Alhamdulillah.
Pertama:Haji diwajibkan secara langsung menurut pendapat yang paling shahih di antara dua pendapat ulama, sebagaiman dijelaskan dalam jawaban no. 41702. Jika harta cukup untuk haji atau menikah, maka hendaknya mendahulukan menikah jika dia membutuhkan pernikahan dan khawatir terjerumus dalam perkara haram. Dan didahulukan haji jika tidak membutuhkan (segera) pernikahan.
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab Al-Mughni (5/12) berkata, "Jika dia membutuhkan pernikahan dan khawatir dirinya kesulitan (karena belum menikah), maka hendaknya dia mendahulukan pernikahan, karena (ketika itu, pernikahan) wajib baginya dan tidak dapat diabaikan seperti memberi nafkah. Jika dia tidak khawatir, maka hendaknya dia medahulukan haji, karena (ketika itu) pernikahan adalah sunah, maka tidak didahulukan dari haji yang wajib."
Syekh Ibnu Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya, "Apakah dibolehkan menunda haji hingga setelah
pernikahan bagi orang yang mampu. Khususnya pada zaman sekarang, para pemuda
menghadapi tantangan dan godaan, baik yang kecil maupun besar?"
Beliau menjawab, " Tidak diragukan lagi, pernikahan jika sudah ada dorongan syahwat lebih diutamakan daripada haji. Karena jika seseorang telah memiliki dorongan syahwat yang kuat, maka perkawinannya ketika itu merupakan keharusan dalam kehidupannya. Dia seperti makan dan minum. Karena itu, dibolehkan bagi orang yang membutuhkan pernikahan sedangkan dia tidak punya harta, diberitakan kepadanya harta zakat untuknya menikah. Sebagaimana zakat diberikan kepada fakir agar mereka dapat makan dan mengenakan pakaian untuk menutupi auratnya.
Karena itu kami katakan, Jika dia membutuhkan pernikahan, hendaknya dia mendahulukan pernikahan dari haji, karena Allah Ta'ala mensyaratkan wajibnya haji dengan 'kemampuan'. Dia berfirman, "Dan karena Allah, diwajibkan bagi manusia menunaikan haji ke Baitullah, bagi yang mampu menempuh perjalanannya." (QS. Ali Imran: 97)
Adapun orang yang masih remaja, dan belum ada keinginan untuk menikah pada tahun ini atau sesudahnya, maka hendaknya dia mendahulukan haji, karena dia tidak mendesak untuk mendahulukan haji atas nikah."
(Fatawa Manarul Islam, 2/375)
Karena itu, jika anda tidak khawatir terhadap diri anda untuk menunda pernikahan, maka segeralah melakukan haji. Allah akan memberikan kebaikan sebagai penggantinya. Karena haji merupakan fardhu dan syariat Islam yang agung. Dalam masalah ini, anda tidak diharuskan melaksanakan pesan orang tua, baik saat dia masih hidup atau sesudah meninggal. Karena hal itu akan berakibat tertundanya pelaksanaan ibadah haji tanpa kebutuhan yang ada pada anda.
Kedua:
Seharusnya anda berusaha mencari ridha bapak anda dengan menikah dahulu sebelum melanjutkan program S2. Imam Ahmad telah menegaskan bahwa pernikahan menjadi wajib jika diperintahkan salah satu kedua orang tua.
Al-Mardawai, "Apakah pernikahan menjadi wajib karena perintah kedua orang tua, atau perintah salah satu dari keduanya?" Imam Ahmad berkata, "Jika dia memiliki kedua orang tua yang memerintahkannya untuk menikah, maka saya perintahkan dia untuk menikah, atau jika dia seorang pemuda khawatir dirinya terjerumus maksiat, maka aku perintahkan dia untuk menikah." Beliau menjadikan perintah kedua orang tua seperti kekhawatiran seorang pemuda terjerumus dalam perbuatan nista." (Al-Inshaf, 8/14)
Ketiga:
Tidak masalah bagi sang bapak jika dia menunaikan haji dengan biaya dari anaknya. Bahkan tidak ada masalah bagi seseorang menunaikan haji dari harta orang lain secara mutlak. Akan tetapi, jika seseorang belum pernah menunaikan haji fardhu, apakah dengan adanya orang lain yang memberinya harta, dia menjadi orang yang mampu dan harus menerimanya untuk menunaikan haji? Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Dia tidak diharuskan menunaikan haji dari pemberian orang lain kepadnaya dan tidak menjadi orang yang mampu dengan sebab itu, apakah yang memberi adalah kerabat atau orang lain. Apakah pemberiannya berupa kendaraan atau perbekalan, atau pemberian harta. Sementara Asy-Syafii berpendapat bahwa jika yang memberinya adalah anaknya dan cukup untuk ongkos haji, dia menjadi wajib, karena dia menjadi punya kemampuan melakukan haji tanpa pemberian yang mengikat atau bahaya yang akan datang. Dia seperti orang yang memiliki perbekalan dan kendaraan. Kami memiliki dalil dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang wajibnya haji, yaitu "Bekal dan kendaraan." Maka diharuskan adanya kepemilikan terhadap hal tersebut, atau memiliki sesuatu yang dengan kita dapat meraihnya, dengan dalil seandainya sang pemberi adalah orang lain, karena dia bukanlah pemilik bekal dan kendaraan, juga tidak memiliki ongkosnya, maka ketika itu tidak diwajibkan baginya haji. Begitupula jika sang pemberi adalah bapaknya.." (Al-Mughni, 3/87)
Kesimpulan jawaban adalah bahwa anda diharuskan segera melaksanakan ibadah haji selama diri anda tidak merasa khawatir terjerumus dalam perkara haram jika menunda pernikahan. Dan hendaknya anda beristighfar kepada Allah Ta'ala karena tidak menuruti perintah nikah dari bapak anda kali pertama dahulu.
Kita mohon taufiq dan petunjuk dari Allah Ta'ala.
Wallahua'lam.