pihak donatur.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Harta yang dikumpulkan untuk tujuan tertentu, tidak boleh disalurkan kecuali untuk tujuan tersebut selama masih bisa dijalankan”. (Liqo Babil Maftuh: 43)
Kedua:
Adapun zakat yang wajib maka tidak boleh disalurkan kecuali kepada delapan golongan yang telah dijelaskan oleh Alloh –Ta’ala- dalam kitab-Nya. Hukum asalnya adalah zakat tersebut disalurkan kepada mustahik (yang berhak menerimanya) dalam bentuk dana agar bisa digunakan sesuai dengan kebutuhannya, namun dikecualikan keadaan mustahik zakat yang tidak memungkinkan, seperti; karena gila, masih anak-anak, tidak mudah faham, atau telah meminta izin kepada mustahik untuk dibelikan kebutuhannya maka dalam kondisi seperti itu pihak penyalur menjadi wakilnya untuk membelikannya.
Telah dijelaskan rincian masalah ini pada jawaban soal nomor: 42542 dan 138684.
Ketiga:
Adapun untuk keperluan membayar sewa kantor yayasan maka tidak boleh menggunakan harta zakat.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Sebuah yayasan sosial yang mengumpulkan harta zakat dan membagikannya kepada fakir miskin, saat ini yayasan tersebut menggunakan gedung milik saya, maka apakah yayasan boleh menggunakan dana zakat untuk membayar sewa gedung tersebut ?”
Beliau menjawab:
“Harta zakat tidak boleh dibayarkan untuk sewa gedung, kemudian menjadi kewajiban yayasan tersebut untuk bekerja seperti yayasan lain, yaitu: merinci penerimaan dana, untuk pos zakat, pos shadaqah, pos untuk program sosial yang umum. Yang penting yayasan tersebut hendaknya memisahkan antara zakat dan lainnya.
Penanya: “Wahai Syeikh, kami tidak mendapatkan dana yang cukup dari pos shadaqah dan donasi yang lain untuk biaya sewa ?”
Syeikh: “Jika tidak cukup, anda mintakan kepada orang tertentu untuk bisa sewa kantor tersebut”. (Liqo Bab Maftuh: 12/141)
Keempat:
Penyaluran dana zakat untuk pendanaan proyek pengembangan tersebut hendaknya dirinci sebagai berikut:
1. Adapun penggunaan dana zakat untuk pembelian buku-buku guna mengajarkan mereka yang buta huruf, hukum asalnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan harta zakat tersebut harus dimiliki dulu oleh mereka, maka anda tidak dibolehkan membelikan buku dari harta zakat yang menjadi hak orang fakir, kecuali jika orang fakir tersebut memang membutuhkannya dan tidak bisa belanja sendiri dan tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf kedua, namun apabila seorang fakir tersebut meminta untuk dibelikan buku dari harta zakat tersebut untuk mengangkat kebodohannya dalam hal agamanya, atau dia membutuhkannya untuk kemaslahatan dunianya yang akan membantunya mencari nafkah dan memenuhi kebutuhannya, maka hal tersebut menjadi bagian dari kebutuhan orang fakir yang berhak menerima zakat.
Al Mardawi berkata: “Syeikh Taqiyuddin telah memilih pendapat: “Boleh diambilkan dari harta zakat untuk membeli buku-buku (yang bermanfaat dan yang sangat penting) untuk kemaslahatan agamanya dan dunianya, dan inilah pendapat yang benar”. (Al Inshaf: 3/218)
Demikian juga dibolehkan untuk membeli buku-buku agama dari harta zakat untuk membantu mereka yang fokus dalam mencari ilmu, pendirian perpustakaan yang syar’i untuk membantu memperdalam ilmu agama. Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Pendapat kami adalah dibolehkan menyalurkan harta zakat bagi para pencari ilmu yang fokus untuk belajar, jika ilmu yang dipelajari adalah ilmu syar’i (agama); karena agama akan tegak dengan ilmu dan senjata, Alloh –Ta’ala- berfirman:
( يَاأَيُّهَاالنَّبِىُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ)
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya”. (QS. At Taubah: 73)
Sebagaimana diketahui bahwa jihad dengan orang-orang munafik itu dengan ilmu tidak dengan senjata, atas dasar inilah maka menyalurkan zakat kepada mereka untuk nafkah mereka, atau buku-buku yang mereka perlukan, baik untuk dimiliki secara pribadi atau untuk umum seperti buku-buku yang ditaruh di perpustakaan yang selalu dikunjungi oleh para pencari ilmu; karena buku bagi para pencari ilmu laksana pedang dan senapan atau yang serupa dengan keduanya yang dimiliki oleh seorang pejuang.
Adapun pembangunan asrama dan sekolah bagi para pencari ilmu, maka pendapat saya cenderung membolehkan penyaluran zakat untuk hal tersebut, adapun perbedaannya dengan disalurkan untuk membeli buku adalah pemanfaatan buku sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu, karena tidak mungkin mendapatkan ilmu kecuali dengan buku-buku, berbeda dengan asrama dan sekolah-sekolah, akan tetapi jika para pencari ilmu itu banyak yang fakir, kemudian mereka disewakan asrama dari harta zakat, maka dari sisi ini maka harta zakat yang mereka terima diambilkan dari jatah orang-orang fakir, mereka berhak mendapatkannya karena kefakiran mereka, demikian juga untuk pembangunan sekolah-sekolah, karena tidak memungkinkan untuk belajar di masjid-masjid”. (Majmu’ Fatawa: 18/392)
2. Sedangkan penyaluran zakat untuk pencerahan akan bahaya merokok dan narkotika, dengan menyebarkan selebaran dan ruqyah, maka tidak dibolehkan; karena hal itu bukan sebagai pos penyaluran zakat; maka cukup membantunya dengan dana shadaqah umum yang masuk kepada anda.
3. Adapun penyaluran zakat untuk proyek-proyek orang-orang fakir agar mereka mendapatkan rizki dari proyek tersebut, maka ada dua gambaran:
Pertama:
Jika kepemilikan akhir dari proyek tersebut tidak untuk mereka orang fakir, jadi penyaluran zakatnya untuk membeli tempat atau peralatan yang dibutuhkan dan menjadi hak milik untuk umum bagi yayasan atau yang lainnya, para mustahik zakat sebagai penyewa di tempat tersebut, maka tidak boleh disalurkan dengan cara seperti itu, karena tidak ada kepemilikan yang kembali kepada mustahik baik diawal maupun diakhirnya, akan tetapi penyaluran tersebut sama dengan wakaf, dan ada perbedaan antara harta wakaf dan harta zakat.
Disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah (9/451):
“Tidak boleh bagi yayasan sosial untuk membangun rumah atau yang serupa dengannya dengan dana yang bersumber dari harta zakat yang menjadi hak milik orang-orang yang membutuhkannya dan akan bermanfaat bagi mereka sebagai tempat tinggal atau disewakan; karena kepemilikan zakat tersebut akan beralih kepada yang tidak berhak menerimanya, di samping itu juga akan menyebabkan hilangnya kepemilikan aslinya, juga karena pemanfaatan yang bersifat khusus dan adanya keterlambatan sampainya kepada mustahik, juga karena adanya keputusan yang kemaslahatannya akan kembali kepada pihak pengelola.
Secara umum sudah pernah dicoba dan gagal, disamping itu juga bertentangan dengan nash tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syari’at”.
Kedua:
Harta zakatnya menjadi hak milik bagi mustahik, dengan cara memberikan kepadanya harta zakat untuk dibelanjalan peralatan profesi tertentu sehingga dengannya dia bisa mendapatkan uang, atau harta tersebut dijadikan modal untuk bisnis tertentu yang mampu dia lakukan, maka yang demikian itu tidak masalah menggunakan harta zakat.
Ar Romli asy Syafi’i berkata:
“Barang siapa yang mampu melakukan profesi tertentu dan mendapatkan hasil yang cukup darinya, maka boleh diberikan seharga peralatan profesi tersebut meskipun mahal harganya, atau ada yang mampu berdagang, maka diberikan bantuan modal yang cukup dan kemungkinan besar akan untung disesuaikan dengan kebiasaan pada daerahnya”. (Nihayatul Muhtaj: 6/161)
Pendapat tersebut salah satu pendapat Imam Ahmad. Al Mardawi berkata: “Dan dari beliau juga, dia selalu mengambil sesuai kebutuhannya, untuk berdagang atau alat produksi atau yang lainnya, merupakan pendapat yang dipilihnya dalam al Faiq, pendapat ini juga disebutkan dalam Ar Ri’ayah”. (Al Inshaf: 3/238)
Syeikh Islam –rahimahullah- berkata:
“Dibolehkan mengambil dari zakat untuk keperluan hidunya sehari-hari, meskipun tidak berupa uang. Dikatakan kepada Imam Ahmad –rahimahullah-: “Seseorang yang mempunyai tanaman, namun tidak mendapatkan untuk dipanen, apakah dia boleh menerima penyaluran zakat ?, beliau menjawab: “Ya , dia boleh menerimanya”. (Al Mustadrak ‘ala Fatawa Ibnu Taimiyah: 1/132)
Wallahu a’lam.