Alhamdulillah.
Penanya telah menyebutkan beberapa macam tawassul yang bisa dibagi menjadi empat macam:
1. Tawassul dengan al Qur’an
2. Tawassul dengan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
3. Tawassul dengan orang-orang sholeh dari Malaikat, para Nabi dan yang lainnya
4. Tawassul dengan yang tidak bisa difahami
Yang Pertama:
Bahwa seseorang yang berdoa kepada Allah dengan al Qur’an adalah boleh; karena hal itu termasuk tawassul kepada Allah dengan salah satu sifatnya, bertawassul dengan salah satu sifat Allah adalah perkara yang dibolehkan di dalam syari’at, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (2202) dan Tirmidzi (2080) dari Utsman bin Abil Ash –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepadanya pada saat mengadu agar mengucapkan:
أعوذ بعزة الله وقدرته من شر ما أجد وأحاذر
“Aku berlindung dengan ke-Maha Perkasaan Allah dan Kekuasaannya dari keburukan yang aku hadapi dan yang aku hawatirkan”.
Dan juga sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
اللهم بعلمك الغيب ، وقدرتك على الخلق ، أحيني ما علمت الحياة خيرا لي ، وتوفني إذا كانت الوفاة خيرا لي
رواه أحمد في " المسند " (30/265) وصححه محققو طبعة مؤسسة الرسالة
“Ya Allah dengan ilmu Engkau yang ghaib, kekuasaan-Mu kepada semua makhluk, hidupkanlah aku selama kehidupan menurut ilmu-Mu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku”. (HR. Ahmad dalam Musnad: 30/265) dan dishahihkan oleh para peneliti penerbit Muassasah Risalah.
Dalil-dalil akan disyari’atkannya tawassul kepada Allah dengan sifat-sifat-Nya begitu banyak.
Di antara sifat-sifat Allah –Ta’ala- adalah kalam-Nya, sedangkan Al Qur’an adalah kalamullah –subhanahu wa ta’ala-, maka boleh bertawassul dengannya; oleh karenanya para ulama salaf telah berhujjah, seperti Ahmad dan yang lainnya, bahwa kalamullah bukanlah makhluk dengan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
أعوذ بكلمات الله التامات
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna”.
Mereka berkata: “Bahwa beliau telah berlindung dengannya, dan tidak berlindung kepada makhluk”. Bisa dibaca pada buku “Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah: 1/297)
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Berdoa dengan Al Qur’an Al Kariim, yaitu; seseorang memohon kepada Rabbnya dengan kalam-Nya, sedangkan Al Qur’an adalah salah satu dari sifat-sifat Allah -‘azza wa jalla-, bahwa Al Qur’an adalah kalamullah yang diucapkan dengan sebenarnya secara lafadznya, dan yang diinginkan-Nya secara makna, ia adalah kalam-Nya –azza wa jalla-. Jika Al Qur’an termasuk salah satu sifat-sifat-Nya maka bertawassul dengannya dibolehkan”. (Fatawa Nuur ‘Ala Darb”.
Kedua:
Bertawassul dengan dzatnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah bentuk tawassul yang dikenal oleh orang-orang belakangan dengan cara mengatakan:
“Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“, atau “Aku memohon kepada-Mu dengan jaah (kedudukan) Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“, makna seperti ini belum ditemukan di dalam sunnah, dalam hal ini Abu Hanifah dan para sahabatnya telah berkata: “Hal itu tidak boleh, mereka telah melarang akan hal itu dengan mengatakan:
“Tidak boleh memohon dengan makhluk”, dan seseorang tidak boleh berkata: “Saya memohon kepada-Mu dengan haq (kedudukan) para Nabi-Mu”.
Disebutkan dalam Tabyiinul Haqaiq karya Az Zaila’i Al Hanafi 6/31: “Abu Yusuf berkata: “Saya tidak menyukai dengan haq (kedudukan) fulan, dan dengan kedudukan para Nabi dan para Rasul-Mu”, karena tidak ada kedudukan bagi seseorang atas Allah –subhanahu wa ta’ala- Maha Agung Segala Urusan-Nya”, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Kasani dalam Badai’ Shanai’: 5/126.
Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:
“Pendapat yang kuat dari semua pendapat para ulama, bahwa diharamkan untuk bertawassul dengan jaah (kedudukan) Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka tidak dibolehkan bagi seseorang mengatakan: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan kedudukan Nabi-Mu begini dan begitu…”; hal itu karena tawassul tidak menjadi perantara kecuali jika ada dampak pada tercapainya keinginannya, sedangkan kedudukan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bagi orang yang berdoa tidak memiliki dampak untuk tercapainya keinginannya, jika tidak memiliki dampak, maka tidak menjadi sebab yang benar, dan Allah tidak dimintai permohonan kecuali dengan sebab yang benar dan mempunyai dampak pada tercapainya keinginannya, sedangkan kehormatan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah milik beliau secara khusus dan tertuju kepada beliau saja, adapun kita tidak bisa mengambil manfaat dari hal itu, akan tetapi kita bisa mengambil manfaat bahwa kita beriman kepada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“. (Fatawa Nuur ‘Ala Darb)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:
“Kalau dikatakan: “Ucapan seseorang yang mengatakan: “Saya memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad” jika yang dimaksud adalah “Saya memohon kepada-Mu dengan imanku kepadanya (Nabi) dan cinta kepadanya, dan aku bertawassul kepada-Mu dengan keimanku kepada beliau dan dengan kecintaanku kepadanya atau yang serupa dengannya ?”, anda telah menyebutkan bahwa hal ini boleh tanpa ada perbedaan pendapat ?, dikatakan: “Barang siapa yang melaksanakan dengan makna tersebut, maka dia benar tanpa ada perbedaan. Jika orang yang bertawassul dengan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- setelah beliau meninggal dunia dari kalangan ulama salaf dibawa pada makna tersebut –sebagaimana yang dinukil dari sebagian para sahabat dan tabi’in dan dari Imam Ahmad dan yang lainnya- maka hal itu termasuk baik, pada saat demikian tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Akan tetapi banyak di kalangan orang awam menyebutkan lafadz tersebut, namun mereka tidak memahami dengan makna tersebut, maka pada pemahaman merekalah ada sebagian orang yang mengingkarinya.
Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan oleh para sahabat dahulu bahwa bertawassul dengan beliau adalah bertawassul dengan doa dan syafa’atnya, hal ini hukumnya boleh tanpa ada pertentangan sedikit pun, kemudian kebanyakan orang pada masa kita tidak bermaksud dengan makna tersebut”. (Qa’idah Jalilah: 119)
Ketiga:
Bertawassul dengan dzat para makhluk
Hal ini termasuk bid’ah yang mungkar menurut syari’at, kebiasaan dan ucapan, juga karena mendahului kekuasaan Allah, mengamalkan sesuatu yang tidak diizinkan oleh-Nya, menyelisihi tujuan orang yang berdoa, orang yang bertawassul dan yang meminta syafa’at. Termasuk merusak adab dalam berdoa.
Syeikh Islam berkata:
“Adapun permintaan syafa’at dengan orang yang tidak (diizinkan untuk) memberikan sya’at kepada yang memintanya dan tidak juga dalam bentuk hajat tertentu bahkan terkadang dia tidak mengetahui kalau dimintai, maka yang demikian bukan permintaan syafa’at, baik menurut bahasa maupun menurut ucapan orang bisa bicara”. (Al Fatawa: 1/242)
Beliau juga berkata:
“Jika seorang laki-laki berkata kepada orang besar yang ditaati: “Aku memohon kepada-Mu dengan taatnya kepada fulan, dan dengan cinta-Mu kepadanya dalam rangka taat kepada-Mu, dan dengan kehormatannya di sisi-Mu yang menjadikannya taat kepada-Mu”, maka dia telah meminta dengan sesuatu yang di luar dirinya dan sama sekali tidak berkaitan dengannya, demikian juga balasan baik Allah kepada orang-orang yang didekatkan kepada-Nya, kecintaan-Nya kepada mereka, kuatnya ibadah mereka kepada-Nya, ketaatan mereka kepada-Nya, hal itu tidak memastikan terkabulnya doa orang yang memohon dengan (bertawassul) kepada mereka.
Akan tetapi yang memastikan diijabahnya doa adalah penyebabnya berasal darinya; karena ketaatannya kepada mereka, atau penyebabnya berasal dari mereka; karena syafa’at mereka kepadanya, jika keduanya tidak ada maka tidak ada sebab”.
Beliau juga berkata:
“Ucapan seseorang: “Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan hak fulan dan fulan dari para Malaikat, para Nabi, orang-orang sholeh dan lain sebagainya, atau dengan jaah (kedudukan) fulan, atau dengan kehormatan fulan”, menunjukkan bahwa mereka mempunyai kedudukan di sisi Allah, hal itu benar; bahwa mereka mempunyai kedudukan, peringkat dan kehormatan di sisi Allah, dengan hal itu Allah akan mengangkat derajat mereka, mengagungkan urusan mereka, menerima syafa’at mereka jika mereka memberi syafa’at, adapun jika pada diri mereka tidak ada doa dan syafa’at, maka dia telah meminta dengan sesuatu yang berada di luar dirinya, bukan menjadi sebab yang manfaatnya akan kembali kepada dirinya”.
Beliau juga berkata pada kesempatan lainnya:
“Tidaklah pemuliaan Allah (kepada mereka) menjadi penyebab terkabulnya doa, jika dia berkata: “Penyebabnya adalah syafa’at dan doanya, adalah benar adanya, jika dia telah (diizinkan untuk) memberi syafa’at dan berdoa untuknya. Dan jika belum (diizinkan untuk) memberi syafa’at dan tidak ada doa untuknya, maka tidak ada sebab”.
Imam ‘Allamah Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- telah memaparkan masalah ini dengan paparan yang sempurna dalam bukunya yang diberkahi: “Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasiilah”.
Keempat:
Penanya di atas telah menyatakan bertawassul dengan tiupan sangkakala, keturunan Nabi Nuh, kekhilafahan Abu Bakar ash Shiddiq, keberanian Ali, dan lain sebagainya, yang menjadikan doanya bersajak, tanpa melihat maknanya. Maka menjadi ucapan yang tidak bermakna, dan tidak berasal dari seseorang yang berdoa dengan memfokuskan fikirannya dengan apa yang ia ucapkan dalam doa.
Maka bagaimana keturunan Nabi Nuh akan menjadi sebab terkabulnya doa, di antara mereka ada yang muslim dan ada yang kafir, ada yang baik dan ada yang jahat ?, dan bagaimana kekhilafahan Abu Bakar ash Shiddiq, keberanian Ali, sifat pembedanya Umar, rasa malunya Ustman atau bahkan kedekatan Allah kepada Nabi Ibrohim, menjadi sebab terkabulnya doa ?!
Apa urusannya orang yang berdoa dengan kekholilan (kedekatan Allah kepada) Nabi Ibrohim ?, apa yang menjadi bagian dirinya pada kedudukan yang tinggi tersebut ?
Tidaklah semua ini terjadi kecuali karena hasil dari penyimpangan dari sunnah, dan cenderung pada doa-doa yang dibuat sendiri, dan terlalu memaksakan bersajak. Semua itu hikmahnya menjadi jelas, bahwa ada larangan untuk memaksakan sajak di akhir setiap doa.
Ibnu Bathal –rahimahullah- telah berkata:
“Karena mencari kalimat bersajak dalam doa adalah pemaksaan dan menyulitkan, hal ltu akan menghalangi kekhsu’an, keikhlasan dan ketundukan kepada Allah –ta’ala- sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits:
( إن الله لا يقبل من قلب غافل لاه (
“Sungguh Allah tidak menerima (doa) yang berasal dari hati yang lalai dan lupa”.
Orang yang fokus pada sajak dalam doanya, keinginan terbesarnya adalah merangkai kalimat dan membuat sajak, dan barang siapa yang menyibukkan fikirannya, memompa lintasan fikirannya dengan paksaan, maka hatinya lalai dan jauh dari kekhusu’an”. (Syarah Shahih Bukhori: 10/97)
Wallahu A’lam .