Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Iddah (masa menunggu) Wanita Hamil Yang Diceraikan

Pertanyaan

Seorang suami bertengkar dengan istrinya dan mengatakan kepadanya, ‘Kamu telah diceraikan’ istrinya menghardiknya. Suaminya menendang perut istrinya dan didorong sampai terjatuh dari tangga sampai keguguran janin yang sudah berumur lima bulan. Kemudian dia menyesal akan hal itu dan pergi ke rumah istrinya untuk mengembalikan istrinya. Sementara ayahnya memberikan masukan tentang hal itu, sementara saya mengatakan kepadanya, “Biarkan saya meminta fatwa salah seorang ulama karena bisa jadi iddah (masa menunggu dalam perceraian) telah habis dengan keguguran janinnya. Apa hukum hal itu?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para ulama berijma’ (konsensus) bahwa iddah (masa menunggu perceraian) bagi orang yang telah diceraikan suaminya dalam kondisi hamil adalah dengan melahirkan kandungannya. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala:

(وَأُوْلاتُ الأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ) الطلاق/4 .

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” QS. At-Thaaq: 4

Dan mereka juga berijma’ bahwa wanita kalau telah melahirkan apa yang telah jelas penciptaan manusia (dalam kandungan) maka telah selesai masa iddahnya (Al-Mugni, (11/229). Sementara mulai penciptaan janin dalam kandungan setelah (berumur) delapan puluh hari. Biasanya telah sempurna pada hari ke sembilan puluh.

Dari sini maka, wanita yang telah keguguran janinnya pada bulan kelima, telah selesai iddahnya menurut seluruh para ulama, dan suaminya tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali setelah selesai masa iddahnya. Akan tetapi dia diperbolehkan dengan melakukan akad baru kalau dia menginginkan hal itu. Dan harus atas keredoaan (mantan istrinya), dihadirkan wali, dua saksi dan mahar.

Bagi lelaki (mantan suaminya) ini ada dua (Kewajiban yang harus dilakukan) disebabkan karena mengggugurkan kandungannya:

Pertama: dia harus menebus kaffarah membunuh tidak sengaja. Yaitu memerdekaan hamba sahaya yang beriman, kalau tidak didapatkan harus berpuasa dua bulan berurutan. Hal itu berdasarkan firman Allah ta’ala:

(وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا . . . ثم قال : فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنْ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا ) النساء/92 .

“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.  (Kemudian dalam firman-Nya … Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. AN-Nisaa’: 92

Kedua: dia harus membayar diyat janin (yaitu sepersepuluh dari diyat ibunya. Sementara diyah wanita muslimah adalah 50 unta, (perkiraan sekarang dengan riyal saudi adalah 60 ribu riyal) maka seorang ayah harus membayar 6.000 riyal saudi atau senilai itu untuk mata uang asing kepada ahli waris janin. Dan dibagi kepada mereka seakan janin meninggal dunia untuk mereka. Sementara ayahnya tidak mendaptkan warisan apapun karena pembunuh tidak mendapatkan warisan dari yang dibunuhnya. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Meskipun pelaku kejahatan yang menggugurkan janin itu ayahnya atau dari ahli waris lainnya, maka dia tetap harus membayar girroh (girrah adalah hamba sahaya baik lelaki maupun perempuan. Senilai 5 unta dan tadi sudah diperkirakan sekarang sekitar 6.000 riyal saudi). Dia tidak dapat warisan apapun, dan memerdekakan budak. Dan ini pendapat Zuhri, Syafi’I dan lainnya.” Selesai Mugni, 12/81. Wallahu a’lam shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi kita Muhammad

Refrensi: Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid