Kamis 13 Jumadil Ula 1446 - 14 November 2024
Indonesian

Hakekat Penghambaan Kepada Allah Ta’ala

Pertanyaan

Saya telah membaca pada soal nomor: 11804 bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah agar mereka meng-Esakan Allah dalam beribadah, bisakah anda menjelaskan kepada saya tentang hakekat ibadah ?

Ringkasan Jawaban

Ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, disertai rasa cinta kepada Allah, takut dan penuh harap kepada-Nya. Dan penghambaan kepada Allah adalah masalah menyeluruh yang mendominasi kehidupan seorang muslim, maka ia pada saat ia bekerja di bumi untuk mencari rizeki ia beribadah kepada Allah. Dan dia pada saat tidur, maka ia tidur untuk menguatkan ibadah kepada Allah Ta’ala. Dan cara sampai kepada tingkatan ini, dengan cara seorang hamba menghadirkan diri untuk menyebut Tuhannya, dalam keadaan ia bekerja pada banyak sisi kehidupan, lalu ia bertanya pada dirinya, apakah berada di posisi yang diridhoi oleh Tuhannya atau dimurkai oleh-Nya ?

Alhamdulillah.

  • Definisi Ibadah

Ibadah  menurut bahasa adalah ketundukan dan kehinaan, orang-orang Arab berkata: هذا طريق مُعَبَّدْ (ini adalah jalan yang ditundukkan), yaitu; ditundukkan karena banyaknya jejak kaki di atasnya.

Adapun menurut istilah maka ibadah ini dibagi dua hal:

Pertama:

Perbuatan seorang hamba, seperti ia sedang shalat atau sedang berzakat, maka perbuatannya ini disebut ibadah, dan para ulama telah mendefinisikan ibadah ini: “Adalah ketaatan kepada Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya disertai rasa cinta, takut dan penuh harap kepada-Nya”.

Kedua:

Adalah aktifitas yang diperintahkan oleh-Nya, meskipun belum dikerjakan oleh seorang pun, seperti; aktifitas shalat, zakat, dan lain sebagainya. Maka para ulama mendefinisikannya: “Ia adalah nama yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dari mulai ucapan, perbuatan yang lahir dan yang batin”.

Dan semua yang diperintahkan ini dinamakan ibadah karena mereka yang terkena kewajiban beribadah ini melaksanakannya dalam kondisi tunduk, hina, cinta kepada Tuhan mereka -Jalla wa Ta’ala-. Maka diwajibkan dalam beribadah kepada Allah dengan menyempurnakan cinta kepada-Nya disertai kesempurnaan tunduk dan hina kepada-Nya -subhanahu-.

Dan Tuhan kita telah menjelaskan bahwa tujuan yang agung dan tujuan yang tinggi dari penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka beribadah kepada-Nya semata tidak ada sekutu bagi-Nya. Maka Allah -Jalla Sya’nuhu- berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

الذاريات/56

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyaat: 56)

Hakekat Ibadah kepada Allah

Lalu bagaimana kita merealisasikan tujuan ini dan sampai kepada tujuan ini ?

Banyak dari manusia mengira bahwa ibadah tidak lepas dari sekumpulan penghambaan yang telah Allah perintahkan untuk dilaksanakan pada waktunya yang diketahui -seperti shalat, puasa, dan haji, dan dengan ini semuanya selesai- dan tidaklah masalahnya seperti yang diperkirakan oleh mereka.

Berapa waktu yang dibutuhkan untuk syi’ar-syi’ar penghambaan dalam sehari semalam ?, bahkan berapa banyak yang dibutuhkan dari usia manusia itu sendiri ?!

Jadi kemana sisa usianya ?, kemana sisa kemampuannya ?, dan di mana sisa waktunya ?, di mana anda bersedekah dan kemana anda pergi ?, apakah anda bersedekah untuk beribadah atau pada yang lainnya ?, dan jika anda akan bersedekah pada selain ibadah, lalu bagaimana akan terealisasi keberadaan manusia yang telah dibatasi oleh ayat dengan sempurna dalam beribadah kepada Allah ?, dan bagaimana akan terealisasi firman Allah Ta’ala:

قل إن صلاتي ونسكي ومحياي ومماتي لله رب العالمين

الأنعام/162

“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al An’am: 162)

Bahwa ibadah ini adalah masalah menyeluruh yang mendominasi kehidupan seorang muslim, maka dia pada saat bekerja di bumi untuk mencari rizeki ia sedang beribadah kepada Allah, karena Tuhannya telah memerintahkan akan hal itu dalam firman-Nya:

فامشوا في مناكبها وكلوا من رزقه وإليه النشور

الملك/15

“maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al Mulk: 15)

Dan ia pada saat tidur ia tidur agar menjadi kuat beribadah kepada Allah Ta’ala, sebagaimana ucapan Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu ‘anhu-:

إني لأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي  أخرجه البخاري 4342

“Sungguh saya berharap dari tidurku, apa yang saya harap dalam terjagaku”. (HR. Bukhori: 4342)

Maksudnya adalah ia berharap pahala dalam tidurnya sebagaimana ia berharap pahala saat terjaga untuk qiyamullail, bahkan seorang muslim tidak ridho kecuali ia menikmati makanan, minuman, pernikahan berada dalam timbangan kebaikannya, sebagaimana sabda Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

 وفي بضع أحدكم صدقة . قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: أرأيتم لو وضعها في الحرام أكان عليه وزر؟ قالوا: نعم . قال: فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر  أخرجه مسلم 1006.

“Dan pada kemaluan salah seorang kalian terdapat sedekah. Mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang kami mendatangi syahwatnya dan ia mendapatkan pahala ?, beliau bersabda: “Tidakkah kalian melihat, jika ia menaruhnya pada yang haram, apakah ia menjadi dosa ?, mereka menjawab: “iya”. Beliau bersabda: “Begitu juga jika ia menaruhnya  pada yang halal, maka baginya pahala”. (HR. Muslim: 1006)

Dan cara untuk sampai pada tingkatan agung ini pada ibadah kepada Allah Ta’ala dengan cara seorang hamba menghadirkan mengingat Allah dalam kondisi ia sedang bekerja pada banyak sisi kehidupan, lalu ia bertanya pada dirinya: apakah berada pada tempat yang diridhoi oleh Tuhannya atau termasuk yang dimurkai ?, jika berada pada kondisi yang diridhoi maka bersyukurlah kepada Allah dan tambahlah kebaikannya, dan jika dalam kondisi sebaliknya, maka mintalah ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya, sebagaimana kondisi hamba-hamba Allah yang bertaqwa yang Allah sifati mereka dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ. أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

آل عمران/ 135، 136

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (QS. Ali Imron: 135-136)

Bagaimanakah Beribadah kepada Allah menurut ulama salafus shalih ?

Dan begitulah bentuk peribadatan dalam perasaan generasi salaf kita dari kalangan para sahabat dan dari generasi setelah mereka, mereka tidak hanya terbatas pada bingkai syi’ar-syi’ar ibadah saja, karena tiap detik-detik yang mereka jalani dalam melaksanakan syi’ar-syi’ar tersebut adalah menjadi detik-detik ibadah, dan sisa kehidupan mereka lainnya “di luar ibadah”, akan tetapi dalam perasaan salah seorang dari mereka bahwa seluruh kehidupannya adalah ibadah dan bahwa syi’ar-syi’ar ini hanyalah detik-detik fokus di mana manusia berbekal dengan kekuatan iman yang akan membantunya untuk melaksanakan sisa ibadah-ibadah lainnya. Dan karenanya mereka memfokuskan diri secara khusus, seperti halnya seorang musafir memfokuskan diri untuk berbekal dengan bekal yang akan membantunya selama perjalanan dan pada saat di mana ia akan mendapatkan bekal di dalamnya.

Mereka telah menjadi apa yang telah disifati oleh Tuhan mereka:

يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم

آل عمران/191

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring”. (QS. Ali Imron: 191)

Yaitu; pada semua keadaan mereka, karena mereka menggabungkan berdzikir dengan lisan, dengan hati dan keagungan Allah dan rasa takut kepada-Nya hadir dalam hati mereka pada setiap amal yang mereka kerjakan, atau ucapan yang mereka utarakan, dan jika terjadi kejadian tertentu, atau lalai dari salah seorang mereka, lalu tergelincir atau melakukan kesalahan maka kondisinya sebagaimana yang telah Allah sifati dalam beberapa ayat yang telah disebutkan sebelumnya dari surat Ali Imran.

Setiap Manusia Adalah Seorang Ahli Ibadah dengan Fitrahnya

Kemudian ketahuilah -semoga Allah memberikan taufik kepadamu- bahwa setiap manusia adalah ahli ibadah dengan fitrahnya, yaitu; bahwa ia otomatis dalam ibadah; baik menjadi ahli ibadah kepada Allah semata tanpa sekutu, atau menjadi ahli ibadah kepada sesuatu yang lain selain Allah, bersama-Nya atau tanpa-Nya, keduanya sama !. dan ibadah ini adalah yang Allah -subhanahu wa ta’ala- namakan sebagai: “Ibadahnya syetan” karena ia mengikuti ajakan syetan:

ألم أعهد إليكم يا بني آدم ألا تعبدوا الشيطان إنه لكم عدو مبين وأن اعبدوني هذا صراط مستقيم

يس/60

“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”. (QS. Yaasiin: 60)

Dan tidaklah sama kehidupan manusia sebagai ahli ibadah kepada Allah dan ibadah kepada syetan:

أفمن يمشي مكباًّ على وجهه أهدى أم من يمشي سويا على صراط مستقيم

الملك/22

“Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapatkan petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”. (QS. Al Mulk: 22)

قل هل يستوي الأعمى والبصير أم هل تستوي الظلمات والنور

الرعد/16

“Katakanlah: “Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang”. (QS. Ar Ra’du: 16)

Dan syetan menyeret manusia secara perlahan sebagai upaya menjauhkannya dari beribadah kepada Allah, terkadang ia berhasil menjauhakannya secara sementara, sebagaimana ia akhirnya terjerumus pada kemaksiatan:

لا يزني الزاني حين يزني وهو مؤمن، ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن..  أخرجه البخاري (2475) ومسلم (57)،

“Tidaklah seseorang berizina pada saat ia berzina dalam keadaan beriman, dan tidaklah seorang pencuri pada saat mencuri dalam keadaan beriman”. (HR. Bukhori: 2475 dan Muslim: 57)

Dan terkadang ia mampu menjauhkan manusia dengan sejauh-jauhnya, sehingga menjadi terputuslah antara seorang hamba dengan Tuhannya, dengan melakukan kesyirikan, kekufuran atau murtad -semoga Allah melindungi kita semua-.

 Menyembah Hawa Nafsu = Menyembah Syetan

Menyembah syetan ini terkadang dengan menyembah hawa nafsu, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

أرأيت من اتخذ إلهه هواه أفأنت تكون عليه وكيلاً

الفرقان/43

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,”. (QS. Al Furqon: 43)

Hamba ini yang diperintah oleh hawa nafsunya, maka apa ia lihat baik ia mengerjakannya, dan apa yang terlihat buruk maka ia meninggalkannya, ia taat kepada hawa nafsunya, mengikuti ajakannya dan seakan-akan ia menjadi hambanya sebagaimana seseorang menghamba kepada Tuhannya.

Dan terkadang ibadah ini kepada dirham dan dinar, sebagaimana sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

 تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيكَ فَلا انْتَقَشَ.. الحديث    رواه البخاري 2887.

“Celakalah hambanya dinar, dan hambanya dirham, dan hambanya pakaian sutera, jika ia diberikan (karunia) ia ridho, dan jika tidak diberi ia marah, celaka, dan candu, dan jika terkena duri maka ia tidak dapat mengeluarkannya…”. (HR. Bukhori: 2887)

Demikianlah setiap orang yang hatinya bergantung pada sesuatu selain Allah dari hawa nafsunya, jika ia mendapatkannya ia ridho dan jika tidak mendapatkannya ia marah, maka ia sebagai budak dan hamba dari hawa nafsunya; perbudakan dan penghambaan ini sebenarnya adalah perbudakan hati dan penghambaannya.

Kemudian sejauh mana syahwat ini menjauhkannya atau sebagiannya sejauh itu pula peribadahannya akan lemah kepada Tuhannya -subhanahu-, dan jika ia penyembahannya kepada syahwat dan nafsunya ini menjadi paten sampai akan menghalanginya dari agama secara keseluruhan, maka ia menjadi musyrik dan kafir. Dan jika hawa dan syahwatnya ini telah menghalanginya dari sebagian apa yang diwajibkan kepadanya, atau terhias dalam dirinya, untuk mengerjakan apa yang diharamkan baginya pada apa yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama, maka peribadahannya menjadi berkurang kepada Tuhannya, dan keimanannya kepada-Nya sejauh pada halangan tersebut.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kepada kita kesempurnaan ibadah kepada-Nya -subhanahu- dan menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang ikhlas dan menjadi wal-wali-Nya yang terdekat, sungguh Dia Maha Mendengar, Maha Dekat dan Maha Menjawab do’a.

Wallahu A’lam wa Ahkam

Sumber:

Kitab Ubudiyah karya Syeikh Islam Ibnu Taimiyah

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam