Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Kema’shuman Para Nabi

Pertanyaan

Saya ingin bertanya tentang akidah. Apakah kepercayaan (keimanan) bahwa para nabi melakukan dosa dan mereka tidaklah ma’shum termasuk ke dalam akidah kita?

Ringkasan Jawaban

Para Nabi adalah ma’shum dalam menyampaikan risalah Allah Tabaraka wa Ta’ala. Mereka tidak menyembunyikan satupun wahyu yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka. Mereka juga tidak menambahkan sesuatu pada wahyu itu yang berasal dari diri mereka sendiri. Adapun terkait para Nabi seperti manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan, maka dalam hal ini ada beberapa hal. 1. Tidak ada kesalahan akibat munculnya dosa besar dari mereka. 2. Hal-hal yang tidak berkaitan dengan penyampaian risalah dan wahyu. 3. Kesalahan pada sebagian masalah duniawi karena tidak sengaja. Lihatlah rinciannya pada jawaban yang panjang berikut ini.

Alhamdulillah.

Kema’shuman Para Nabi

Para Nabi adalah manusia-manusia pilihan. Mereka adalah makhluk Allah yang paling mulia. Mereka telah dipilih oleh Allah Ta’ala untuk menyampaikan dakwah La Ilaha Illa Allah. Allah Ta’ala telah menjadikan mereka sebagai perantara antara diri-Nya dengan makhluk-Nya dalam menyampaikan syariat. Mereka diperintahkan untuk menyampaikan ajaran dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

أولئك الذين آتيناهم الكتاب والحكم والنبوة فإن يكفر بها هؤلاء فقد وكلنا بها قوما ليسوا بها بكافرين

الأنعام/89

Mereka itulah orang-orang yang telah Kami anugerahi kitab, hikmah, dan kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya, Kami akan menyerahkannya kepada kaum yang tidak mengingkarinya.(QS. Al-An’am : 89).

Tugas para Nabi adalah menyampaikan ajaran dari Allah Ta’ala, meskipun mereka manusia biasa. Oleh karenanya, dalam masalah terkait kema’shuman mereka ini ada dua hal :

  • Kema’shuman dalam menyampaikan agama.
  • Kema’shuman dari kesalahan manusiawi.

Kema’shuman Para Nabi Dalam Menyampaikan Agama

Adapun yang berkaitan dengan kema’shuman para Nabi dalam menyampaikan agama, maka sesungguhnya para Nabi ini ma’shum dalam menyampaikan ajaran dari Allah Ta’ala. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu yang Allah telah wahyukan kepada mereka. Dan mereka tidak menambahkan sesuatu pada wahyu itu dari diri mereka sendiri. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

يأيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس

المائدة /67،

Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia.” (QS. Al-Ma’idah : 67).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

ولو تقول علينا بعض الأقاويل * لأخذنا منه باليمين * ثم لقطعنا منه الوتين * فما منكم من أحد عنه حاجزين

الحاقة /47 - 44

Sekiranya dia (Nabi Muhammad) mengada-adakan sebagian saja perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami benar-benar menyiksanya dengan penuh kekuatan. Kemudian, Kami benar-benar memotong urat nadinya. Maka, tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) darinya (pemotongan urat nadi itu).(QS. Al-Haqqah : 44-47).

Dan Allah Ta’ala berfirman,

وما هو على الغيب بضنين

التكوير /24

Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. (QS. At-Takwir : 24).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di Rahimahullah berkata di dalam menafsiri ayat ini,

“Dan tidaklah beliau (Nabi) kikir dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadanya, menyembunyikan sebagiannya, bahkan beliau orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan penduduk bumi, yang telah menyampaikan risalah Tuhannya, dengan penyampaian yang jelas, dan tidak kikir sedikitpun, tidak kepada orang kaya, fakir, atasan, bawahan, laki-laki, wanita, orang perkotaan, dan tidak juga kepada orang pedesaan. Oleh karenanya, Allah telah mengutusnya pada umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang tidak berpengetahuan. Lalu beliau tidak meninggal dunia, sebelum mereka berubah menjadi ulama Rabbani. Merekalah tujuan untuk mencari ilmu.”

Dalam menyampaikan agama dan syariat Tuhan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak salah sama sekali, baik kesalahan besar atau kecil, bahkan beliau selalu Ma’shum (berada dalam penjagaan) dari Allah Ta’ala.

Yang terhormat Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah berkata dalam Fatawa Ibnu Baz, 6/371, “Umat Islam seluruhnya telah melakukan konsensus (Ijma) bahwa para Nabi Alaihimus Salam, terutama Nabi Muhammad ShallallahuAlaihi wa Sallam, mereka semua ma’shum dari kesalahan dalam apa saja yang mereka sampaikan dari Allah Azza wa Jalla. Allah Ta’ala berfirman,

والنجم إذا هوى * ما ضل صاحبكم وما غوى * وما ينطق عن الهوى * إن هو إلا وحي يوحى * علمه شديد القوى

(النجم /1-5)،

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm : 1-5).

Maka Nabi kita, Muhammad ShallallahuAlaihi wa Sallam adalah ma’shum pada setiap apa yang disampaikan dari Allah, baik dalam ucapan, perbuatan dan ketetapan beliau. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama.”

Umat Islam sepakat bahwa semua rasul adalah ma’shum dalam mengemban risalah. Para rasul tidak melupakan sesuatu pun yang telah Allah wahyukan kepada mereka, kecuali sesuatu yang telah dihapus. Allah Azza wa Jalla telah memberi jaminan pada rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk membacakan wahyunya, sehingga beliau tidak lupa, kecuali sesuatu yang Allah inginkan untuk melupakannya. Allah juga telah menjamin akan menghimpun Al-Qur’an di dalam dada beliau. Allah Ta’ala berfirman,

سنقرئك فلا ‏تنسى إلا ما شاء الله

الأعلى /6-7

Kami akan membacakan (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi. (QS. Al-A’la : 6-7).

Dan firman Allah yang lain :

إن علينا جمعه وقرآنه * فإذا قرأناه فاتبع ‏قرآنه

 القيامة /17-18.

Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (QS. Al-Qiyamah : 17-18).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa, 7/18, “Sesungguhnya ayat-ayat yang menunjukkan atas kenabian para nabi menunjukkan bahwa mereka semuanya ma’shum terhadap apa yang mereka kabarkan dari Allah Azza wa Jalla, maka tidaklah berita dari mereka kecuali mengandung kebenaran. Inilah makna kenabian. Ia mengandung makna bahwa Allah memberitakan perkara gaib kepada nabi dan nabi pun memberitakan perkara gaib kepada manusia. Rasul ini diperintahkan untuk mengajak semua makhluk dan menyampaikan kepada mereka risalah Tuhannya.”

Kema’shuman Para Nabi dari Kesalahan Manusiawi.

Berkaitan dengan para nabi seperti manusia yang kadang muncul kesalahan pada diri mereka, maka dalam hal ini ada tiga kondisi :  

  1. Tidak ada kesalahan dosa besar pada diri mereka.

Tidak terjadi dosa-dosa besar pada diri para Nabi selamanya. Mereka semuanya ma’shum dari dosa-dosa besar, baik sebelum atau sesudah mereka diutus.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa, 4/319, “Sesungguhnya pendapat yang mengatakan bahwa para nabi ini ma’shum dari dosa-dosa besar, tapi tidak pada dosa-dosa kecil, merupakan pendapat kebanyakan para ulama Islam, dan semua kelompok..., dan pendapat ini juga merupakan pendapat kebanyakan para ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fikih. Bahkan tidak terdapat riwayat dari para ulama salaf, para imam, para sahabat, para tabi’in, dan para pengikut tabi’in, kecuali menyetujui pendapat ini.”

  1. Perkara-perkara yang tidak berkaitan dengan menyampaikan risalah dan wahyu.

Dan adapun dosa-dosa kecil, maka bisa saja terjadi kepada mereka atau sebagian dari mereka. Oleh karenanya, kebanyakan para ulama berpendapat bahwa mereka tidak ma’shum dari dosa kecil. Jika hal itu terjadi pada mereka, maka mereka tidak berlarut-larut di dalamnya, akan tetapi Allah Ta’ala akan memperingatkan mereka, lalu mereka akan segera bertaubat dari dosa kecil itu.

Dalil atas terjadinya dosa-dosa kecil dari mereka, dan mereka tidak berlarut-larut di dalamnya :

  • Firman Allah Ta’ala tentang nabi Adam ‘Alaihis Salam :

وعصى آدم ربه فغوى * ثم اجتباه ربه فتاب عليه وهدى

طه / ‏‏121-122

Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. (QS. Thaha : 121-122).

Hal ini menjadi dalil atas terjadinya kemaksiatan dari Adam Alaihis Salam dan ia tidak bertahan di dalamnya, kemudian ia bertaubat kepada Allah dari dosa tersebut.  

  • Firman Allah Ta’ala :

قال هذا من عمل الشيطان إنه عدوٌ مضلٌ مبين* قال رب إني ظلمت نفسي فاغفر لي فغفر له إنه هو الغفور الرحيم

القصص/15،16

Musa berkata, Ini adalah perbuatan setan sesungguhnya setan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya).’ Musa berdoa Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku. Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Qashash : 15-16).

Musa Alaihis Salam telah mengakui kesalahannya dan memohon ampunan kepada Allah setelah membunuh seorang Qibti, dan Allah pun telah mengampuninya.

  • Firman Allah Ta’ala :

فاستغفر ربه وخر راكعاً وأناب * فغفرنا له ذلك وإن له عندنا لزلفى وحسن مآب

‏‏ص/ 25،24

Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (QS. Shad : 24-25).

Kemakstiatan Daud Alaihis Salam adalah terburu-buru menjatuhkan putusan hukum, sebelum mendengar keterangan dari pihak kedua.

Dan inilah nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau telah diperingatkan oleh Allah Suhanahu wa Ta’ala pada beberapa hal, yang telah disebutkan oleh Al-Qur’an, di antaranya adalah :

  • Firman Allah Ta’ala :

يا أيها النبي لم تحرم ما أحل الله لك تبتغي ‏مرضات أزواجك والله غفور رحيم

التحريم /1

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. At-Tahrim : 1).

Hal ini terjadi pada kisah yang terkenal bersama sebagian istri beliau.

  • Begitu juga celaan Allah Ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terkait dengan tawanan perang Badar. Imam Muslim, no. 4588, telah meriwatkan di dalam Shahihnya :

"قال ابن عباس: فلما أسروا الأسارى قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لأبي بكر وعمر - رضي الله عنهما -: ما ترون في هؤلاء الأسارى؟ فقال أبو بكر: يا نبي الله! هم بنو العم والعشيرة، أرى أن تأخذ منهم فدية، فتكون لنا قوة على الكفار، فعسى الله أن يهديهم للإسلام، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: ما ترى يا ابن الخطاب؟" قال: قلت لا، والله يا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- ما أرى الذي رأى أبو بكر، ولكني أرى أن تمكنا فنضرب أعناقهم، فتمكن عليا من عقيل فيضرب عنقه، وتمكني من فلان - نسيبا لعمر- فأضرب عنقه، فإن هؤلاء أئمة الكفر وصناديدها، فهوي رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ما قال أبو بكر، ولم يهو ما قلت، فلما كان من الغد جئت فإذا رسول الله - صلى الله عليه وسلم - وأبو بكر قاعدين وهما يبكيان، قلت: يا رسول الله! أخبرني من أي شيء تبكي أنت وصاحبك؟ فإن وجدت بكاء بكيت، وإن لم أجد بكاء تباكيت لبكائكما، فقال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: أبكي للذي عَرَضَ عليّ أصحابُك من أخذهم الفداء، لقد عُرِض عليّ عذابُهم أدنى من هذه الشجرة (شجرة قريبة من نبي الله) - صلى الله عليه وسلم - وأنزل الله عز وجل: ما كان لنبي أن يكون له أسرى حتى يثخن في الأرض إلى قوله: فكلوا مما غنمتم حلالا طيبا الأنفال/ 67–69، فأحل الله الغنيمة لهم".

Ibnu Abbas berkata, “Tatkala tawanan telah mereka tahan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya kepada Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, ‘Bagaimana pendapat kalian mengenai tawanan ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Wahai Nabi Allah, mereka itu adalah anak-anak paman dan masih famili kita. Aku berpendapat, sebaiknya kita pungut tebusan dari mereka. Dengan begitu, kita akan menjadi kuat terhadap orang-orang kafir. Semoga Allah menunjuki mereka supaya masuk Islam.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Ibnul Khattab?’ Aku menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak setuju dengan pendapat Abu Bakar. Menurutku, berilah aku kesempatan untuk memenggal leher mereka. Berilah kesempatan kepada Ali supaya memenggal leher 'Uqail, dan berilah kesempatan kepadaku supaya memenggal leher si Fulan -maksudnya saudaranya sendiri-, karena mereka adalah para pemimpin kaum kafir dan pembesar-pembesar mereka.’ Akan tetapi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menyetujui pendapat Abu Bakar dan tidak menyutujui pendapatku. Di keesokan harinya, aku menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, aku dapati beliau sedang duduk menangis berdua dengan Abu Bakar, lalu aku berkata, ‘Ceritakanlah kepadaku, apa sebabnya Anda berdua menangis? Jika bisa menangis, maka aku akan menangis. Jika tidak bisa, maka aku akan pura-pura menangis untuk kalian.’ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Aku menangis karena tebusan yang dipungut sahabatmu terhadap para tawanan itu, lebih murah daripada harga kayu ini.’ (yaitu kayu yang berada didekat Nabi Allah). Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, ‘Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai seorang tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi ini… hingga firman-Nya, Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik,’ (QS. Al-Anfal : 67-69). Karena itulah Allah menghalalkan harta rampasan buat mereka.”

Maka Allah telah menghalalkan ghanimah (harta rampasan perang) kepada mereka.

Dari hadits ini menjadi jelas bahwa pilihan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk memaafkan para tawanan, merupakan perkara ijtihad dari beliau setelah bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan saat itu tidak ada nash dari Allah Ta’ala kepada beliau.

  • Firman Allah Ta’ala :

عبس وتولى * أن جاءه الأعمى

عبس /1-2

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya.” (QS. Abasa : 1-2).

Dan inilah kisah sahabat yang mulia, Abdullah bin Ummi Maktum, yang terkenal bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Allah telah memberikan celaan pada beliau.

Syaikhul Islam berkata di dalam Majmu’ Al-Fatawa, 4/320 :

“Kebanyakan pendapat yang dikutip dari jumhur ulama menyatakan bahwa mereka (para nabi) tidaklah ma’shum dari melakukan dosa-dosa kecil. Mereka tidaklah berlarut-larut di dalamnya, dan mereka tidak mengatakan bahwa dosa-dosa kecil itu tidak terjadi sama sekali. Salah satu kelompok dari kelompok-kelompok umat ini yang pendapatnya tentang kema’shuman secara mutlak yang pertama kali dikutip, dan yang paling besar pendapatnya adalah kelompok Rafidhah. Mereka mengatakan bahwa kema’shuman para nabi bahkan sampai pada perkara lupa, lalai dan penakwilan.”

Sebagian orang menganggap besar masalah seperti ini, dan mereka mentakwilkan teks-teks Al-Qur’an dan hadits yang menunjukkan masalah ini dan mengubah-ubahnya. Ada dua hal yang mendorong mereka untuk menyatakan pendapat seperti ini :

Pertama, Allah Ta’ala telah menyuruh untuk mengikuti para rasul dan mencontoh mereka. Sedangkan perintah untuk mengikuti para nabi, menuntut semua yang bersumber dari mereka menjadi poin untuk diikuti. Semua perbuatan atau keyakinan dari mereka adalah ketaatan. Dan jika para rasul boleh terjerumus ke dalam kemaksiatan, maka akan terjadi kontradiksi, karena hal itu menuntut bersatunya (dalam maksiat yang terjadi dari diri rasul ini) perintah untuk mengikuti dan mengerjakan apa yang dilakukan rasul tersebut, karena memang kita diperintah untuk mencontohnya, dan larangan untuk menyepakati maksiat yang dilakukan rasul, karena memang ia sebuah kemaksiatan.

Syubhat ini benar pada tempatnya, jika kemaksiatan ini tersembunyi dan tidak tampak karena bercampur dengan ketaatan. Akan tetapi Allah Ta’ala memperingatkan para rasul-Nya dan menjelaskan kepada mereka penyimpangan ini, serta menuntun mereka menuju taubat darinya tanpa ditunda-tunda.

Kedua, bahwasanya dosa-dosa akan meniadakan kesempurnaan dan bahwasanya ia merupakan kekurangan tentu saja benar, jika tidak diimbangi dengan bertaubat. Taubat ini akan menghapus dosa, tidak menafikan kesempurnaan, dan tidak perlu mengarahkan celaan kepada pelakunya, bahkan seorang hamba pada banyak kesempatan, setelah ia bertaubat berubah menjadi lebih baik dari pada sebelum terjadinya dosa tersebut. Dan diketahui bahwa tidaklah terjadi kesalahan pada seorang nabi, kecuali beliau segera bertaubat dan beristighfar. Para nabi tidak berlarut-larut dalam dosa, dan tidak menunda taubat. Allah telah menjaga mereka dari hal itu. Setelah mereka bertaubat, mereka lebih sempurna dari pada sebelumnya.

3. Kesalahan Pada Sebagian Urusan Duniawi Tanpa Sengaja.

Adapun kesalahan pada urusan duniawi, maka dibolehkan ada kesalahan kepada mereka padahal akal pikiran mereka sempurna, pendapat mereka tepat dan mata batin mereka kuat. Hal itu telah terjadi pada sebagian nabi, di antaranya adalah nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini terjadi pada semua lini kehidupan yang bermacam-macam, seperti kedokteran, pertanian, dan lain sebagainya.

Imam Muslim, no. 6127, telah meriwayatkan dalam Shahihnya,

عن رافع بن خديج -رضي الله عنه- قَالَ: قَدِمَ نَبِيّ اللّهِ - صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ، وَهُمْ يَأْبُرُونَ النّخْلَ. يَقُولُونَ يُلَقّحُونَ النّخْلَ. فَقَالَ: مَا تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا: كُنّا نَصْنَعُهُ. قَالَ: لَعَلّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْراً فَتَرَكُوهُ. فَنَفَضَتْ أَوْ قال: فَنَقَصَتْ. قَالَ: فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: إِنّمَا أَنَا بَشَرٌ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيي، فَإِنّمَا أَنَا بَشَرٌ، وبهذا يكون قد علم أن أنبياء الله تعالى معصومون عن الخطأ في الوحي، ولنحذر ممن يطعنون في تبليغ الرسول صلى الله عليه وسلم، ويشككون في تشريعاته ويقولون هي اجتهادات شخصية من عنده حاشاه صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى: وما ينطق عن الهوى * إن هو إلا وحي يوحى النجم /3-4.

Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, para penduduk Madinah sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah. Hal itu biasa mereka sebut dengan mengawinkan pohon kurma. Maka beliaupun bertanya, ‘Apa yang sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab, ‘Dari dulu kami selalu melakukan hal ini.’ Beliau berkata, Seandainya kalian tidak melakukannya, niscaya hal itu lebih baik. Maka merekapun meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan berguguran. Lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun berkata, Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama) kalian, maka ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa.’”

Dengan demikian, diketahui bahwa para nabi Allah ini ma’shum dari kesalahan dalam hal wahyu. Hendaklah kita berhati-hati kepada orang yang mencela penyampaian risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan meragukan syariatnya. Mereka mengatakan bahwasanya ini adalah ijtihad pribadi dari beliau. Padahal beliau jauh sikap seperti itu.

Allah Ta’ala berfirman,  

وما ينطق عن الهوى * إن هو إلا وحي يوحى

النجم /3-4.

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm : 3-4).

Al-Lajnah Ad-Daimah pernah ditanya, “Apakah para nabi dan rasul melakukan kesalahan?” Mereka menjawab, “Ya, mereka, para Nabi melakukan kesalahan, akan tetapi Allah Ta’ala tidak menetapkan mereka pada kesalahan mereka, akan tetapi Dia (Allah) menjelaskan kesalahan kepada mereka, sebagai bentuk kasih sayang-Nya kepada mereka dan kepada umat mereka, dan mengampuni ketergelinciran mereka, menerima taubat mereka, sebagai bentuk karunia dan kasih sayang dari-Nya. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Hal itu nampak jelas ketika kita mencari dan meneliti ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait masalah ini.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3/194).

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam