Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Hukum Belajar Kedokteran Dan Bekerja Di Rumah Sakit Yang Masih Campur Baur Laki-Laki Wanita

Pertanyaan

Kami para pelajar di kuliah ilmu kedokteran. Kami bertanya tentang hukum agama menurut pandangan anda bekerja di rumah sakit, karena dokter wanita dan lelaki campur baur saat mengobati di tempat yang sama. Padahal memungkinkan untuk menghindari berduaan yang diharamkan. Semua rumah sakit di negara kami bekerja dengan sistem seperti ini. Tidak ada bagi orang muslim bekerja sebagai dokter di rumah sakit lain untuk lelaki saja. Karena memang asalnya tidak ada dalam negara kami. Kami ketahui ada sebagian di antara kami yang muslim meninggalkan pekerjaan dokter disebabkan aturan yang kami sebutkan tadi. Yang mungkin kalau dilalaikan akan terjadi kekosongan untuk kebaikan manusia dan terjadi kerusakan besar bekerja di rumah sakit. Kami dalam kondisi bimbang sekali dalam masalah kami ini dan belum mendapatkan jawaban yang tepat dari pertanyaan ini, kami berharap Allah memberikan petunjuk kebenaran lewat tangan anda.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kami berterima kasih atas perhatian anda untuk mengetahui hukum agama dalam masalah yang seringkali terjadi ini. Kami memohon kepada Allah untuk kami dan anda semoga mendapatkan taufiq dan ketepatan dalam ucapan dan perbuatan.

Kedua:

Dokter laki-laki tidak dibolehkan mengobati wanita kecuali tidak adanya dokter wanita muslimah atau dokter wanita kafir. Terdapat riwayat keputusan dari Majma Fikih Islami, ini teksnya:

“Asalnya kalau ada dokter spesialis wanita, maka dia yang harus melakukan pemeriksaan kepada pasien wanita. Kalau tidak ada, maka yang melakukan hal itu adalah dokter wanita non muslim yang terpercaya. Kalau tidak ada, maka yang melakukan adalah dokter laki-laki muslim. Kalau tidak ada, maka dokter lelaki non Islam yang terpercaya. Dibolehkan melihat tubuh wanita sesuai kebutuhan dalam mendiagnosa dan mengobati yang sakit. Tidak boleh lebih dari itu dan Sedapat mungkin menahan pandangannya. Saat melakukan pengobatan dokter lelaki terhadap pasien wanita, dihadiri mahram atau suami atau wanita terpercaya, agar tidak terjadi  khalwat (berduaan).

Rekomendasi:

Pemerintah dalam dunia kesehatan hendaknya mengerahkan sekuat tenaga dalam memberi semangat para wanita agar mendalami ilmu kedoteran dan mengambil spesialis pada semua cabangnya. Terutama masalah kewanitaan dan kelahiran, karena minimnya para wanita dalam bidang spesialisasi kedokteran ini. Agar tidak terpaksa mengacu kepada kaidah pengecualian.” (Dikutip dari ‘Majalah Al-Mujamma’, 8/1/49).

Ini yang menjadi patokan kami dalam menjawab pertanyaan yang ada dalam bidang ini. Silahkan melihat contoh jawaban pertanyaan no. 2152 dan no. 20460.

Ketiga:

Jika umat Islam dicoba di suatu negara, dimana seluruh rumah sakit bercampur baur, ini adalah realita yang ironis, sulit menerapkan kaidah tadi, dimana para wanita atau sekelompok besar dari mereka pergi ke rumah sakit ini dan berjumpa para dokter lelaki. Tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang melarang para dokter yang saleh untuk bekerja di rumah sakit seperti ini, akan menjadikan tempat ini didominasi orang yang tidak soleh. Dimana dia tidak merasa diawasi oleh Allah dalam pekerjaannya, baik terlihat maupun ketika dalam kesendiriannya, sebagaimana juga menutup para dokter tersebut memberikan kesempatan untuk bekerja, atau mengosongkan kuliah kedokteran dari orang beragama dan istiqamah. Tidak diragukan lagi ini termasuk kerusakan besar. Lebih besar dari sekedar lelaki melihat aurat wanita, yang dibolehkan dalam kondisi perlu dan terpaksa.

Yang kuat menurut kami, wallahu a’lam, tidak mengapa bagi anda bekerja di rumah sakit ini, seraya kerja keras untuk merubah kondisi ini. Misalnya dengan mendirikan klinik dan rumah sakit khusus yang tidak campur baur. Serta berusaha keras memahamkan para penangung jawab serta mempengaruhinya agar dikhususkan pada sebagian rumah sakit khusus untuk para wanita, juga konsisten dengan aturan agama yang memungkinkan tanpa adanya berduaan dan hanya sesuai dengan kebutuhan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam jawaban soal no. 5693.

Jawaban kami dilandasi dua hal:

Pertama: Apa yang telah ditetapkan oleh ahli ilmu bahwa syariat datang untuk menghasilkan kebaikan dan menyempurnakan, serta menghilangkan kerusakan dan meminimalkannya. Tidak mengapa terjerumus dalam kerusakan yang lebih ringan untuk menolak (terjadinya kerusakan) yang lebih besar.

Kedua: - termasuk cabang dari yang pertama – apa yang difatwakan oleh sebagian ulama yang membolehkan  mengambil pekerjaan yang dilarang untuk meringankan keburukan sedapat - mungkin. Yang memberikan fatwa hal itu adalah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bagi orang yang menguasai suatu wilayah. Dan mengharuskan untuk mengambil bea cukai yang dilarang dari orang, akan tetapi berusaha untuk adil dan menghilangkan kezaliman sebisa mungkin serta meminimalisir cukai sedapat mungkin. Sebab kalau dia tinggaklan wilayah tersebut, pasti ada orang yang menempati berbuat kezaliman yang lebih. Maka beliau rahimahullah memberikan fatwa dibolehkan tetap dalam kekuasaannya. Bahkan keberadaan dia akan hal itu lebih utama dibandingkan dengan meninggalkannya jika dia tidak bekerja yang lebih baik dari itu. Dan beliau menambahkan, “Bisa jadi hal itu wajib atasnya kalau orang lain tidak ada yang mampu. Sehingga menyebarkan keadilan sebisa mungkin. Menghilangkan kezaliman sesuai kemampuan termasuk fardu kifayah. Seseorang harus melakukannya sesuai dengan kemampuannya, jika yang lainnya tidak ada  yang mampu menempatinya.” (Majmu Fatawa, 30/356-360).

Telah diketahui bahwa bea cukai termasuk sangat diharamkan, termasuk dosa besar. Akan tetapi ketika seorang muslim saleh menduduki posisi ini untuk meringankan keburukan dan meminimalkan sesuai kemampuannya, maka hal itu dibolehkan.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengomentari terhadap perkataan Syaikhul Islam mirip dengan perkataan ini dengan mengatakan, “Kemaslahatan umum harus dijaga. Salah satu contoh kalau kita tinggalkan kedokteran, sehingga orang baik-baik tidak belajar kedokteran. Mereka berkata, “Bagaimana saya belajar kedokteran, sementara disamping kami para wanita perawat, pelajar dan staf? Kami katakan, “Apakah kalau anda menolak hal ini, kondisi akan kosong? Akan datang orang yang buruk dan merusak di atas bumi setelah diperbaiki. Adapun jika anda (yang baik-baik berkumpul, baik berdua, bertiga atau berempat, bisa jadi suatu waktu pejabat pemerintah mendapat hidayah dari Allah lalu memisahkan laki-laki dan wanita terpisah di tempatnya masing-masing.” (Syarh Kitab Siyasah Syaar’iyah, hal. 149)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Kami sekelompok para dokter kerja di Riyad. Kami ada pergantian jam jaga, di dalamnya ada pasien, baik laki-laki maupun wanita. Terkadang keluhan pasien seperti sakit kepala atau sakit perut, termasuk dibutuhkan kerja dokter agar sempurna diadakan cek, mengharuskan mengambil sampel sebab sakit kepala, mengecek perut atau kepala atau lainnya agar tidak ada tanggung jawab lagi. Kalau tidak dicek, akan sangat berbahaya bagi pasien. Bagi kami memungkinkan untuk menghindar darinya, akan tetapi  agar mendapatkan gambaran yang sempurna, mengharuskan untuk dicek.

Maka beliau menjawab, “Seharusnya manajemen rumah sakit memperhatikan hal ini, dengan menjadwal antara lelaki dan wanita. Agar ketika pasien wanita membutuhkan maka untuk pengobatan dan pengecekan dikirim petugas wanita. Jika manajemen tidak memperhatikan hal ini dan tidak memperdulikan, maka anda tidak mengapa mengecek pasien wanita. Akan tetapi dengan syarat, disana jangan ada khalwat (berduaan) atau ada syahwat. Begitu juga jika ada kebutuhan untuk diperiksa. Kalau tidak butuh dan memungkinkan di tunda sementara waktu sampai hadir petugas wanita, maka hendaknya diakhirkan sedikit. Kalau hal itu tidak memungkinkan dan disana ada kebutuhan, maka hal itu tidak mengapa.” (Liqo Bab Maftuh, 1/206).

Kami memohon kepada Allah ta’ala agar memperbaiki kondisi kita dan kondisi umat Islam. Dan dijauhkan dari fitnah yang Nampak maupun yang tidak Nampak. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, Dekat dan Maha Mengabulkan Doa.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam