Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Syarat Beribadah Dalam Islam

Pertanyaan

Apa syarat-syarat ibadah yang benar dalam Islam ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Syekh Al-Faqih Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,”

Pertama: Hendaknya ibadah itu sesuai dengan syareat dalam (sebabnya) maka siapa saja manusia yang menyembah kepada Allah dengan suatu ibadah dibangun dengan sebab yang tidak ada ketetapan dari syareat, maka ia ibadahnya tertolak. Tidak ada perintah Allah dan Rasul-Nya. Contoh akan hal itu adalah memperingati maulud Nabi sallallahu’alaihi wa salam begitu juga yang merayakan malam 27 Rajab, mereka menganggap bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dimi’rojkan malam itu. Hal itu tidak seseuai dengan syareat, maka ia tertolak.

  1. Karena ia tidak ada ketetapan dari sisi sejarah bahwa mi’roj Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dahulu ada maam 27. Dan hadts-hadits telah ditulis diantara tangan kita, tidak ada satu huruf pun  yang menunjukkan bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dimi’rojkan malam 27 Rajab. Telah diketahui bahwa hal ini termasuk pintu kebaikan yang tidak ada ketetapan kecuali dengan sanad yang shoheh.
  2. Kalau sekiranya kita terima ketetapannya, apakah hak kita membicarakan di dalamnya ada ibadah yang kita jadikan hari raya? Tidak ada selamanya. Oleh karena itu ketika Nabi sallallahu’alaihi wa sallam datang ke Madinah dan melihat orang-orang Anshor mempunyai dua hari dimana mereka bermain-main di hari itu beliau bersabda:

 إن الله أبدلكم بخير منهما

“Sesungguhnya Allah telah menggantikan kalian yang lebih baik dari keduanya.”

Dan disebutkan untuk mereka hari raya fitri dan hari raya Adha. Hal ini menunjukkan akan ketidak setujuan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam hari raya apa saja yang dibuat dalam Islam selain dari hari raya Islam yaitu ada tiga: dua hari rayatahunan yaitu hari raya firti dan adha dan hari raya mingguan yaitu hari jum’ah. Kalau sekiranya kita terima bahwa Rasulullah sallallahua’alaihi wa sallam dimikrojkan malam 27 Rojab – hal ini tanpa kepastian – tidak mungkin kita membicarakan sesuatu tanpa ada izin dari Syari’ (Allah).

Seperti yang saya katakan kepada kalian bahwa masalah bid’ah itu adalah urusan yang sangat besar sekali. dampak terhadap hati juga jelek, meskipun seseorang waktu itu mendapatkan dalam hatinya kelembutan. Maka urusannya setelah itu akan benar-benar berbalik. Karena kesenangan hati dengan kebatilan tidak akan langgeng bahkan akan dihinggapi kesakitan dan penyesalan serta kerugian. Dan semua bentuk bid’ah itu berbahaya karena mengandung celaan terhadap risalah. Karena kandungan dari bid’ah ini adalah bahwa Rasulullah sallallahu’alaihi wa salam belum menyempurnakan syareat. Padahal Allah ta’ala berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” QS. Al-Maidah: 3

Yang mengherankan adalah bahwa sebagian yang terkena cobaan dengan bid’ah-bid’ah ini, didapati mereka sangat berusaha keras agar bisa melakukannya. Padahal mereka meremehkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan lebih benar dan lebih bagus lagi.

Oleh karena itu kita katakan bahwa perayaan malam 27 (Rojab) bahwa malam itu Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dimikrojkan termasuk bid’ah. Karena dibangun dengan sebab yang tidak ada dalam syareat.

Kedua: ibadah itu sesuai dengan syareat pada (jenisnya). Seperti, seseorang berkurban dengan kuda. Kalau seseorang berkurban dengan kuda, hal itu bertentangan dengan syareat dari sisi jenisnya. (karena kurban tidak diperbolehkan kecuali dari hewan piaraan yaitu unta, sapi dan kambing).

