Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Mencari Sifat Duniawi pada Lelaki Peminang dan Perempuan yang Dipinang

Pertanyaan

Ketika datang seseorang yang melamar saya, saya teringat hadit berikut ini. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”

Pertanyaan saya, apakah wanita boleh menikah dengan seorang pria karena empat hal tersebut? Jika boleh, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyebutkannya pada hadits itu sendiri. Apakah obyek hadits tersebut khusus bagi lelaki saja; bukan bagi perempuan? Kemudian yang terkait dengan pilihan wanita terhadap suaminya, saya pernah membaca hadits di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوْهُ إِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌ

“Jika datang kepada kalian seorang lelaki yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebutkan satu sifat, yaitu agama dan tidak menyebutkan sifat-sifat lainnya seperti sifat-sifat yang disebutkan pada kriteria wanita, yaitu wanita dinikahi karena empat hal? Apakah boleh menerapkan hadits pertama baik kepada laki-laki atau perempuan? Mengapa hanya dikhususkan pada lelaki saja?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwasanya syariat Islam tak lain mendorong untuk mencari sitri yang shalihah yang taat beragama. Begitu pula suami yang shalih yang memiliki agama yang lurus. Agama adalah tujuan pertama dan utama. Sifat-sifat lainnya, seperti ketampanan/kecantikan, harta, hasab dan nasab hanyalah mengikuti. Kriteria selain agama sendiri tidaklah tercela, namun bukanlah tujuan utama. Akan tetapi ia sifat-sifat pelengkap (penyempurna). Jika ada, maka ia adalah bonus yang sempurna. Jika tidak ada, maka agamalah yang menjadi standar segala kebaikan.

Hal itu juga ditunjukkan dalam hadits yang berisi sanjungan/pujian terhadap beberapa sifat yang terdapat pada istri. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَالَ : الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ رواه أحمد (2/251) وحسنه الألباني في "السلسلة الصحيحة" (1838)

“Pernah ditanyakan kepada Rasulullah, ‘Siapakah wanita yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.’” (HR. Ahmad,  2/251, dan dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah, no. 1838)

Begitu pula halnya dengan suami. Pada dasarnya harus mencari suami yang shalih dan bertakwa sebagaimana yang disebutkan sifatnya dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “yang kalian ridhai agama dan akhlaknya.” Apabila keshalihan dan ketakwaan disertai dengan ketampanan, harta dan nasab, maka itu adalah anugerah dari Allah Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menganggap seorang pria yang menghamburkan harta dan tidak mampu memberikan nafkah kepada istrinya menjadi sebagai penyebab (alasan) seorang istri mengakhiri hubungan pernikahan dengan suami. Hal tersebut dinyatakan dalam hadits tentang Fathimah binti Qais Radhiyallahu ‘Anha, bahwasanya ia berkata, “

لَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ – تعني للنبي صلى الله عليه وسلم - أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ  رواه مسلم (1480)

“Ketika aku sudah halal (selesai masa iddah) aku menyebutkannya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Abu Jahm adalah laki-laki yang suka memukul wanita, sementara Mu'awiyah adalah laki-laki yang miskin dan tidak mempunyai kekayaan, Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR. Muslim, no. 1480).

Al-Allamah As-Sa’di Rahimahullah mengatakan, “Jika agama disertai dengan kriteria lainnya, maka hal itu adalah anugerah. Jika tidak demikian, maka agama adalah sifat paling agung yang harus dituju.” (Bahjatul Qulubil Abrar wa Qurratu Uyunil Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar, hal. 120).

Jika sudah jelas penjelasan tersebut, maka kita bisa mengetahui jawaban atas pertanyaan. Kita juga mengetahui bahwasanya harta, keturunan dan ketampanan/kecantikan adalah kriteria-kriteria yang diharapkan oleh umumnya manusia pada diri suami/istri; baik yang Mukmin atau kafir. Hasrat mendapatkan suami/istri sesuai kriteria-kriteria tadi senantiasa tersematkan pada karakter dan tradisi manusia. Syariat tidak memungkiri hal itu. Syariat tidak memberikan perhatian pada kriteria-kriteria tadi karena memang manusia dengan karakternya sudah memberikan perhatian dan mencari hal itu. Bahkan mereka bersikap berlebihan dalam hal tersebut dan mengabaikan sifat-sifat utama. Oleh karenanya syariat menegaskan sesuatu yang banyak dilupakan dan diabaikan oleh manusia. Padahal sifat inilah  tujuan paling agung dalam timbangan syariat. Inilah pula yang membedakan jalan seorang Mukmin yang shalih dengan jalan manusia lainnya.

Oleh sebab itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits yang masyhur,

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ : لِمَالِهَا ، وَلِحَسَبِهَا ، وَجَمَالِهَا ، وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ رواه البخاري (5090) ومسلم (1466)

"Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.” (HR. Al-Bukhari, no. 5090 dan Muslim, no. 1466).

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Makna yang benar pada hadits ini adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberitahukan apa yang biasa dilakukan oleh manusia Mereka berusaha mendapatkan keempat kriteria ini dan yang paling terakhir menurut mereka adalah wanita yang memiliki agama. Beruntunglah kamu wahai orang yang mendapatkan bimbingan dengan wanita yang beragama. Beliau tidak menyuruh untuk mendapatkan keempat hal itu.” (Syarah Muslim, 10/51-52).

Imam An-Nawawi juga mengatakan, “Maknanya, biasanya manusia berusaha untuk mendapatkan keempat hal ini pada diri wanita. Berusahalah kamu untuk mendapatkan waniita yang memiliki agama, dan beruntunglah kamu dengan mendapatkan wanita seperti itu dan berusahalah untuk menyertainya.” (Riyadhus Shalihin, hal. 454).

Al-Qurthubi Rahimahullah mengatakan, “Keempat sifat inilah yang dianjurkan dalam menikahi perempuan. Keempat sifat inilah yang dituju oleh para lelaki pada perempuan. Ia adalah berita yang terdapat pada dunia, tetapi bukan perintah untuk mendapatkan hal itu. Secara zhahir hadits ini menunjukkan kebolehan menikah dengan tujuan menggabungkan keempat sifat ini. Akan tetapi tujuan berupa agama tentu saja lebih utama dan lebih penting.” (Al-Mufhim Lima Asykala Min Talkhish Shahih Muslim, 4/215).

Salah seorang ulama madzhab Syafi’i, yaitu Syaikh Sulaiman bin Manshur Al-Ajili Al-Jamal mengatakan, “Sebagian dari mereka berdalil dengan hadits ini atas sunahnya menikah dengan wanita cantik. Namun hal ini dibantah oleh Az-Zarkasyi bahwasanya berdalil dengan hadits tersebut atas sunahnya menikah dengan wanita yang cantik amatlah aneh, karena hadits ini berisi penjelasan tentang kebiasaan manusia, dan tidak terdapat perintah untuk menikahi wanita yang cantik. Ini adalah bantahan yang jelas. Sebagaimana tidak ada perintah di dalam hadits ini untuk menikahi wanita yang berharta, cantik dan memiliki keturunan yang bagus.” (Futuhat Al-Wahhab bi Taudhihi Syarhi Manhajit Thullab atau yang terkenal dengan Hasyiyatul Jamal, 4/118). 

Sebagian ulama berpendapat bahwa sifat-sifat ini dianjurkan secara syariat. Disunahkan bagi pria yang melamar untuk mencari sifat-sifat tersebut pada wanita yang dilamarnya. Akan tetapi dengan syarat agamalah yang paling utama. Hendaknya tidak mempertentangkan sifat-sifat tersebut. Jika terjadi pertentangan, maka pastilah agama yang diutamakan.

Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa lelaki yang nasabnya mulia disunahkan untuk menikahi perempuan yang nasabnya mulia pula. Kecuali jika terjadi pertentangan antara wanita bernasab tetapi tidak beragama dan wanita tidak bernasab tetapi beragama. Maka yang diutamakan adalah wanita yang beragama. Begitu seterusnya pada sifat-sifat lainnya.

Dari sabda Nabi, “kecantikannya,” diambil kesimpulan sunahnya menikah dengan wanita cantik, kecuali jika bertentangan antara wanita cantik tetapi tidak beragama dan tidak cantik tetapi beragama, ya jika wanita tersebut sama dalam agama, maka wanita yang cantik lebih utama. Penampilan yang baik disamakan dengan sifat yang baik.

Sabda Nabi yang berbunyi Fazhfar bi Dzatid Din dalam hadits riwayat Jabir disebutkan Fa ‘Alaika bi Dzatid Din. Maknanya, yang layak pada orang yang memiliki agama dan akhlak adalah hendaknya agama menjadi Hasrat dari pandangannya dalam segala hal, apalagi yang kebersamaan dengannya lama. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh untuk mendapatkan wanita yang memiliki agama yang mana ia adalah tujuan paling ujung. Dalam hadits Abdullah bin Amr yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang ia marfu’kan, yang terdapat kelemahan di dalamnya disebutkan,

لَا تَزَوَّجُوْا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ ، فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيْهِنَّ - أي يُهْلِكَهُنَّ - ، وَلَا تَزَوَّجُوْهُنَ لِأَمْوَالِهِنَّ : فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيْهِنَّ ، وَلَكِنْ تَزَوَّجُوْهُنَّ عَلَى الدِّيْنِ ، وَلَأَمَةٌ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِيْنٍ أَفْضَلُ

“Janganlah kalian menikahi perempuan semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menjatuhkannya. Jangan pula menikahinya semata-mata karena hartanya; jangan-jangan hartanya itu akan melanggar batas. Tetapi nikahilah dia karena kebaikan agamanya. Budak perempuan yang hitam yang memiliki agama lebih baik.” (Fathul Bari, 9/135-136).

Banyak kitab-kitab madzhab Syafi’i yang berdalil dengan hadits ini atas sunahnya menikah dengan wanita yang cantik.

Dalam Syarah Muntahal Iradat, 2/623, salah satu kitab dalam madzhab Hambali disebutkan, “Disunahkan juuga memilih wanita yang cantik berdasarkan berita (yaitu hadits yang telah disebutkan sebelumnya).”

Permasalahan ini begitulah luas, Insya Allah, selama tujuan utama tentang kriteria suami-istri disepakati yaitu agama, dan selama sifat-sifat duniawi lainnya tidak tercela, akan tetapi terpuji.

Adapun tidak disebutkannya sifat-sifat yang dituju dalam pernikahan pada laki-laki sebagaimana disebutkannya pada wanita, bukanlah karena untuk membedakan antara laki-laki dengan perempuan, akan tetapi karena biasanya lelakilah yang mencari istri dan memilih sifat-sifat tersebut pada perempuan. Tak lain wanita hanya memikirkan sifat-sifat lelaki yang datang padanya. Maka seolah-olah pesan pada hadits wanita dinikahi karena empat hal ditujukan pada suatu kebiasaan yang berlaku secara dominan di masyarakat, dan bukan ditujukan pada suatu yang sedikit dan jarang terjadi.

Kemudian pesan-pesan syariat pada umumnya ditujukan kepada kaum pria. Para ahli Ushul Fikih telah menetapkan bahwa pesan yang ditujukan kepada kaum pria juga mencakup pada kaum wanita, kecuali jika ada pembanding yang memalingkannya dari hal itu. Jika tidak demikian, maka tidak lazim jika nash hukum syariat ditujukan kepada kaum lelaki dan nash lainnya ditujukan pada kaum wanita. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda,

إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ رواه الترمذي (113) وغيره ، وصححه الألباني في صحيح الجامع .

“Sesungguhnya wanita adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. At-Tiimidzi, no. 113, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’).

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam