Alhamdulillah.
Shalat witir merupakan ibadah kepada Allah Taala yang sangat agung, bahkan sebagian ulama (yaitu ulama dalam mazhab Hanafi) berpedapat bahwa hal itu perkara wajib. Akan tetapi pendapat yang shahih adalah bahwa dia termasuk sunah mu’akkad (sunah yang sangat ditekankan) yang semestinya selalu dilakukan oleh seorang muslim dan tidak meninggalkannya.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Siapa yang meninggalkan shalat witir, maka dia adalah orang yang buruk, tidak layak persaksiannya diterima”
Hal ini menunjukkan sangat kuatnya anjuran shalat witir.
Tata cara shalat witir dapat kami simpulkan sebagai berikut;
Waktunya;
Dimulai dari sejak seseorang telah shalat Isya, walaupun shalatnya dijamak taqdim dengan shalat Maghrib hingga matahari terbit. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَمَدَّكُمْ بِصَلاةٍ وهي الْوِتْرُ جَعَلَهُ اللَّهُ لَكُمْ فِيمَا بَيْنَ صَلاةِ الْعِشَاءِ إِلَى أَنْ يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Sesungguhnya telah memberikan kalian shalat, yaitu shalat witir, Dia menjadikannya untuk kalian antara shalat Isya hingga masuk waktu fajar.” (HR. Tirmizi, no. 425, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahi Tirmizi)
Apakah yang lebih utama melakukannya lebih awal atau diakhirkan?
Sunah menunjukkan bahwa siapa yang bersemangat untuk qiyamullail di akhir malam, maka lebih utama baginya untuk mengakhirkannya, karena shalat di akhir malam lebih utama dan disaksikan. Adapun siapa yang khawatir tidak dapat melakukannya di akhir malam, hendaknya dia melakukan shalat witir sebelum tidur berdasarkan hadits Jabir radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَافَ أَنْ لا يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ (رواه مسلم، رقم 755)
“Siapa yang khawatir tidak dapat bangun di akhir malam, hendaknya dia melakukan shalat witir di awal malam. Siapa yang bersemangat untuk bangun di akhir malam, hendaknya dia shalat witir di akhir malam. Sesungguhnya shalat di akhir malam disaksikan dan itu lebih utama.” (HR. Muslim, no. 755)
An-Nawawi berkata, “Inilah pendapat yang benar. Hadits-hadits lainnya yang bersifat mutlak hendaknya dipahami dengan pemahaman yang shahih dan jelas seperti ini. Di antaranya hadits “Aku diwasiatkan kekasihkan untuk tidak tidur sebelum witir” Hadits ini dipahami bagi siapa yang tidak yakin dapat bangun (di akhir malam).” (Syarah Muslim, 3/277)
Jumlah rakaatnya;
Shalat witir minimal satu rakaat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam;
الْوِتْرُ رَكْعَةٌ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ (رواه مسلم، رقم 752)
“(Shalat) witir adalah satu rakaat di akhir malam.”
Juga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
صَلاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمْ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى (رواه البخاري، رقم 911 ومسلم، رقم 749)
“Shalat malam dua rakaat-dua rakaat. Jika salah seorang dari kalian khawatir masuk waktu Shubuh, hendaknya dia shalat satu rakaat untuk mengganjilkan shalat yang telah dia lakukan.” (HR. Bukhari, no. 911, dan Muslim, no. 749)
Jika seseorang mencukupi shalat satu rakaat, dia telah melakukan sunah, boleh juga shalat witir tiga rakaat, lima, tujuh dan Sembilan.
Jika shalat witirnya tiga kali, ada dua cara yang kedua-duanya disyariatkan;
Pertama: Melakukan tiga rakaat langsung dengan satu kali tasyahud. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
كان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يسلّم في ركعتي الوتر (وفي لفظ) كان يوتر بثلاث لا يقعد إلا في آخرهن (رواه النسائي، 3/234 والبيهقي، 3/31 قال النووي في المجموع، 4/7 رواه النسائي بإسناد حسن ، والبيهقي بإسناد صحيح . اهـ)
“Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan salam di dua rakaat shalat witir.” Dalam redaksi lain, “Beliau melakukan shalat witir tiga rakaat, tidak duduk (tasyahud) kecuali di rakaat terakhir.” (HR. An-Nasai, 3/234, An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu, 4/7. An-Nasai meriwayatkan dengan sanad hasan, sedangkan Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad shahih)
Kedua: Melakukan salam setelah dua rakaat kemudian witir dengan satu rakaat. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma, bahwa beliau memisahkan antara yang genap (dua rakaat) dan ganjil (satu rakaat) masing-masing dengan sekali salam. Dan beliau mengabarkan bahwa Nabi shallalahu alaihi wa sallam melakukan hal itu. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, no. 2435. Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari, 2/482, sanadnya kuat.
Adapun jika dia shalat witir dengan lima rakaat atau tujuh rakaat, maka hendaknya dilakukan dengan bersambung, dan cukup dengan sekali tasyahud di rakaat terakhir lalu salam. Berdasarkan riwayat Aisyah radhiallahu anha, dia berkata,
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يصلي من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس في شيء إلا في آخرها (رواه مسلم، رقم 737)
“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat di malam hari, tiga belas rakaat, beliau shalat witir dengan lima rakaat, tidak duduk (tasyahud) kecuali di rakaat terakhir.” (HR. Muslim, no. 737)
Dari Ummu Salamah radhiallahu anhu dia berkata, “Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat witir lima dan tujuh rakaat, beliau tidak memisahnya dengan salam dan pembicaraan.” (HR. Ahmad, 6/290, An-Nasai, no. 1714. Imam An-Nawawi berkata, ‘Sanadnya bagus’. Al-Fathurrabani, 2/297, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasai)
Jika seseorang witir dengan Sembilan rakaat, maka seluruh rakaatnya disambung, lalu duduk tasyahud pada rakaat ke delapan, kemudian berdiri lagi tidak salam, lalu tasyahud lagi pada rakaat ke Sembilan, lalu salam.
Berdasarkan riwayat Aisyah radhiallahu anha sebagaiman dalam riwayat Muslim, no. 746, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat sebanyak Sembilan rakaat, tidak duduk di dalamnya kecuali pada rakaat ke delapan, lalu berzikir kepada Allah, memujinya dan berdoa, kemudian bangkit tanpa salam, kemudian berdiri dan shalat di rakaat ke Sembilan, kemudian duduk berzikir kepada Allah, memuji dan berdoa kepadaNya, kemdian salam dengan salam yang dapat kami dengarkan.”
وإن أوتر بإحدى عشرة ، فإنه يسلم من كل ركعتين ، ويوتر منها بواحدة .
Jika shalat witir sebelas rakaat, maka dia hendaknya shalat setiap dua rakaat salam, lalu di akhirnya shalat satu rakaat.
Minimal Kesempurnaan Rakaat Dan Bacaannya
Shalat witir yang sempurna minimal dua rakaat lalu salam, kemudian shalat lagi satu rakaat dan salam. Boleh juga dilakukan sekaligus (tiga rakaat) dan sekali salam, tapi dengan sekali tasyahud, bukan dengan dua tasyahud.
Pada rakaat pertama dari tiga rakaat hendaknya membaca “sabbihisma rabbikal a’la” (surag Al-A’la) secara sempurna. Pada rakaat kedua membaca surat; Al-Kafirun sedangkan pada rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlash.
Imam An-Nasai meriwayatkan, no. 1729, dari Ubay bin Ka’b, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِسَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (وصححه الألباني في صحيح النسائي)
“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat witir membaca sabbihisma robbikal a’la (surat Al-A’la) dan Qul yaa ayyuhal kaafiruun (surat Al-Kafirun) serta Qul huwallahu ahad (surat Al-Ikhlash).” (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Semua tata cara ini dalam shalat witir terdapat dalilnya dalam sunah. Yang sempurna adalah tidak berpatokan dengan satu cara saja, tapi sekali waktu melakukan, di waktu lain melakukan cara yang lain. Demikian seterusnya, sehingga dia melakukan seluruh perbuatan sunah.