Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Perbedaan Dalam hukum Keluarnya Angin Dari Kemaluan Wanita

Pertanyaan

Sebagaimana yang diketahui ada sebagian wanita terkadang dari kemaluannya keluar angin pada sebagian waktu. Angin ini terkadang diiringi adanya suara. Akan tetapi seringkali tidak ada suara. Dan telah anda jelaskan dalam website anda, hal ini tidak membatalkan wudu. Pertanyaanku terkait dengan pembahasan ini. Kalau seandainya seorang wanita mengaduh keluarnya angin ini secara terus menerus, dalam berbagai macam kondisi dan situasi. Baik waktu duduk, bergerak, shalat ataupun tidak shalat dan lainnya. Yang menjadi masalah adalah dalam shalat tidak dapat membedakan keluarnya angin ini. Apakah dari kemaluan, sehingga tetap melanjutkan shalat atau lewat dubur sehingga berwudu lagi dan shalat lagi? Apa yang dilakukan seorang wanita dalam kondisi seperti ini, terutama kondisi seperti ini menyebabkan tidak khusu’ dan terpecah konsenterasinya. Apakah melanjutkan shalatnya dimana lebih condong keluar anginnya dari kemaluan. Kecuali kalau seratus persen yakin keluar dari dubur. Atau memutus shalat karena lebih condong angin dari dubur. Sehingga dia pergi berwudu dan mengulangi shalat baru lagi?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama fikih berbeda pendapat terkait batalnya wudu karena keluar angin dari qubul (kemaluan) wanita menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: membatalkan wudu, dan ini mazhab Syafiiyah dan Hanabilah. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang keluar dari qubul (kemaluan) lelaki atau perempuan atau dari duburnya itu membatalkan wudu. Baik berupa kotoran (berak), air seni, angin, cacing, nanah, darah, batu atau semisal itu. Tidak ada perbedaan hal itu baik yang jarang maupun yang biasa (keluar). Dan tidak ada perbedaan keluarnya angin antara kemaluan wanita dan lelaki dan dari duburnya. Hal itu ditegaskan Syafi’I rahimahuhllah di kitab ‘Al-Umm. Dan rekan-rekan (semazhab) pada bersepakat.” Selesai dari Al-Majmu’, (2/3). Silahkan dilihat ‘Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar Al-Haisyami, (1/127).

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sholeh menukil dari ayahnya tentang wanita yang keluar angin dari kemaluannya, apa yang keluar dari dua jalan keluar (qubul dan dubur) harus berwudu. Qodi mengatakan, Keluarnya angin dari kemaluan lelaki maupun wanita membatalkan wudu.” Selesai dari ‘Al-Mugni, (1/125) silahkan melihat ‘Al-Inshof’ karangan Mardawaih, (1/195).

Pendapat kedua: tidak membatalkan wudu, dan ini mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Telah ada dalam ‘Raddul Mukhtar ‘Ala Duril Mukhtar, (1/136), “Tidak –membatalkan (wudu)- keluarnya angin dari kemaluan baik wanita maupun lelaki. Karena ia adalah      maksudnya bukan angin sesungguhnya. Kalau ia angin tidak akan keluar dari tempat najis, maka tidak membatalkan wudu.” Selesai silahkan dilihat ‘Badai’ Sonai’, karangan Kasani, (1/25).

Allamah Dardir Al-Maliki rahimahullah mengatakan, “Kalau ada yang biasa keluar lewat selain tempat keluar, seperti keluar dari mulut, atau keluar air seni dari dubur, atau angin dari kemaluan atau kemaluan wanita atau dari lobang, maka ia tidak membatalkan (wudu).” Selesai dari ‘Syarkh Kabir Ma’a Hasyiyah Dasuqi, (1/118).

Tidak diragukan lagi yang lebih berhati-hati dan lepas dari tanggungan adalah berwudu dari angin ini. Karena kuatnya perbedaan di dalamnya. Sebagaimana bahwa pendapat ini lebih berhati-hati. Begitu juga lebih dekat dengan dohir dalilnya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

 لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيحٍ

رواه الترمذي (74) وقَالَ : حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ، وصححه الألباني في " صحيح الجامع " برقم (7572

“Tidak ada wudu kecuali dari suara atau angin.” HR. TIrmizi, (74) dan mengatakan, Hadits Hasan Shoheh, dinyatakan shoheh oleh Albani di ‘Shoheh Al-Jami’ dengan no, (7572).

Dengan hadits ini dan hadits semisalnya, Imam Ibnu Mubarak dan ulama lainnya berdalil batalnya wudu dari angin yang keluar dari qubul (depan).

Imam Tirmizi rahimahullah mengatakan, “Ia adalah pendapat para ulama, tidak wajib berwudu kecuali dari hadats yang terdengar suara dan mendapatkan (bau) angin. Abdullah bin Mubarok mengatakan, “Kalau ragu dalam hadats, maka ia tidak diwajibkan berwudu sampai merasa yakin betul mampu untuk bersumpah atasnya. Dan mengatakan, “Kalau angin keluar dari kemaluan wanita, maka wajib berwudu. Ini pendapat Syafi’I dan Ishaq,” selesai.

Untuk tambahan silahkan merujuk fatwa no. 14383 , 114793 .

Yang menguatkan sisi berwudu dalam masalah yang disebutkan tadi, adanya kesamaran kondisi angin yang keluar, apakah dari qubul (kemaluan) atau dari dubur? Telah diketahui bahwa angin yang keluar dari dubur itu pembatal (wudu) secara ijma’. Kalau ada kemiripan angin, apakah dari dubur, yang merupakan ijma’ membatalkan (wudu) atau dari qubul (kemaluan), maka ia membatalkan menurut kebanyakan ahli ilmu. Kuat sekali sisi membatalkan ini. Apalagi asalnya bahwa angin itu keluar dari dubur. Sementara yang keluar dari selain dubur, sangat jarang sekali tidak biasa. Dari sini dibangun pendapat yang mengatakan tidak membatalkan wudu.

Kedua:

Kalau angin ini keluar secara terus menerus, atau hampir di setiap situasi dan kondisi. Maka wanita ini termasuk orang yang punya uzur, sampai meskipun dia yakin keluar angin dari dubur. Maka, berwudu pada setiap shalat setelah masuknya waktu. Kemudian shalat fardu dan shalat sunah yang dia inginkan. Tidak harus mengulangi wudu pada setiap kali keluar angin darinya.

Syekh Syinqiti hafidohullah ditanya, “Angin yang keluar dari qubul (kemaluan) wanita dan seringkali pada waktu berbeda-beda, apakah berwudu pada setiap kali shalat?

Maka beliau menjawab, “Permasalahan ini ada perbedaan terkenal dikalangan ahli ilmu rahimahumullah. Seputar apakah qubul (kemaluan) mengambil hukum dubur ketika keluar angin? Diantara kalangan ahli ilmu ada yang mengatakan bahwa keluarnya angin dari qubul hukumnya seperti keluarnya dari dubur. Ini termasuk memasukkan yang sepadan dengan sepadannya. Dan ini pendapat yang kuat. Tidak diragukan lagi, dari sisi kehati-hatian lebih utama. Akan tetapi kalau terjadi pada wanita sampai pada kondisi kesulitan atau terjadi kepayahan dan kerepotan, maka kondisinya seperti hukum orang istihadhoh. Sebagaimana keluarnya darah dan terus bersambung dalam istihadhoh. Maka dia berwudu ketika masuk waktu shalat. Tidak perlu diperhatikan setelah itu dengan keluarnya angin darinya. Sebagaimana terkena beser angin dari dubur. Yang lebih berhati-hati dia berhati-hati untuk agama dan ibadahnya. Wallahua’lam. Selesai dari Syarkh Zadil Mustaqni’.

Wallahua’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam