Orang yang mengalami mimpi basah dan mengeluarkan mani, wajib mandi (mandi junub) agar sah shalatnya. Tidak boleh baginya beralih ke tayammum kecuali dalam dua kondisi, yaitu tidak ada air atau takut terkena bahaya atau penyakit jika menggunakan air, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
المائدة/6 .
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian hingga siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian hingga mata kaki. Jika kalian dalam keadaan junub, maka mandilah. Tetapi jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau datang dari buang air besar atau menyentuh wanita, lalu kalian tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik. Usaplah wajah dan tangan kalian dengan tanah itu.” (QS. Al-Ma’idah : 6).
Dan juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
الصَّعِيدُ وُضُوءُ المُسْلِمِ، وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيَمَسَّهُ بَشَرَتَهُ، فَإِنَّ ذَٰلِكَ خَيْرٌ رواه البزار ، وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم (3861).
“Tanah yang bersih adalah wudhu bagi seorang Muslim, sekalipun tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia telah mendapatkan air, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan menyentuhkan air itu ke kulitnya. Karena itu lebih baik.” (HR. Al-Bazzar dan dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 3861).
Maka, jika seseorang bangun dalam keadaan junub, dan khawatir terkena bahaya atau sakit karena cuaca dingin, wajib baginya menghangatkan air jika memungkinkan, meskipun shalatnya sampai keluar waktu, karena orang yang tidur dimaafkan, dan waktu shalatnya dimulai sejak dia bangun tidur. Maka dia wajib mandi dan menunaikan shalatnya dengan memenuhi syarat-syaratnya.
Namun jika tidak ada alat untuk menghangatkan air, dan menggunakan air dingin dapat membahayakan, maka barulah diperbolehkan tayammum.
Takut terlambat kerja tidak dianggap sebagai udzur (halangan) syar’i untuk meninggalkan mandi wajib dan langsung bertayammum.
Jika seseorang bertayammum tanpa udzur syar’i, maka shalatnya tidak sah dan ia wajib mengulangnya agar terbebas dari tanggungan kewajiban.
Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Ifta’ pernah ditanya, “Jika cuaca sangat-sangat dingin, dan air di wadah menjadi seperti susu kental (beku), dan di teko menjadi es. Sementara seseorang terkena hadats (berwudhu menjadi wajib atasnya), tetapi air tersebut akan membahayakannya dan bisa menyebabkan ia sakit demam, maka bagaimana seharusnya dia bersikap ?”
Mereka menjawab, “Jika memang kondisinya memang seperti itu, maka ia boleh bertayammum. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Tetapi jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau datang dari buang air besar atau menyentuh wanita, lalu kalian tidak menemukan air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik. Usaplah wajah dan tangan kalian dengan tanah itu.”
Tetapi jika memungkinkan untuk menghangatkan air dengan api, maka wajib melakukannya, dan wajib mandi, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun : 16).
Wallahu A’lam.