Selasa 9 Ramadhan 1445 - 19 Maret 2024
Indonesian

Hukum Puasa Bagi Wanita Menyusui dan Hamil

Pertanyaan

Apakah isteri saya yang menyusui anak kami yang berusia sepuluh bulan dibolehkan berbuka di bulan Ramadan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Wanita menyusui, begitu pula wanita hami, ada dua kondisi;

Pertama, jika tidak ada pengaruh baginya bepuasa dan tidak kesulitan baginya untuk berpuasa serta tidak dikhawatirkan terhadap anaknya, maka wajib baginya berpuasa, dan dia tidak boleh berbuka.

Kedua,

Dia khawatir terhadap dirinya atau anaknya jika berpuasa, atau dirinya akan sangat payah. Maka dia boleh berbuka dan mengqadha hari-hari yang dia berbuka.

Dalam kondisi seperti ini, lebih utama baginya jika berbuka dan makruh berpuasa. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa jika dia khawatir terhadap anaknya, wajib baginya berbuka dan haram baginya berpuasa.

Al-Mardawai berkata dalam Al-Inshaf (7/382)

Dimakruhkan berpuasa dalam kondisi seperti ini. Ibnu Aqil menyebutkan, 'Jika wanita hamil atau menyusui khawatir terhadap kehamilannya dan anaknya saat dia menyusui, maka diharamkan baginya berpuasa, jika tidak khawatir, maka tidak boleh baginya berbuka."

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta'ala ditanya dalam Fatawa Shiyam (hal. 161)

"Jika seorang wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa tanpa uzur, sementara dirinya kuat dan giat dan tidak ada pengaruhnya dengan berpuasa, apah hukumnya?"

Beliau menjawab,

"Tidak dibolehkan bagi wanita hamil dan menyusui untuk berbuka di siang hari bulan Ramadan kecuali ada uzur. Jika keduanya berbuka karena uzur, maka keduanya harus mengqadha puasanya. Berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS. Al-Baqarah: 184). Keduanya (wanita hamil dan menyusui) dapat dianggap orang yang sakit. Jika alasannya karena khawatir terhadap anaknya, maka dia harus mengqadha dan selain itu menurut sebagian ulama memberi makan satu orang miskin untuk satu hari berupa gandum, atau beras atau korma atau apa saja berupa makanan pokok. Sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya hanya wajib qadha saja, apapun kondisiya. Karena perintah memberi makan tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunah. Hukum asal adalah bahwa seseorang terbebas dari setiap beban kecuali jika terdapat nash yang memerintahkannya. Dan ini merupakan pendapat Abu Hanifa. Ini merupakan pendapat yang kuat."

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah Ta'ala juga ditanya dalam Fatawa As-Shiyam (hal. 162) tentang wanita hamil jika dia khawatir terhadap dirinya atau khawatir terhadap anaknya. Jika dia berbuka, apa hukumnya?

Beliau menjawab,

"Jawaban kami terhadap pertanyaan ini adalah bahwa kondisi wanita hamil itu ada dua;

Pertama, dia giat dan kuat, tidak merasa payah dan tidak ada pengaruhnya terhadap janin. Maka wanita seperti ini wajib baginya berpuasa. Karena tidak ada uzur baginya untuk meninggalkan berpuasa.

Kedua, kondisi kehamilannya membuat dia tidak kuasa menanggung puasa. Apakah karena hamilnya yang berat, atau karena fisiknya yang lemah, atau sebab selain itu. Dalam kondisi ini sebaiknya dia berbuka, khususnya jika bahayanya dikhawatirkan menimpa sang janin. Ketika itu, berbuka baginya dapat menjadi wajib.

Jika dia berbuka, maka sebagaimana lainnya yang berbuka karena uzur, wajib baginya mengqadha puasanya kapan saja jika sebabnya telah sirna. Jika dia melahirkan, maka wajib baginya mengqadha puasanya setelah suci dari nifas. Akan tetapi, kadang uzur karena kehamilan selesai, datang uzur baru lagi, yaitu menyusui. Karena wanita menyusui, kadang butuh makan dan minum khususnya pada musim panas yang siang harinya panjang dan panas yang terik. Boleh jadi dia butuh untuk berbuka agar dapat memberi makan anaknya dengan ASI. Dalam kondisi seperti ini juga kita katakan kepadanya, 'Berbukalah, jika sudah hilang uzurnya, maka anda hendaknya mengqadha puasa yang tertinggal."

Syekh Ibnu Baz dalam Majmu Al-Fatawa (15224)

Adapun wanita hamil dan menyusui terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaih wa sallam dari hadits Anas bin Malik Al-Ka'by dari Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih bahwa beliau memberikan keringanan untuk berbuka bagi keduanya dan menjadikan mereka seperti orang yang sedang safar. Para ulama menyebutkan bahwa keduanya tidak boleh berbuka kecuali jika dirinya merasa berat untuk berpuasa, sebagaimana halnya orang sakit, atau jika mereka khawatir terhadap anak mereka. Wallahua'lam. "

Disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (10/226)

"Adapun wanita hamil, maka wajib baginya berpuasa saat kehamilannya kecuali jika dia khawatir apabila berpuasa akan berbahaya bagi dirinya atau janinnya. Maka dia diberikan keringanan untuk berbuka dan mengqadhanya setelah dia melahirkan dan selesai dari nifas." .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam