Alhamdulillah.
Seorang musafir yang melakukan maksiat dalam perjalanannya, mempunyai dua kondisi:
Pertama:
Sejak awal dia sudah berniat melakukan perbuatan haram, seperti orang yang bepergian untuk melakukan perbuatan keji, minum khomer, membunuh umat Islam atau perbuatan haram lainnya. Pada kondisi ini tidak boleh membantunya untuk memperlancar perjalanannya dalam bentuk apapun. Para ahli fikih menamakannya sebagai: “Pelaku maksiat dalam perjalanan”.
Al Ghozali berkata:
“Pelaku maksiat dalam perjalanannya tidak mendapatkan rukhsoh (keringanan), seperti seseorang yang kabur, durhaka kepada orang tua, perampok jalanan; karena rukhsoh itu merupakan sebuah bantuan, maka mereka tidak berhak untuk dibantu”. (Al Wasith fil Madzhab: 2/251)
Al Juwaini berkata:
“Rukhsoh (keringanan) dalam perjalanan hukumnya sama dengan sebuah bantuan untuk meringankan kesulitan dan beban bagi seorang musafir, menurut syari’at bantuan tersebut tidak sesuai bagi pelaku maksiat”. (Nihayatul Mathlab fii Dirayatil Madzhab: 2/459)
Syeikh Islam berkata:
“Adapun jika seseorang melakukan maksiat dalam perjalanannya, seperti merampok atau yang lainnya, maka apakah dia masih boleh mendapatkan keringanan dalam safar, seperti boleh tidak puasa dan mengqashar shalat ?, dalam hal ini ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat tidak boleh mengqashar shalat dan tidak boleh meninggalkan puasa. Sedangkan madzhad Hanafi tetap boleh mendapatkan rukhsoh”. (Majmu’ Fatawa: 18/254)
Kedua:
Awalnya dia bepergian untuk urusan yang mubah, namun dalam perjalanannya bisa jadi dia melakukan maksiat, maka dalam hal ini tidak masalah untuk dibantu, dalam kondisi seperti ini tidak dianggap membantunya bermaksiat; karena bantuan tersebut untuk perkara yang mubah, tidak untuk maksiat yang dilakukannya di tengah perjalanan.
Dalam kondisi ini para ulama fikih menamakannya dengan: “Pelaku maksiat dalam perjalanan”.
Ulama fikih juga telah menyebutkan bahwa pelaku maksiat dalam perjalanannya tetap mendapatkan rukhsoh safar, hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak termasuk sebagai bantuan untuk melakukan maksiat.
An Nawawi berkata:
“Sedangkan pelaku maksiat dalam perjalanannya adalah mereka yang bepergian untuk perkara yang mubah akan tetapi di tengah perjalanan dia melakukan maksiat, seperti minum minuman keras dan lain sebagainya, maka rukhsoh safar tetap berlaku baginya”. (Al Ushul wa Dhowabith: 44)
Ibnu Taimiyah berkata:
“Para ahli fikih telah membedakan antara pelaku maksiat sejak awal perjalanan dan pelaku maksiat di tengah perjalanan, mereka berkata: “Jika dia melakukan perjalanan yang mubah, seperti haji, umrah dan jihad, maka dia boleh mengqashor dan berbuka puasa sesuai dengan kesepakatan para imam empat, meskipun dia melakukan maksiat di tengah perjalanan”. (Majmu’ Fatawa: 18/254)
Ar Rafi’i berkata:
“Rukhsoh itu ditetapkan sebagai bentuk keringanan dan bantuan dalam perjalanan, tidak ada jalan untuk membantu pelaku maksiat dalam maksiatnya, berbeda dengan safar yang mubah pada awalnya, namun di tengah jalan dia melakukan maksiat, maka hal itu tidak menghalanginya untuk melakukan safar akan tetapi yang menghalanginya adalah perbuatan maksiatnya”. (Al Aziz Syarhu al Wajiz: 2/223)
Jika safar tidak menghalanginya –sebagaimana yang disebutkan oleh Ar Rafi’i- maka sebab-sebab dalam safar pun tidak menghalangi juga”.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Perbedaan di antara keduanya adalah yang pertama tidak membawanya untuk bepergian kecuali maksiat, namun yang kedua mempunyai tujuan lain namun di tengah perjalanan dia melakukan maksiat.
Yang serupa dengan hal itu, jika ada seseorang yang menyewa rumah anda untuk menjadikannya pusat perbuatan yang sia-sia, maka haram hukumnya menyewakan rumah tersebut. Namun jika dia menyewanya untuk tempat tinggal, kemudian dipakai pusat perbuatan sia-sia, maka menyewakannya tidak haram hukumnya. Perbedaannya adalah yang pertama menyewa rumah untuk perbuatan haram, sedangkan yang kedua dia menyewa rumah untuk perkara mubah, namun dia melakukan perbuatan haram di dalamnya”. (Ta’liqaat Ibni Utsaimin ‘Ala Al Kaafi: 3/126 sesuai dengan Maktabah Syamilah)
Jika syari’at telah membolehkan bagi pelaku maksiat dalam perjalanannya mengambil rukhsoh (keringanan ibadah) dalam perjalanan, yang membantunya untuk meringankan perjalanannya, maka semua yang berkaitan dengan perjalanannya juga boleh dibantu, seperti pemesanan tiket pesawat terbang, hotel dan lain sebagainya.
Kami telah bertanya kepada Syeikh Abdur Rahman Al Barrak –hafidzahullah- dalam masalah ini, maka beliau berkata:
“Jika tujuan safarnya mubah, namun bisa jadi seorang musafir di tengah perjalanan melakukan dosa, maka tidak apa-apa memesankan (tiket) untuknya, akan tetapi jika safarnya bertujuan untuk melakukan perbuatan haram, maka tidak boleh membantunya”.