Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Apakah Orang Yang Terkena Gangguan Jiwa Itu Terkena Beban Kewajiban (Agama)?

Pertanyaan

Saya menderita kondisi yang namanya flat effect; yaitu kondisi kedokteran yang menyebabkan saya tidak mempunyai perasaan kemanusian seperti cinta, benci, marah, kasih sayang dan kelembutan dan tidak ada perasaan lainnya kecuali sangat sedikit sekali dan dalam waktu yang singkat. Saya tidak ada perasaan sampai kepada ayah dan ibuku. Masalah ini dimulai Ketika saya berumur 15 tahun sampai sekarang. Dimana kondisi saya ini tidak dapat diobati, dan akan terus menerus sepanjang hidupku. Pertanyaanku adalah apakah saya terkena beban kewajiban (agama) atau tidak dalam syariat Islam? Apakah saya wajib menunaikan shalat, puasa dan zakat?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ketahuilah saudaraku semoga Allah memberikan petunjuk kepada anda dan kami, bahwa emosi datar atau yang dalam Bahasa ilmiyah dinamakan ‘flat affect’ adalah gejala. Bukan penyakit itu sendiri. Gejala-gejala ini sangat luas sisinya dan kelihatannya. Dimulai dengan gangguan kepribadian (personality disorders) hingga gangguan psikotik (psychotic disorders). Mayoritas gangguan psikotik, termasuk: kronis. Tetapi mungkin untuk mengendalikan sebagian besar gejala penyakit - terutama gejala positif- seperti delusi dan halusinasi pendengaran, dengan melanjutkan pengobatan.

Asalnya secara umum bahwa yang terkena cobaan dengan salah satu gangguan kepribadian atau gangguan pikiran itu terkena beban kewajiban dari apa yang dia sadari dan dia pahami dari kewajiban agama. Hal itu karena dasar penugasan dan layak untuk diberi beban adalah akal bukan perasaan juga bukan hati Nurani.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:

 رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَشِبَّ ، وَعَنْ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ 

رواه الترمذي (1423) وصححه الألباني في صحيح الترمذي .

“Diangkat pena (beban kewajiban) dari tiga orang, dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecil sampai dewasa dan dari orang gila sampai berakal (sembuh). HR. Tirmizi, (1423) dinyatakan shoheh oleh Albany di shoheh Tirmizi.

Kapan saja seseorang itu berakal –memahami- kandungan perintah, maka dia terkena beban kewajiban. Sampai meskipun dia sakit kejiwaan. Sampai hilang perasaan atau hilang sedikit dari perasaannya. Kalau kondisi sakitnya, maksudnya hilang perasaannya, maka dia dimaafkan dari perasaan yang Allah bebankan kepadanya. Akan tetapi Ketika hal itu terkalahkan seperti cinta kepada kedua orang tua dan taat atau membenci orang kafir dan benci kemungkaran.

Kalau penyakit jiwa tidak menghilangkan akal dan kesadaran pemiliknya, maka dia tetap diharuskan melakukan shalat dan puasa karena dia tetap terkena beban kewajiban.

Kalau dia gila (hilang akalnya) pada Sebagian waktu, dan sadar pada Sebagian lainnya, maka dia mempunyai uzur (alasan) Ketika hilang akalnya, akan tetapi Ketika dia sadar (sembuh), maka telah hilang uzurnya. Maka diwajibkan atasnya menunaikan shalat waktu datangnya shalat dan mengqodo’ apa yang telah terlewatkan waktu hilang akalnya.

Ini juga terjadi pada saat episode akut dari gejala psikotik yang parah, seperti delusi (delusions), atau episode mania yang parah.

Perlu diketahui bahwa zakat itu tetap diwajibkan kepada anak kecil, orang gila atau hilang akalnya untuk sementara menurut pendapat mayoritas ulama’ fikih, berbeda dengan Hanafiyah. Pendapat yang mewajibkan adalah pendapat pilihan syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah sebagaimana yang ada dalam ‘As-Syarkhu Al-Mumti’, (6/14). Untuk tambahan faedah silahkan melihat jawaban soal no. 75307 .

Wallahu’alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam