Sabtu 20 Jumadits Tsani 1446 - 21 Desember 2024
Indonesian

Sifat Bersuci Dari Madzi

Pertanyaan

Apakah sah shalatnya jika tidak mencuci dua pelirnya  karena madzi ? Saya pernah mendengar bahwa pendapat  Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali adalah tidak mengharuskan bersuci dua buah pelirnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Madzi adalah termasuk sesuatu yang najis (tidak suci) Yang harus dibersihkan.

Ibnu Abdul-Barr rahimahullah berkata: “tentang Madzi yang biasa difahami secara umum menurut  ijma’ ulama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam mengenai kewajiban berwudhu dengannya, dan kewajiban mencucinya karena najisnya. “Al-Tamheed” (21/207).

Jika keluar madzi dan sebagian mengenai badan maka tempat yang terkena harus dicuci, Barangsiapa yang shalat dan mengetahui ada madzi pada tubuhnya lalu dengan sengaja tidak mencucinya maka Sholatnya tidak sah.

Untuk hukum shalat dalam keadaan badan atau pakaian tidak suci, lihat jawab Soal No: ( 12720 ) .

Kedua:

Jika madzi mengenai dua pelirnya  maka harus dicuci untuk menghilangkan kotoran najis, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Namun jika madziy tidak mengenai kedua buah pelirnya dan keluarnya tidak melebihi titik keluarnya. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat; Apakah cukup dengan membasuh tempat keluarnya dari dzakar tersebut? Atau haruskah membasuh seluruhnya (kemaluan dan kedua biji kemaluan) ?

Menurut  madzhab  Imam Ahmad : harus membersihkan kemaluan dan kedua buah pelir semuanya.

Al-Mardawi rahimahullah berkata: Menurut pendapat yang mengatakan bahwa madzi termasuk najis maka harus dibersihkan kemaluan dan kedua buah pelirnya ketika keluar harus dibersihkan, ini menurut pendapat mazhab yang benar. Dikutip dari “Al-Insaaf (2/328-329)”.

Dalilnya adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis sahihaini dari Ali radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Muhammad Sallahu’alaihi wa sallam memerintahkan membasuh dzakar, dan yang dimaksud adalah seluruh buah dzakar. Disebutkan dalam selain riwayat sahihaini dan lainya seperti musnad Ahmad perintah  membasuh dua buah pelirnya (dua buah kemaluannya).

Dari  Ali radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Aku adalah seorang laki-laki yang banyak mengeluarkan madzi. Dan aku malu untuk bertanya kepada Rasulullah Sallahu’alaihi wa sallam karena kedudukan putri beliau. Aku pun menyuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam, dan beliau menjawab: hendaklah dia membasuh zakarnya (kemaluan) dan berwudhu,.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (269)  dan   Muslim (303).

Kata-kata tersebut dilihat dari dzahirnya berarti membasuh seluruh dzakar, hanya saja mayoritas ulama mengatakan: Yang dimaksud dengan “dzakar” di sini adalah tempat keluarnya cairan madzi, bukan seluruh dzakar. Mereka beralasan dengan qiyas pada semua jenis najis dimana hukumnya tidak harus membasuh kecuali tempat yang terkena najis saja (tidak seluruhnya).

Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah, berkata: “Mereka berbeda pendapat, apakah harus  dibasuh seluruh dzakarnya, atau hanya tempat najisnya saja? Mayoritas ulama berpendapat bahwa itu hanya sebatas tempat najis saja. ”Ahkam al-Ahkam” (1/ 74).

Al-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang diwajibkan darinya hanyalah tempat najis saja. Ini adalah pendapat kami dan mayoritas ulama. ”Al-Majmu’” (2/144).

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para ulama berbeda pendapat mengenai makna perintah membasuh dzakar dari madzi: Apakah yang dimaksud dengan membasuh semua yang menempel pada dzakar seperti pada air seni, atau harus membasuh seluruh dzakar ? Ada dua pendapat, yaitu riwayat Malik dan Imam Ahmad. “Fath al-Bari” (1/304).

Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah berkata: “Jumhur ulama tidak melihat kata dzakar berarti seluruhnya dilihat dari maknanya, karena yang harus dicuci adalah tempat keluarnya (bagian luar), dan itu berarti  cukup hanya pada tempat keluarnya (madzi).” Ahkam Al-Ahkam ” (1/74).

Abu Jaafar al-Tahawi rahimahullah berkata: “jika diperhatikan, kami berpendapat bahwa keluarnya madzi adalah termasuk hadas, jadi kami ingin melihat hukum keluarnya hadas, apa yang wajib dilakukan ?

Oleh karena itu, apabila dikeluarkan maka wajib membersihkan apa pun yang menempel pada tubuh, dan tidak wajib membasuh selainnya kecuali bersuci untuk shalat. Begitu pula dengan darah yang keluar dari mana pun, menurut keterangan orang-orang yang menganggap hal itu sebagai hadas. Jika dilihat seperti itu, maka keluarnya madzi adalah hadas, dan tidak perlu dibasuh selain pada bagian badan yang terkena madzi, kecuali bersuci untuk shalat. Ini adalah pendapat Abi hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Rahimahumullah.”syarh al-maani Al-Aatsar”(1/48).

Kelompok yang berpendapat madzi adalah najis mengatakan  bahwa tidak dilarang  membasuh lebih dari tempat keluarnya, sabagaimana analogi dalam hukum syariat, yaitu kewajiban membasuh seluruh badan karena keluar mani, Dan mereka menambahkan  bahwa membasuh  kemaluan dan kedua biji kemaluan akan menghentikan keluarnya air mani.

Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: sebab keluarnya karena syahwat, maka dibolehkan harus mencucinya lebih dari yang seharusnya seperti  air mani, karena kedua biji kemaluan itu adalah wadahnya, maka mencucinya akan menghentikan dan menghilangkan bekasnya. “Syarh al-Umdah” ( 1/103).

Imam Ahmad meriwayatkan dalam “Al-Musnad” (2/293), dan Abu Dawud (208) dari Hisyam bin Urwa, dari Urwa: “Ali bin Abi Thalib berkata kepada Al-Miqdad dan menyebutkan sesuatu yang mirip dengan ini: Dia berkata: Al-Miqdad bertanya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, dan  bersabda: “supaya membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan.”

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam “Al-Talkhis Al-Habir” (1/117): “Diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui Urwa, dari Ali dan dikatakan: (untuk membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan). Urwa tidak mendengarnya dari Ali, tetapi Abu Awanah meriwayatkannya dalam Shahihnya. dari hadits Ubaidah dari Ali, dengan tambahan yang  sanadnya tidak dipermasalahkan).

Al-San’ani berkata dalam “Subul al-Salam” (1/199): “dan jika itu sahih, maka tidak ada alasan  untuk mengambil pendapatnya.”

Abu Dawud meriwayatkan (211) dari Al-Alaa bin Al-Harits, dari Haram bin Hakim, dari pamannya Abdullah bin Saad Al-Anshari berkata: “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang apa-apa yang mewajibkan mandi, dan tentang air yang keluar setelah keluarnya air (mani)” . Beliau bersabda, "Itu adalah madzi, dan setiap pria mengeluarkan madzi. Karena itu cukuplah kamu membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluanmu, lalu berwudhulah sebagaimana kamu berwudhu untuk shalat."   (1/207) Hal itu diperkuat oleh Syekh Al-Albani rahimahullah dalam “Sahih Sunan Abi Dawud” (1/381).

Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Yang wajib mengenai madzi adalah membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan.” Fatawa al-Sheikh Ibnu Baz” (17/58)

Para ulama Majelis Tetap Penerbit Fatwa mengatakan: “... Adapun madzi itu termasuk najis, maka jika madzi itu keluar darimu, maka wajib membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan, dan memercikkan air pada  pakaian ataupun badan yang terkena madzi”, (karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Ali untuk membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan, lalu berwudhu, dan beliau memerintahkan untuk memercikkan air pada pakaian yeng terkena madzi tersebut).

Wabillahit taufiq, shalawat dan saam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya. “Al-Lajnah Ad-Daimha Lil Bukhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.

Abdullah bin Qaud, Abdullah bin Ghadyan, Abdul Razzaq Afifi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.” Fatawa al-Lajnah al-Daa’imah” (5/382).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

Pendapat manakah yang paling benar mengenai membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan ketika keluar madzi ?

Beliau menjawab: “pendapat yang benar adalah wajib, dan didalam (membasuh kemaluan) ada manfaat kesehatan dimana membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan bisa menghentikan madzi”, “Komentar Syekh Ibnu Utsaimin tentang Al- Kafi.”

Pendapat yang paling benar (rajih) adalah wajibnya membasuh kemaluan dan kedua biji kemaluan untuk mencegah keluarnya madzi berdasarkan kesahihan hadits tentang perintah tersebut (membasuh kemaluan).

Adapun keabsahan shalat, dalam ijtihad seperti itu tidak ada salahnya orang yang menganut salah satu dari kedua pendapat tersebut selama ia meyakini pendapat tersebut benar atau meniru para imam yang mengatakan demikian.

Lihat jawab soal No: ( 180032 ) .

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam