Alhamdulillah.
Berikut ini kekeliruan yang terjadi saat thawaf;
Pertama:
Melafazkan niat saat hendak thwaf. Anda dapatkan jamaah haji berdiri menghadap Hajar Aswad jika hendak thawaf, lalu berkata, “Allahumma inni nawaitu An Athuufa sab’ata Asywaathin lil umrah, allahumma inni nawaitu an athuufa sab’ata asywaatin lilhaj, allahumma ini nawait an athufa sab’ata asywaatin taqarruban ilaik.. (Ya Allah, aku niat thawaf tujuh putaran untuk umrah, ya Allah, aku niat thawaf tujuh putara untuk haji, ya Allah, aku niat thawaf tujuh putaran unutk taqarrub kepadaMu)
Kedua:
Melafazkan niat adalah bid’ah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukannya dan tidak memerintahkan umatnya untuk melakukan hal itu. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak memerintahkan umatnya, sungguh dia telah berbuat bid’ah dalam agama Allah yang tidak bersumber darinya. Melafazkan niat dalam thawaf adalah keliru dan bid’ah. Sebagaiman dia salah dari sisi syariat, diapun keliru dari segi akal. Tuntutan apa yang membuat seseorang harus mengucapkan niatnya, padahal masalah niat adalah urusan antara dirinya dengan Allah Ta’ala. Sedangkan Allah Ta’ala Maha Mengetahui apa yang terdapat dalam hati dan Dia mengetahui bahwa anda akan melakukan thawaf tersebut.Jika Allah maha mengetahui semua itu, maka tidak ada tuntutan bagi anda untuk menampakkannya di hadapan hamba-hamba Allah.
Sedangkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah thawaf sebelum anda dan tidak melafazkan niat ketika thawaf. Para shahabat pun sebelumnya pernah thawaf dan mereka tidak melafazkan niatnya, juga pada ibadah lainnya. Ini (melafazkan niat) adalah kekeliruan.
Saling berdesak-desakkan dengan sangat saat hendak mengusap Hajar Aswad atau Rukun Yamani tidak disyariatkan. Tapi jika dapat dengan mudah mencapainya, maka itulah yang dituntut. Namun jika tidak mudah, cukup anda memberikan isyarat ke Hajar Aswad.
Adapun Rukun Yamani, tidak terdapat riwayat dari Nabi shallalalhu alaihi wa sallam bahwa beliau memberikan isyarat kepadanya. Tidak mungkin mengqiyaskannya ke Hajar Aswad. Karena Hajar Aswad lebih mulia darinya. Dan Hajar Aswad terdapat riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau memberikan isyarat kepadanya.
Berdesak-desakan, selain bahwa dia tidak disyariatkan dalam kondisi seperti itu, juga sebagaimana dikhawatirkan terjadi fitnah jika saat berdesak-desakkan terdapat wanita, di sisi lain hal tersebut dapat menimbulkan kekeruhan dalam hati dan pikiran. Karena seseorang di saat berdesak-desakan tersebut akan mendengar ucapan-ucapan yang tidak dia suka. Anda akan dapatkan seseorang menahan amarahnya dan kekesalannya jika keluar dari tempat tersebut.
Yang seharusnya ditampilkan oleh orang yang thawaf adalah selalu menjaga ketenagan dan selalu menghadirkan suasana taat kepada Allah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إنما جعل الطواف بالبيت وبين الصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله .
“Sesungguhnya ditetapkannya thawaf di Baitullah dan (sai) antara shafa dan Marwa serta melontar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah.”
Ketiga:
Sebagian orang mengira bahwa thawaf tidak sah tanpa mencium Hajar Aswad dan bahwa mencium Hajar Aswad merupakan syarat sahnya thawaf dan juga sahnya haji dan umrah. Ini adalah pemahaman keliru. Mencium Hajar Aswad adalah sunah, juga bukan sunah yang berdiri sendiri, tapi sunah bagi orang yang thawaf. Saya tidak mengetahui bahwa mencium Hajar Aswad disunahkan bagi orang yang tidak thawaf. Maka, jika mencium Hajar Aswad merupakan sunah dan bukan wajib serta syarat haji, maka siapa yang tidak mencium Hajar Aswad tidak kita katakana bahwa thawafnya tidak sah dan bahwa thawafnya kurang yang dapat menyebabkan dosa. Justeru thawafnya sah. Jika kondisinya sangat padat, maka memberi isyarat lebih utama dari mengusap, karena itulah perbuatan yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam saat berdesak-desakan. Juga karena manusia dengan mengamalkan hal itu akan terhindar dari perbuatan buruk kepada orang lain, atau perbuatan buruk orang lain terhadap dirinya.
Seandainya ada orang bertanya kepada kita, sesungguhnya tempat thawaf penuh sesak, bagaimana pendapat anda apakah lebih utama berdesak-desakkan untuk mengusap dan mencium Hajar Aswad atau lebih utama memberikan isyarat?
Kami katakan, “Yang lebih utama adalah memberikan isyarat, karena sunah adalah sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Keempat:
Mencium Rukun Yamani. Mencium Rukun Yamani tidak terdapat dalil dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebuah ibadah, jika tidak terdapat riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, maka dia merupakan bid’ah dan bukan ibadah. Karena itu, tidak disyariatkan bagi seseorang untuk mencium rukun Yamani, karena hal tersebut tidak terdapat riwayatnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi terdapat riwayat hadits dhaif yang tidak layak dijadikan hujjah.
Kelima:
Sebagian orang, ketika mengusap Hajar Aswad atau Rukun Yamani mengusapnya dengan tangan kiri, seperti orang yang meremehkannya. Ini adalah keliru, karena tangan kanan lebih mulia dari tangan kiri. Tangan kiri, hendaknya tidak digunakan kecuali untuk perkara-perkara yang kotor, seperti untuk istinja dan semacamnya. Adapun mencium dan penghormatan, maka hendaknya dengan tangan kanan.
Keenam:
Mereka mengira bahwa mengusap Hajar Aswad dan Rukun Yamani adalah untuk tabarruk (mengharap berkah) bukan untuk beribadah. Maka mereka mengusapnya dengan harapan mendapatkan berkah. Ini tidak diragukan lagi, bertentangan dengan tujuan sebenarnya. Karena tujuan dari mengusap Hajar Aswad atau mengusap dan menciumnya adalah merupakan pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jika mencium Hajar Aswad, dia berkata, “Allahu Akbar” sebagai isyarat bahwa yang dimaksud adalah pengagungan kepada Allah Ta’ala, maksudnya bukan mengharap berkah dengan mengusap Hajar Aswad. Karena itu, Amirul Mukminin Umar bin Khatab radhiallahu anhu berkata saat mengusap Hajar Aswad,
والله إني لأعلم أنك حجر ، لا تضر ولا تنفع ، ولولا أني رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبلك ما قبلتك .
“Demi Allah, sungguh aku mengetahui, engkau adalah batu, tidak mendatangkan manfaat atau bahaya, seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak menciummu.”
Ini adalah pemahaman keliru oleh sebagian orang, mereka mengira bahwa yang dimaksud dengan mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad adalah sebagai tabarruk (mengharap barokah), sehingga ada sebagian mereka yang membawa anaknya yang kecil lalu tangannya mengusap rukun tersebut atau ke Hajar Aswad, kemudian dia usapkan ke anaknya dengan tangan yang tadi digunakan untuk mengusap Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Ini adalah keyakinan rusak yang wajib dilarang dan dijelaskan kepada masyarakat bahwa batu-batuan tersebut tidak berbahaya dan bermanfaat. Dan bahwa maksud mengusapnya adalah mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan menegakkan zikir kepada Allah serta meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Semua perkara ini dan semacamnya termasuk perkara yang tidak disyariatkan, bahkan dia bidah yang tidak memberikan manfaat kepada pelakunya sedikitpun. Akan tetapi, jika pelakunya bodoh dan tidak tahu bahwa hal itu adalah bid’ah, semoga dai dimaafkan, namun jika dia mengetahuinya atau masa bodoh terhadap agamanya sehingga enggan bertanya, maka dia berdosa.
Sebagian orang mengkhususkan setiap putaran dengan doa tertentu. Ini merupakan bid’ah yang tidak ada riwayatnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengkhususkan doa tertentu dalam setiap putarannya, juga para shahabatnya. Paling jauh dalam masalah ini adalaah bahwa Rasulullah shallallahua alaihi wa sallam membaca dalam Rukun Yamani dan Hajar Aswad, “Rabbana aatina fiddunya hasanah wa fil aakhirati hasanah, wa qinaa azaabannaar.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إنما جعل الطواف بالبيت والصفا والمروة ورمي الجمار لإقامة ذكر الله
“Sesungguhnya ditetapkannya thawaf di Baitullah dan (sai) antara shafa dan Marwa serta melontar jumrah adalah untuk menegakkan zikir kepada Allah.”
Bid’ah seperti ini semakin bertambah kesalahannya, jika orang yang thawaf membawa buku kecil yang tertulis di dalamnya doa khusus untuk setiap putaran, lalu dia membaca doa dari buku tersebut dan tidak mengetahui apa yang dia ucapkan, apakah karena dia tidak mengerti bahasa Arab sehingga tidak mengetahui maknanya, atau dia orang Arab dan berbicara dengan bahasa Arab, namun dia tidak memahami apa yang dia baca. Bahkan kami pernah mendengar orang yang berdoa dengan beberpa doa, namun kenyataannya doa tersebut telah melenceng jauh. Di antaranya kami mendengar orang berdoa,
اللهم اغنني بجلالك عن حرامك
“Ya Allah cukupkanlah dengan Kemulyaan-Mu dari harta yang haram.”
Yang benar adalah
بحلالك عن حرامك
“Ya Allah cukupkanlah dengan (harta) HalalMu dari yang haram.
Di antaranya juga kami saksikan bahwa sebagian orang membaca buku kecil ini. Apabila doa yang khusus untuk satu putaran telah selesai dia berhenti berdoa di sisa putaran tersebut, wakalaupun tempat thawaf sepi, apabila putarannya telah selesai sebelum doanya selesai, maka dia hentikan doanya.
Cara mengatasi hal ini adalah dengan kita menjelaskan kepada jamaah haji bahwa orang yang thawaf boleh berdoa dengan doa apa saja yang dia inginkan dan berzikir kepada Allah Ta’ala dengan apa yang dia kehendaki. Jika telah kita jelaskan hal ini, maka problem ini akan hilang.
Hukum orang yang melakukan perbuatan bid’ah ini
Orang-orang dalam perkara yang mereka lakukan ini ada beberapa kemungkinan;
Apakah dia bodoh sekali, sama sekali tidak terbayang kalau hal ini diharamkan, orang seperti ini diharapkan tidak ada hukum apa-apa baginya.
Apakah dia orang mengetahui dan sengaja melakukannya agar tersesat dan menyesatkan orang lain. Orang seperti ini jelas berdosa dan berdosa pula orang yang mengikutinya.
Ataukah dia orang bodoh namun menyepelekan masalah agama, enggan bertanya kepada para ulama, dikhawatirkan orang seperti ini berdosa karena kelalaiannya dan tidak bertanya.
Inilah kekeliruan yang kami sebutkan dalam masalah thawaf. Kita mohon semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada saudara-saudara kita yang muslim sehingga thawaf mereka sesuai dengan ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Agama tidak diambil berdasarkan perasaan, akan tetapi berdasarkan apa yang diterima dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.