Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Menyuap Dalam Rangka Mengambil Haknya

Pertanyaan

Saya bekerja di sebagian instansi pemerintahan, kalau pekerja itu tidak mengambil suap maka sebagian pekerjaanku terbengkalai. Apakah saya dibolehkan memberikan suap kepadanya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Suap termasuk salah satu dosa besar sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad, (6791) dan Abu Dawud, (3580) dari Abdulah bin Amr radhiallahu’anhuma berkata:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي (صححه الألباني في إرواء الغليل، رقم 2621)

“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap.” (Dishahihkan oleh Albany dalam kitab Irawaul Ghalil, no. 2621)

Kata ‘Ar-Rosyi’ adalah orang yang menyuap, sedangkan kata ‘Al-Murtasyi’ adalah orang yang mengambil suap (yang disuap).

Jika anda dapat menyelesaikan urusan anda tanpa menyuap, maka haram bagi anda untuk menyuapnya.

Kedua:

Kalau pemilik kebenaran itu tidak dapat mengambil haknya kecuali dengan memberikan suap, maka para ulama rahimahumullah menegaskan dengan memperbolehkan memberi suap sehingga diharamkan bagi orang yang mengambil suap bukan kepada orang yang memberinya. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, (10739) dari Umar bin Khottob radhillahu’anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُنِي الْمَسْأَلَةَ فَأُعْطِيهَا إِيَّاهُ فَيَخْرُجُ بِهَا مُتَأَبِّطُهَا ، وَمَا هِيَ لَهُمْ إِلا نَارٌ ، قَالَ عُمَرُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ؟ قَالَ : إِنَّهُمْ يَأْبَوْنَ إِلا أَنْ يَسْأَلُونِي ، وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ (صححه الألباني في صحيح الترغيب، رقم 844)

“Sesungguhnya seseorang meminta sesuatu (sogokan) kepadaku, maka aku berikan, dia keluar membawanya di bawah ketiak. Hal itu tiada lain kecuali api. Umar berkata, ‘Wahai Rasulullah, kenapa anda memberikan kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Mereka enggan meminta kecuali kepadaku. Sementara Allah menjauhkanku dari kebakhilan.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib, no. 844).

Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberikan mereka uang, padahal haram bagi mereka sampai beliau membela untuk dirinya dari celaan sifat pelit (bakhil).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,”Kalau ada yang memberikan hadiah kepadanya agar menahan dari kezaliman kepadanya atau agar mendapatkan hak yang wajib baginya, maka hadiah in termasuk haram bagi orang yang mengambilnya dan dibolehkan bagi yang memberinya. Sebagaimana dahulu Nabi sallallahu’alahi wa sallam bersabda:

إني لأعطي أحدهم العطية ...الحديث

“Sungguh saya telah membari kepada salah satu diantara mereka suatu pemberian…..” (alhadits. Dari Al-Fatawa Al-Kubra, 4/174)

Beliau juga mengatakan, “Para ulama mengatakan, “Suap dibolehkan bagi pekerja untuk menolak kezaliman bukan untuk menolak kebenaran. Dan suapnya itu haram untuk pihak kedua (maksudnya menerima suap itu diharamkan).

Misalnya jika seseorang memberikan gandum atau selainnya agar dia tidak difitnah dengan dusta atau dijatuhkan kehormatannya. Maka pemberian (sogokan) untuk hal itu dibolehkan sedangkan menerima sogokan dengan imbalan tidak menzaliminya, maka itu haram hukumnya. Karena seharusnya dia meninggalkan kezalimannya (tanpa imbalan).

Maka semua orang yang mengambil harta agar dia tidak berbohong kepada orang membayarnya atau agar tidak berbuat zalim kepada mereka, maka hal itu termasuk perbuatan tercela dan diharamkan. Karena kezaliman dan berbohong itu diharamkan atasnya, maka seharusnya dia meninggalkannya tanpa ada imbalan yang diambil dari orang yang dizaliminya. Kalau dia meninggalkannya karena ada imbalan maka hal itu termasuk haram” (Majmu’ Fatawa, 29/252).

Beliau juga mengatakan, (31/278), “Para ulama mengatakan, ‘Sesungguhnya orang yang memberi hadiah kepada pejabat agar mereka melakukan demi kepentingannya sesuatu yang tidak dibolehkan, maka hal itu diharamkan, baik bagi orang yang memberi hadiah maupun orang yang menerima hadiah. Karena termasuk suap yang dikatakan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

“Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.”

Adapun kalau dia memberi hadiah agar menahan kezaliman darinya atau agar diberikan haknya yang wajb, maka hadiah ini diharamkan bagi orang  yang mengambilnya dan dibolehkan bagi orang yang memberikan sebagaimana dahulu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إنِّي لأُعْطِي أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا . قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ فَلِمَ تُعْطِيهِمْ ، قَالَ : يَأْبَوْنَ إلا أَنْ يَسْأَلُونِي ، وَيَأْبَى اللَّهُ لِي الْبُخْلَ

“Sungguh saya memberikan (sesuatu)  kepada salah seorang dari mereka, hakekatnya dia keluar membawa api di ketiaknya. Nabi ditanya, “Wahai Rasulullah kenapa engkau memberikan mereka?” Beliau bersabda, “Mereka memaksa minta dariku sedangkan Allah menolak kebakhilan dari diriku.”

Kondisi seperti itu juga adalah memberikan kepada orang yang berbuat zalim kepada orang. Maka pemberian itu dibolehkan bagi orang yang memberi sementara diharamkan bagi orang yang menerimanya (mengambilnya).

Adapun menerima pemberian atas syafaat (membantu menyelesaikan urusan orang lain ke pihak tertentu), seperti memberikan syafaat kepada penguasa agar dia menghentikan kezaliman terhadapnya atau mendapatkan haknya atau diberikan jabatan yang dia berhak mendapatkannya, atau diterima  dalam jajaran militer yang dia berhak akan hal itu, atau diberikan harta wakaf untuk para fakir atau pembinaan terhadap ulama atau para penghafal Qur’an atau pelaku manasik (haji atau umroh) atau selain dari mereka – dan dia termasuk orang yang layak mendapatkannya, semua syafaat semacam ini dalam rangka menunaikan kewajiban atau menolak sesuatu yang diharamkan, maka seseorang yang memberi syafaat tidak dibolehkan menerima hadiah. Adapun pemberinya dibolehkan jika tujuannya untuk mendapatkan haknya atau menyelamatkan dirinya dari kezaliman. Hal ini yang dinukil dari kalangan ulama salaf dan para imam besar.” (dikutip dengan sedikit diedit)

Taqiyudin As-Subky rahimahullah mengatakan, “Maksud dari suap yang kami sebutkan adalah sesuatu yang diberikan untuk menolak kebenaran atau untuk mendapatkan suatu kebatilan. Jika anda memberikan suap untuk mendapatkan hak, maka haram bagi orang yang mengambilnya, sementara anda yang memberinya dibolehkan jika tidak mampu mendapatkan haknya kecuali dengan cara itu. Tapi kalau dia mampu mendapatkannya tanpa harus menyuap, maka memberi suap tidak dibolehkan.” (Fatawa As-Subky, 1/204).

As-Suyuthi dalam kitab ‘Al-Asybah wan Nazoir, hal. 150  mengatakan, “Kaidah kedua puluh tujuh; ‘Apa yang diharamkan mengambilnya, maka diharamkan untuk memberinya’ seperti riba, hasil prostitusi, hasil perdukunan, suap, upah dari hasil meratapi mayat, dan suara seruling (musik).’

Di antara contoh yang dikecualikan (dari suap yang dilarang) adalah menyuap penguasa untuk mendapatkan hak, membebaskan tawanan (yang ditawan secara zalim), dan memberikan sesuatu kepada orang yang ditakutkan keburukannya.

Al-Hamawi (ulama mazhab Hanafi) dalam kitab ‘Gomzu ‘Uyunil Basoir berkata, “Kaidah keempat belas; ‘Apa yang diharamkan mengambilnya maka diharamkan memberinya’  seperti riba, upah prostitusi, hasil perdukunan, suap, upah dari hasil meratapi mayat, dan suara seruling (musik). Kecuali pada beberapa permasalahan:

  1. Menyuap karena khawatir akan keselamatan harta dan dirinya.

Ini dari sisi orang yang memberi, sementara dari sisi orang yang menerima hukumnya haram. (Dikutip dengan sedikit edit)

Terdapat dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, “Dalam kitab ‘Al-Asybah’ karangan Ibnu Nujaim (ulama mazhab Hanafi), yang semisalnya juga dalam kitab ‘Al-Mantsur’ karangan Az-Zarkasyi (Syafi’i): ‘Apa yang diharamkan mengambilnya, maka diharamkan memberinya’, seperti riba, upah prostitusi, hasil pedukunan, suap kepada hakim kalau disuap agar dia berikan keputusan yang tidak benar. Kecuali jika suap itu untuk menghindari perkara yang dapat menimpa dirinya atau hartanya atau untuk membebaskan tawanan (yang dizalimi) atau kepada orang yang ditakutkan kejahatannya.”

Prof. Wahbah Az-Zuhaily mengatakan, “Kalau suap itu merupakan suatu keharusan dan tidak ada jalan lagi untuk mendapatkan tujuannya, maka dibolehkan menyuap karena terpaksa (darurat), adapun orang yang menerimanya hukumnya diharamkan.”

Kesimpulannya adalah anda dibolehkan menyuap, meskipun diharamkan bagi pegawai yang mengambilnya, dengan dua syarat:

  1. Menyuap dalam rangka mendapatkan hak anda atau menghindari kezaliman terhadap diri anda. Adapun jika anda menyuap dengan tujuan mendapatkan sesuatu yang anda tidak berhak mendapatkannya, maka hal itu termasuk haram dan termasuk dosa besar.
  2. Tidak ada solusi lainnya selain suap untuk mendapatkan hak anda atau untuk menghindari kezaliman yang akan menimpa anda.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam