Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Apakah Boleh Memesan Tiket Bepergian Namun Melakukan Kemungkaran Dalam Perjalannya ?

Pertanyaan

Saya bekerja di sektor perhubungan di pemerintahan, saya penanggung jawab visa, pemesanan hotel, pesawat terbang untuk semua perjalanan resmi pada sebuah negara. Pimpinan saya telah memutuskan mau pergi ke luar negeri untuk perjalanan tugas, jika saya pesankan baginya hotel tertentu, saya tahu dia akan berangkat dan meminum alkohol di sana dan mungkin akan melakukan perbuatan keji lainnya, apakah saya ikut berdosa jika saya pesankan hotel untuknya atau untuk para musafir lainnya yang bergelimang dengan perkara-perkara yang haram ?

Ringkasan Jawaban

Ada perbedaan antara seseorang yang bepergian dengan tujuan mubah lalu melakukan kemungkaran di
tengah perjalanannya dengan seseorang yang sejak awal perjalanannya sudah bertujuan untuk melakukan kemungkaran.

Orang pertama boleh dibantu proses perjalanannya, sedangkan orang yang kedua tidak boleh dibantu.

Berkaitan dengan pekerjaan anda yang menyedikan pemesanan tiket untuk perjalanan resmi kenegaraan yang
sejak awal bertujuan untuk perkara mubah, maka tidak apa-apa memesankan untuk mereka, dan barang siapa yang melakukan perbuatan haram ditengah perjalanan, maka dialah yang menanggung dosa sepenuhnya.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Seorang musafir yang melakukan maksiat dalam perjalanannya, mempunyai dua kondisi:

Pertama:

Sejak awal dia sudah berniat melakukan perbuatan haram, seperti orang yang bepergian untuk melakukan perbuatan keji, minum khomer, membunuh umat Islam atau perbuatan haram lainnya. Pada kondisi ini tidak boleh membantunya untuk memperlancar perjalanannya dalam bentuk apapun. Para ahli fikih menamakannya sebagai: “Pelaku maksiat dalam perjalanan”.

Al Ghozali berkata:

“Pelaku maksiat dalam perjalanannya tidak mendapatkan rukhsoh (keringanan), seperti seseorang yang kabur, durhaka kepada orang tua, perampok jalanan; karena rukhsoh itu merupakan sebuah bantuan, maka mereka tidak berhak untuk dibantu”. (Al Wasith fil Madzhab: 2/251)

Al Juwaini berkata:

“Rukhsoh (keringanan) dalam perjalanan hukumnya sama dengan sebuah bantuan untuk meringankan kesulitan dan beban bagi seorang musafir, menurut syari’at bantuan tersebut tidak sesuai bagi pelaku maksiat”. (Nihayatul Mathlab fii Dirayatil Madzhab: 2/459)

Syeikh Islam berkata:

“Adapun jika seseorang melakukan maksiat dalam perjalanannya, seperti merampok atau yang lainnya, maka apakah dia masih boleh mendapatkan keringanan dalam safar, seperti boleh tidak puasa dan mengqashar shalat ?, dalam hal ini ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat tidak boleh mengqashar shalat dan tidak boleh meninggalkan puasa. Sedangkan madzhad Hanafi tetap boleh mendapatkan rukhsoh”. (Majmu’ Fatawa: 18/254)

Kedua:

Awalnya dia bepergian untuk urusan yang mubah, namun dalam perjalanannya bisa jadi dia melakukan maksiat, maka dalam hal ini tidak masalah untuk dibantu, dalam kondisi seperti ini tidak dianggap membantunya bermaksiat; karena bantuan tersebut untuk perkara yang mubah, tidak untuk maksiat yang dilakukannya di tengah perjalanan.

Dalam kondisi ini para ulama fikih menamakannya dengan: “Pelaku maksiat dalam perjalanan”.

Ulama fikih juga telah menyebutkan bahwa pelaku maksiat dalam perjalanannya tetap mendapatkan rukhsoh safar, hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak termasuk sebagai bantuan untuk melakukan maksiat.

An Nawawi berkata:

“Sedangkan pelaku maksiat dalam perjalanannya adalah mereka yang bepergian untuk perkara yang mubah akan tetapi di tengah perjalanan dia melakukan maksiat, seperti minum minuman keras dan lain sebagainya, maka rukhsoh safar tetap berlaku baginya”. (Al Ushul wa Dhowabith: 44)

Ibnu Taimiyah berkata:

“Para ahli fikih telah membedakan antara pelaku maksiat sejak awal perjalanan dan pelaku maksiat  di tengah perjalanan, mereka berkata: “Jika dia melakukan perjalanan yang mubah, seperti haji, umrah dan jihad, maka dia boleh mengqashor dan berbuka puasa sesuai dengan kesepakatan para imam empat, meskipun dia melakukan maksiat di tengah perjalanan”. (Majmu’ Fatawa: 18/254)

Ar Rafi’i berkata:

“Rukhsoh itu ditetapkan sebagai bentuk keringanan dan bantuan dalam perjalanan, tidak ada jalan untuk membantu pelaku maksiat dalam maksiatnya, berbeda dengan safar yang mubah pada awalnya, namun di tengah jalan dia melakukan maksiat, maka hal itu tidak menghalanginya untuk melakukan safar akan tetapi yang menghalanginya adalah perbuatan maksiatnya”. (Al Aziz Syarhu al Wajiz: 2/223)

Jika safar tidak menghalanginya –sebagaimana yang disebutkan oleh Ar Rafi’i- maka sebab-sebab dalam safar pun tidak menghalangi juga”.

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

“Perbedaan di antara keduanya adalah yang pertama tidak membawanya untuk bepergian kecuali maksiat, namun yang kedua mempunyai tujuan lain namun di tengah perjalanan dia melakukan maksiat.

Yang serupa dengan hal itu, jika ada seseorang yang menyewa rumah anda untuk menjadikannya pusat perbuatan yang sia-sia, maka haram hukumnya menyewakan rumah tersebut. Namun jika dia menyewanya untuk tempat tinggal, kemudian dipakai pusat perbuatan sia-sia, maka menyewakannya tidak haram hukumnya. Perbedaannya adalah yang pertama menyewa rumah untuk perbuatan haram, sedangkan yang kedua dia menyewa rumah untuk perkara mubah, namun dia melakukan perbuatan haram di dalamnya”. (Ta’liqaat Ibni Utsaimin ‘Ala Al Kaafi: 3/126 sesuai dengan Maktabah Syamilah)

Jika syari’at telah membolehkan bagi pelaku maksiat dalam perjalanannya mengambil rukhsoh (keringanan ibadah) dalam perjalanan, yang membantunya untuk meringankan perjalanannya, maka semua yang berkaitan dengan perjalanannya juga boleh  dibantu, seperti pemesanan tiket pesawat terbang, hotel dan lain sebagainya.

Kami telah bertanya kepada Syeikh Abdur Rahman Al Barrak –hafidzahullah- dalam masalah ini, maka beliau berkata:

“Jika tujuan safarnya mubah, namun bisa jadi seorang musafir di tengah perjalanan melakukan dosa, maka tidak apa-apa memesankan (tiket) untuknya, akan tetapi jika safarnya bertujuan untuk melakukan perbuatan haram, maka tidak boleh membantunya”.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam