Alhamdulillah.
Pertama:
Tuhan kita –tabaraka wa ta’ala- Dia adalah Dzat Yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, mempunyai nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang mulia, Dia-lah pemilik uluhiyyah (ketuhanan) seluruhnya, Dia-lah yang berhak disembah dan dicintai karena kesempurnaan dzat-Nya dan keagungan sifat-Nya. Semua hati para ahli ibadah menuhankan-Nya karena keagungan dan kesempurnaan-Nya, dan menjadikan selain-Nya sebagai makhluk; karena Dia (Allah) mempunyai sifat-sifat terpuji dan ketuhanan, inilah yang menjadi makna dari uluhiyyah yang telah Allah ajarkan kepada para Nabi dan para Rasul-Nya. Ini pula yang seharusnya yang difahami oleh semua yang bersaksi bahwa tidak ada Dzat (yang berhak disembah) kecuali Allah –subhanah-. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
الأنبياء/25
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al Anbiya’: 25)
Dia –azza wa jalla- juga berfirman:
وَأَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى . إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْري
طه/13-14
“Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaha: 13-14)
Dia Allah telah memposisikan ibadah menjadi hak prerogatif-Nya –subhanah- dengan uluhiyyah, Dia juga yang berhak dipuji dan persembahkan ibadah kepada-Nya; karena kesempurnaan dzat-Nya dan keagungan sifat-sifat-Nya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Allah –subhanahu wa ta’ala- Dia-lah dzat yang berhak dicintai dan dipersembahkan ibadah kepada-Nya, dan Rasul dicintai karena cinta kepada Allah. Semua hati di dalamnya mengandung tuntutan makna cinta dan taat kepada-Nya, sebagaimana mengandung makna ilmu dan membenarkan-Nya”. (Majmu’ Fatawa: 7/541)
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Firman Allah: “لا إله إلا أنت” di dalamnya mengandung arti penetapan ke-Esaan-Nya dengan uluhiyyah, makna uluhiyyah mengandung makna kesempurnaan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, rahmat-Nya, dan hikmah-Nya. Di dalamnya juga mengandung penetapan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya. Bahwa Ilah adalah yang dituhankan. Dan yang dituhankan adalah yang berhak disembah. Dan yang berhak disembah adalah yang mempunyai sifat-sifat yang menjadikan-Nya berhak untuk sangat dicintai dan sangat ditaati, dan ibadah yang mengandung makna cinta yang dalam dan kehinaan yang sangat di hadapan-Nya. (Majmu’ Fatawa: 10/249)
Dari sini kita mengetahui bahwa yang seharusnya menjadi pendorong utama dalam beribadah adalah apa yang Allah –subhanahu- miliki dari keagungan dan kesempurnaan-Nya, dan ke-Esaannya dalam memiliki sifat uluhiyyah dan rububiyyah. Kemudian yang menjadi motivasi kedua adalah nikmat Allah yang diberikan kepada para hamba-Nya dan kebaikan-Nya kepada mereka; karena semua hati secara alami akan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Asal dari mahabbatullah (cinta kepada Allah) adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) –subhanahu wa ta’ala-, cinta itu mempunyai dua pondasi:
Pondasi Pertama:
Yang dikenal dengan cinta orang secara umum; karena kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya, rasa cinta dalam kategori ini tidak satu pun yang mengingkarinya; karena semua hati secara alami akan mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya dan membenci siapa saja yang berlaku buruk kepadanya. Dan Allah Yang Maha suci adalah Maha Pemberi Nikmat, Maha Berlaku baik kepada para hamba-Nya dengan sebenar-benarnya. Dia-lah Maha Pemberi karunia semua nikmat, meskipun nikmat itu sampai dengan melalui perantara. Dia juga yang memperjalankan para perantara dan menjadi penyebab dari semua sebab terjadi. Akan tetapi cinta model ini pada dasarnya jika muncul dari hati yang tidak terdorong dari rasa cinta kepada Dzat Allah semata, maka seorang hamba pada dasarnya tidak mencintai kecuali dirinya sendiri. Oleh karena itu bagi siapa saja yang mencintai sesuatu karena kebaikan yang dirasakan dari sesuatu tersebut, maka pada dasarnya ia tidak mencintai kecuali dirinya sendiri. Hal ini tidaklah tercela bahkan termasuk terpuji. Orang yang tertahan pada cinta model ini adalah orang yang belum mengetahui dari sisi Allah yang mewajibkannya untuk mencintai-Nya karena kebaikan Allah kepadanya.
Pondasi Kedua:
Mencintai sesuatu yang memang berhak untuk dicintai, inilah cinta orang yang mengetahui hak Allah yang karenanya seharusnya Dia dicintai. Tidaklah satu sisi dari banyak sisi lainnya yang diketahui oleh Allah melalui Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kecuali Dia berhak untuk mendapatkan cinta yang sempurna dari sisi tersebut bahkan semua perbuatan-Nya, karena semua nikmat dari-Nya merupakan karunia, dan semua murka-Nya merupakan keadilan; oleh karena itu Dia berhak untuk dipuji pada setiap keadaan. Dia berhak untuk dipuji dalam kondisi senang maupun dalam kondisi susah. Inilah (cinta) yang tertinggi dan paling sempurna, inilah cinta orang-orang tertentu. Mereka adalah orang-orang yang meminta lezatnya memandang wajah-Nya yang mulia. Mereka merasakan kelezatan dengan mengingat dan bermunajat kepada-Nya, maka bagi mereka akan lebih berharga dari pada air bagi seekor ikan, sampai-sampai jika mereka terputus dari berdzikir kepada-Nya mereka merasakan sakit yang tiada tara, mereka adalah orang-orang pemenang, sebagaimana yang telah diriwayatkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسِيرُ فِي طَرِيقِ مَكَّةَ فَمَرَّ عَلَى جَبَلٍ يُقَالُ لَهُ جُمْدَانُ فَقَالَ سِيرُوا هَذَا جُمْدَانُ سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ قَالُوا وَمَا الْمُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ
“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedang berjalan di sebuah jalan di Makkah, seraya melewati sebuah gunung yang dikenal dengan gunung Jumdan, maka beliau bersabda: “Ayo bersegeralah kalian !!, ini adalah Jumdan. Orang-orang ‘mufarridun’ telah mendahului”. Mereka bertanya: “Siapa mereka para ‘mufarridun’ wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berdzikir kepada Allah dengan jumlah yang banyak baik dari laki-laki maupun perempuan”.
Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan:
قَالُوا وَمَا الْمُفْرِدُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : الْمُسْتَهْتَرُونَ فِي ذِكْرِ اللَّهِ ، يَضَعُ الذِّكْرُ عَنْهُمْ أَثْقَالَهُمْ ، فَيَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِفَافًا
رواه الترمذي وقال : حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ
“Mereka bertanya: “Siapa mereka para ‘mufarridun’ wahai Rasulullah ?”, beliau menjawab: “Mereka adalah para pecandu dzikir kepada Allah, dzikir tersebut telah meringankan beban mereka, maka mereka akan datang pada hari kiamat dengan ringan”. (HR. Tirmidzi dan ia berkata: hadits ini adalah hadits hasan gharib)
(Majmu’ Fatawa: 10/84)
Kedua:
Barang siapa yang mencintai Allah karena ke-Maha sempurna dan keagungan-Nya, dan Dzat yang berhak dicintai dan dipersembahkan ibadah kepada-Nya, tidak diragukan lagi bahwa dia mencintai untuk menjadi dekat dengan-Nya –subhanahu wa ta’ala- dan merasa rindu untuk bisa melihat dan bertemu dengan-Nya. Ia berusaha mendapatkan ridho-Nya, berharap untuk mendapatkan cinta dan kemurahan-Nya, dan mereka termasuk orang-orang yang didekatkan kepada-Nya.
Semua itu tidak terjadi kecuali dengan masuk surga yang menjadi tempat ridhonya Allah, di dalam surga para penduduknya akan melihat wajah Allah, para hati mereka membuncah rasa cintanya kepada Dzat yang mereka sembah dan Tuhan yang menjadikan semua hati pecah haru karena rindu kepada-Nya dan mengagungkan-Nya, sebagaimana juga di dalam surga terdapat kenikmatan yang tidak pernah dilihat oleh mata, juga tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbesit di dalam hati manusia.
Inilah surga yang menjadikan kita semua terobsesi karenanya, sebagaimana terobsesinya para Nabi, orang-orang sholeh dan para wali, supaya mereka berada di dalamnya dan dekat dengan Dzat Yang Maha Pemurah –subhanah-. Mereka semua merasakan nikmat di dalamnya dengan keridhoan dan berada dekat dengan-Nya, inilah yang menjadi kenikmatan terbesarnya surga.
Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
وَعَدَ اللّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
التوبة/72
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki dan perempuan, (akan mendapat) syurga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga `Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (QS. At Taubah: 72)
Dengan ini kita semua mengetahui bahwa tidak ada pertentangan antara beribadah kepada Allah karena cinta dan mengagungkan-Nya dan karena memohon, meminta dan rindu kepada surga dan bersungguh-sungguh berlomba untuk meraihnya. Demikian juga dengan berlindung dari api neraka dan takut kepadanya; karena seorang hamba yang mencintai Allah dengan sebenarnya jika ia menghadirkan dalam dirinya bahwa surga adalah tempat keridhoan Allah dan tempat kemuliaan-Nya, bahwa ia juga akan mendapatkan kedekatan kepada Allah di dalamnya yang akan menambah rasa cinta, bahagia dan rindunya kepada-Nya, maka tidak diragukan lagi bahwa ia akan mengerjakan amalan yang akan membawanya masuk surga, ia juga akan berusaha untuk meraih derajat surga yang tertinggi, ia juga akan berusaha untuk taat kepada-Nya di dunia dan memohon untuk didekatkan kepada surga dan dijauhkan dari neraka yang menjadi tempat kehinaan, jauh (dari rahmat-Nya), kemurkaan dan adzab.
Ketiga:
Dan anda –wahai saudariku yang mulia- jika anda bayangkan apa yang telah terjadi, anda akan mengetahui kesalahan anda pada saat anda menduga bahwa ambisi meraih surga dan takut akan neraka bertentangan dengan cinta kepada Allah dengan keagungan dan kebesaran-Nya; karena cinta kepada Allah adalah rasa rindu kepada-Nya, adanya keinginan untuk berada dekat dengan-Nya, berusaha mendapatkan ridho-Nya dan menjauhi murka-Nya; karena orang mencintai itu akan rindu kepada yang dicintainya, dan akan menjadi siksa baginya jika berada jauh dari yang dicintainya, maka bagaimana dengan murka-Nya kepadanya ???
Akan tetapi pada saat ternyata banyak orang yang mengira bahwa nikmat surga itu merupakan makanan, minuman, bidadari dan yang lain sebagainya dari semua bentuk nikmat lahiriyah, maka akan tertanam di dalam benak mereka –seakan- ada pertentangan antara mahabbatullah (cinta kepada Allah) dan beribadah kepada-Nya, dan antara meminta surga dan berlindung dari neraka.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Dari sini menjadi jelas akan hilangnya keraguan pada ucapan seseorang yang berkata: “Saya tidak beribadah kepada-Mu karena rindu kepada surga-Mu, tidak juga karena takut kepada neraka-Mu, akan tetapi saya beribadah kepada-Mu karena rindu untuk memandang-Mu”.
Maka orang yang mengucapkan hal itu dan orang mengikutinya telah mengira bahwa surga tidak masuk di dalam nama tersebut kecuali makan, minum, pakaian, menikah dan lain sebagainya yang mengandung kenikmatan kepada sesame makhluk; oleh karenanya sebagian masyayikh yang melakukan kesalahan berkata pada saat mendengarkan firman Allah:
مِنْكُم مَنْ يُريدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُم مَن يُرِيدُ الآخِرَةَ
“Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”. (QS. Ali Imron: 152)
Mereka berkata: “Kemana orang yang menginginkan Allah ?”, dan sebagian mereka mengomentari firman Allah:
إِنَّ الله اشْتَرَى مِنَ المُؤمِنينَ أنْفُسَهُم وَأَمْوَالُهُم بِأَنَّ لَهُم الجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS. At Taubah: 111)
Ia berkata: “Jika semua jiwa dan harta di surga, lalu kapan melihat kepada-Nya ?. Semua ini karena mereka mengira bahwa surga tidak masuk di dalamnya nikmat melihat, yang benar adalah bahwa surga itu merupakan tempat yang mencakup semua bentuk kenikmatan, dan yang tertinggi adalah dengan melihat wajah Allah, hal itu menjadi bagian dari kenikmatan yang akan diterima di dalam surga sebagaimana yang diriwayatkan banyak nash yang ada. Demikian juga penduduk neraka, maka mereka akan terhalang dari Tuhan mereka dengan masuk neraka, meskipun orang yang mengatakan hal itu jika dia mengetahui apa yang dikatakannya yang dimaksud adalah: “Bahwa jika Engkau tidak menciptakan neraka, atau tidak menciptakan surga, maka Engkau tetap wajib disembah, dan wajib mendekatkan diri kepada-Mu, melihat-Mu dan yang dimaksud dengan surga di sini adalah yang bisa dinikmati oleh makhluk”. (Majmu’ Fatawa: 10/62-63)
Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Yang benar hendaknya disampaikan bahwa surga itu bukan hanya sekedar nama yang di dalamnya ada pepohonan, buah-buahan, makanan, minuman, bidadari, sungai-sungai dan istana. Ada banyak orang yang salah persepsi tentang surga, karena sesungguhnya surga adalah nama bagi semua bentuk kenikmatan yang sempurna, dan kenikmatan yang paling agung adalah kenikmatan melihat wajah Allah Maha Mulia, mendengarkan kalam-Nya, menjadi penyejuk mata dengan berada didekat-Nya dan dengan ridho-Nya. Maka tidak ada bandingannya dengan kelezatan makanan, minuman, pakaian, dan semua gambaran kenikmatan selamanya. Keridhoan Allah yang paling sederhana lebih besar dari pada banyak surga dan seluruh apa yang ada di dalamnya, sebagaimana firman Allah –Ta’ala-:
وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّهِ أَكْبَرُ
التوبة: 72
“Dan keridhoan Allah adalah lebih besar”. (QS. At Taubah: 72)
Ayat tersebut disebutkan dengan bentuk umum dengan susunan kalimat positif, yaitu; apa saja yang menjadikan Allah ridho kepada hamba-Nya maka hal itu lebih besar dari pada surga.
Sedikit karunia dari-Mu akan menjadikanku ridho # akan tetapi sedikit yang datang dari-Mu tidak dikatakan sebagai sesuatu yang sedikit
Dan di dalam hadits yang shahih tentang hadits rukyah (melihat):
( فوالله ما أعطاهم الله شيئا أحب إليهم من النظر إلى وجهه )
“Demi Allah, tidaklah Allah memberikan sesuatu kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat ke wajah-Nya”.
Dan di dalam hadits yang lain:
أنه سبحانه إذا تجلى لهم ورأوا وجهه عيانا : نسوا ما هم فيه من النعيم وذهلوا عنه ولم يلتفوا إليه
“Bahwa Allah –subhanah- apabila menampakkan diri kepada mereka dan mereka melihat wajah-Nya dengan mata kepala mereka, mereka melupakan semua kenikmatan (surga) dan mereka terpesona kepada-Nya dan tidak berpaling dari-Nya”.
Tidak diragukan lagi bahwa yang terjadi memang demikian, Dia (Allah) lebih agung dari pada apa yang terbesit di dalam benak dan khayalan manusia, apalagi pada saat orang-orang yang mencintai mendapatkan kesuksesan karena bersama dengan yang dicintainya; karena seseorang akan bersama siapa saja yang ia cintai, tidak ada pengkhususan dalam masalah ini bahkan hal itu sudah ditetapkan bagi yang menyaksikan maupun yang tidak. Kenikmatan, kelezatan, penyejuk mata dan kesuksesan mana yang bisa mendekati nikmat bersama dengan-Nya, lezatnya dan penyejuk mata dengan-Nya. Apakah ada kenikmatan yang melebihi penyejuk mata karena bersama dengan Dzat yang dicintainya yang tidak ada sesuatau yang lebih agung, lebih sempurna, lebih indah dari pada-Nya ??
Demi Allah, inilah ilmu yang disiapkan oleh orang-orang yang mencintai, dan panji yang dilupakan oleh orang-orang yang berilmu, ia adalah ruhnya surga dan kehidupannya dengannya surga menjadi baik dan karenanya surga tegak berdiri.
Maka bagaimana dikatakan: “Allah tidak disembah karena mencari surganya juga tidak karena takut dari nerakanya ?!”.
Demikian pula neraka –semoga Allah melindungi kita semua darinya- bahwa bagi penduduknya ada adzab terhalangnya mereka dari Allah, kehinaan dari-Nya, murka dan jauh dari-Nya lebih berat dari pada lahapan api neraka kepada tubuh dan ruh mereka, bahkan lahapan api neraka pada hati mereka adalah yang telah mewajibkan lahapan api neraka kepada tubuh mereka, dimulai dari hati lalu menjalar ke tubuh.
Maka yang diminta oleh para Nabi, para Rasul, para shiddiqin, para syuhada dan para shalihin adalah surga dan mereka lari menjauh dari neraka.
Allah Maha Penolong dan kepada-Nya bertawakkal dan tiada daya dan upaya kecuali dari Allah. Cukuplah Allah bagi kita dan sebaik-baik penolong.
(Madarikus Salikin: 2/80-81)
Wallahu A’lam