Ketiga: ibdaha itu sesuai dengan syareat dari sisi (kadarnya). Kalau salah seorang dari manusia mengatakan, bahwa dia menunaikan shalat dhuhur 6 rokaat. Apakah ibadah ini sesuai dengan syareat? Sekali-kali tidak sesuai. Karena tidak sesuai dari sisi kadarnya. Kalau salah seorang dari manusia mengatakan ‘سبحان الله والحمد لله والله أكبر ’35 kali setelah selesai shalat wajib, apakah dibenarkan hal itu? Maka jawabannya adalah kita katakan, kalau anda bermaksud beribadah kepada Allah dengan bilangan ini, maka anda salah. Kalau anda bermaksud menambahi dari apa yang telah disyareatkan Rasulullah sallallahu’alahi wa sallam. Akan tetapi anda meyakini yang disyareatkan adalah 33 kali, maka tambahan ini tidak mengapa. Karena anda pisahkan dari ibadah semacam ini.

Keempat: hendaknya ibadah sesuai dengan syareat dalam (caranya). Kalau ada seseorang melakukan ibadah dengan jenis, kadar dan sebabnya (benar) akan tetapi menyalahi dalam caranya, maka hal itu tidak sah. Seperti seseorang batal hadats kecil, dan berwudhu akan tetapi membasuh kedua kakinya kemudian mengusap kepalanya kemudian membasuk kedua tangannya, kemudian membasuk wajahnya. Apakah wudhu’nya sah? Sekali-kali tidak. Karena ia menyalahi syareat pada caranya.

Kelima: ibadah sesuai dengan syareat di (waktunya). Contoh seseorang berpuasa Ramadhan di bulan Sya’ban atau di bulan Syawwal. Atau menunaikan shalat dhuhur sebelum tergelincir matahari. Atau setelah bayangan sesuatu itu sama. Karena dia menunaikan shalat sebelum tergelincir (matahari) shalat belum waktunya. Kalau dia shalat setelah bayangan sesuatu itu sama, maka dia menunaikan shalat setelah waktunya, maka shalatnya tidak sah. Oleh karena itu kita katakan, kalau seseorang meninggalkan shalat secara sengaja sampai keluar waktunya tanpa ada uzur (alasan), maka shalatnya tidak diterima darinya meskipun dia shalat seribu kali. Dari sini kita bisa mengambil kaidah penting dalam bab ini yaitu semua ibadah yang ada waktunya, kalau seseorang mengeluarkan dari waktunya tanpa ada alasan, maka (ibadah) itu tidak diterima bahkan tertolak.

Dalil akan hal itu adalah hadits Aisyah radhia’allahu’anha, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ر

“Siapa yang beramal suatu amalan, yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak.

Keenam: ibadah sesuai syareat pada (tempatnya). Kalau seseorang menunaikan wukuf pada hari Arofah di Muzdalifah, maka wukufnya tidak sah. Karena tidak sesuai ibadah dengan syareat dalam tempatnya. Begitu juga sebagai salah satu contoh kalau seseorang beri’tikaf di rumahnya, maka hal itu tidak sah. Karena tempat I’tikaf adalah di masjid. Oleh karena itu seorang wanita tidak sah kalau beri’tikaf di rumahnya. Karena itu bukan tempat I’tikaf. Semantara Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika melihat sebagian istri-istrinya membuat tenda untuk mereka di Masjid, beliau memerintahkan untuk membonkar tenda serta mencansel I’tikaf, beliau tidak mengarahkan untuk beri’tikaf di rumah-rumahnya. Hal ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh beri’tikaf di rumahnya karena menyalahi syareat dari sisi tempatnya.

Inilah enam sifat kalau tidak terkumpul semuanya, maka tidak terealisasi mengikuti syareat dalam beribadah:

  1. Sebabnya
  2. Jenisnya
  3. Kadarnya
  4. Tata caranya
  5. Waktunya
  6. Tempatnya

Selesai

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam