Alhamdulillah.
Syarat sahnya mandi harus terpenuhi, kalau tidak ada, maka mandinya batal. Syarat-syarat tersebut adalah:
Syarat pertama: niatan
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
رواه البخاري 1 ، ومسلم 1907)
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatan. Dan setiap orang sesuai dengan apa yang diniatkannya. HR. Bukhori, 1 dan Muslim, 1907.
Ketika memulai mandi harus meniatkan dalam mandinya menghilangkan janabat. Syekh Izzudin bin Abdus Salam rahimahullah mengatakan, “Tujuan niat adalah membedakan antara ibadah satu dengan kebiasaan (adat). Atau membedakan tingkatan ibadah sewaktu melakukan ibadah dengan adat (kebiasaan). Hal itu ada beberapa contoh:
Salah satunya adalah mandi. Antara mandi karena mendekatkan diri kepada Allah seperti mandi (janabat) untuk menghilangkan hadats dengan mandi lainnya yang tujuannya untuk mendinginkan badan, membersihkan, mandi biasa, untuk obat dan menghilangkan kotoran (tubuh). Ketika ada kemungkinan diantara maksud ini, maka harus dibedakan antara tujuan pendekatan diri kepada Allah dari apa yang tujuannya untuk kepentingan seorang hamba itu sendiri. selesai dari ‘Qowaidul Ahkan, (1/207).
Lajnah Daimah Lil Bukhuts Ilmiyah Wal Ifta’ ditanya, “Saya mandi dalam kondisi bersih oleh karena itu saya tidak meniatkan untuk menghilangkan hadats besar. Setelah mandi, saya teringat kalau saya dalam kondisi junub sebelum mandi. Apakah saya harus mengulangi mandi atau dengan mandi itu sudah cukup untuk bersuci (dari hadats besar).
Maka dijawab, “Kalau niatan anda dengan niatan membersihkan dan mendinginkan (tubuh). Maka anda harus mengulangi mandi dengan niatan menghilangkan hadats besar. Karena anda belum berniat waktu mandi pertama. Sementara Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatan.
Lajnah Daimah Lil bukhuts Ilmiyah Wal Ifa’.
Sholeh AlFauzan, Abdul Aziz Ali Syekh, Abdullah Gudyan, Abdurrozaq Afifi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Selesai dari ‘Fatawa Lajnah Daimah, kumpulan buku kedua, (4/133).
Syarat kedua: air yang digunakan untuk mandi bersih.
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Air yang berubah itu tidak lepas karena najis atau bukan najis. Kalau (berubah) karena najis. Maka para ulama sepakat (ijma’) bahwa air itu tidak suci dan tidak dapat mensucikan.” Selesai dari ‘At-tamhid, (16/19).
Kalau dia memulai mandi kemudian diingatkan bahwa airnya itu najis, maka dia harus mengulangi mandinya dengan air suci. Sementara air yang berjatuhan dari badan orang yang mandi itu termasuk suci.
Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ahli ilmu sepakat (ijma’) bahwa seorang yang berhadats dimana di badannya tidak ada najisnya kalau sekiranya disiram air di wajah atau di lengannya kemudian air tersebut mengalir di bajunya, maka itu termsuk bersih. Hal itu karena air yang suci menyentuh badan yang bersih. Dari kesepakatan ahli ilmu ini, bahwa tetasan sisa air dari anggota tubuh orang yang berwudhu dan mandi. Dan apa yang tertetes dari bajunya itu termasuk suci. Dan ini merupakan dalil sucinya air musta’mal (habis dipakai). Selesai dari ‘Al-Ausath, (1/288).
Kalau seorang muslim mandi dengan air suci dan jatuh airnya ke tanah yang suci, kembali air yang jatuh tadi mengenai tubuhnya sekali lagi, maka hal itu tidak mempengaruhi keabsahan mandinya dan kesucian badannya.
Mayoritas kamar mandi yang marak sekarang adalah bahwa tempat buang air besar terpisah dengan tempat mandi. Maka tidak akan najis dengan hal itu. Tidak dianggap keraguannya di lantai kamar mandi. Agar tidak membuka pintu was was dan terlalu berlebihan. Tidak dihukumi najis air yang jatuh ke tanah atau kembali terkena tubuh di sela-sela mandi. Kecuali kalau dia mengetahui adanya najis di tanah dimana dia mandi.
Syarat ketiga: hendaknya air sampai ke seluruh badan. Dimana tidak ada yang menghalangi sampainya air ke kulit atau rambut. Karena janabat terkait dengan semua tubuh.
Nawawi rahimahullah berkata, “Mereka (para ulama) sepakat bahwa janabat mengenai semua badan.” Selesai dari ‘Al-Majmu’, (1/467).
Cotohnya Kalau di kulit ada tempelan obat kesehatan atau bahan di rambut atau di kulit membentuk keras yang menahan (sampainya) air. Maka mandi dalam kondisi seperti ini tidak sah. Maka harus dihilangkan bahan-bahan ini agar sah mandinya.
Sementara kuku yang panjang dengan adanya kotoran di dalamnya, seringkali air tidak sampai di bawah kuku, kalau terhalangi (tidak sampai) maka itu sangat sedikit sekali maka hal itu masih dimaafkan. Karena hal itu seringkali terjadi diantara orang-orang. Sementara agama tidak memerintahkan menyelidiki sampainya air disela-sela wudhu dan mandi.
Nawawi rahimahullah berkata, “Kalau sekiranya dibawah kuku ada kotoran, kalau air tidak sampai di bawahnya karena sedikitnya air, maka wudhunya sah.
Kalau terhalangi, Al-Mutawali menegaskan bahwa hal itu tidak diterima dan tidak menghilangkan hadats. Sebagaimana kalau kotoran itu ada di tempat badan lainnya. Sementara Gozali dalam Ihya’ menegaskan diterima dan sah wudhu serta mandinya. Hal itu dimaafkan karena hal itu ada keperluannya. Beliau menambahi, karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan mereka memotong kuku dan mengingkari kotoran yang ada dibawah kuku dan tidak memerintahkan mereka mengulangi shalat. Selesai dari Al-Majmu’, (1/287).
Syeikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Kalau ada yang menghalangi kotoran kuku dan semisalnya sampainya air (ke kulit), bersucinya tetap sah.” Selesai dari ‘Fatawa Kubro, (5/303). Silahkan merujuk untuk tambahan faedah sisi yang pertama di jawaban soal no. 265777 dan no. 27070.
Syarat keempat: yaitu masalah yang masih diperselisihkan dikalangan ahli ilmu. Yaitu berurutan (muwalat) antara anggota badan yang dimandikan dan tidak ada jeda waktu lama.
Ibnu Qudama rahimahullah mengatakan, “Kebanyakan para ahli ilmu tidak menjadikan jeda dalam mandi termasuk pembatal mandi. Kecuali Rabi’ah beliau mengatakan, “Siapa yang sengaja hal itu, maka saya berpendapat hendaknya dia mengulangi mandi. Dan ini pendapat Laits, dan masih diperselisihkan dari Malik dan termasuk salah satu pendapat dari kalangan teman-teman Syafi’i. Dan pendapat jumhur (mayoritas ulama) itu yang lebih utama. Tidak diharuskan tartib dan tidak diwajibkan berurutan.” Selesai dari ‘Mugni, (1/291-292).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam penjelasannya kitab ‘Zadul Mustaqni’, “Yang nampak dari perkataan pengarang rahimahullah bahwa berurutan (muwalat) bukan syarat dalam mandi, kalau sekiranya menyiram sebagaian badannya kemudian disempurnakan setelah waktu lama menurut adat, maka mandinya sah. Dan ini menurut pendapat mazhab.
Pendapat lain dikatakan, bahwa beruruan (muwalat) termasuk syarat (mandi). Dan ini riwayat dari Imam Ahmad dan dikatakan termasuk salah satu sisi dari rekan-rekan mazhab. Dan ini –maksudnya bahwa berurutan termasuk syarat (mandi) – termasuk yang terkuat. Karena mandi adalah ibadah yang menyatu. Maka selayaknya dibangun sebagian dengan sebagian lainya secara berurutan. Akan tetapi kalau terjeda karena ada uzur, seperti habisnya air di sela-sela mandi kemudian mendapatkan setelah itu. Tidak harus mengulangi apa yang telah dibasuh pertama tadi tapi menyempurnakan sisanya saja. Selesai dari Syarkhu Mumti’, (1/365).
Seorang muslim hendaknya berhati-hati dalam mandinya, jangan terputus diantara anggota tubuhnya dengan jeda waktu lama. Keluar dari perbedaan ini dan sebagai kehati-hatian atas sahnya shalat.
Wallahu a’lam