Zakat uang harus dalam bentuk uang tunai. Tidak boleh dibayarkan dalam bentuk barang berwujud atau bahan pangan, kecuali jika ada kemaslahatan yang lebih besar untuk mengeluarkannya dalam bentuk barang. Hal ini telah kami jelaskan dalam jawaban dari pertanyaan nomor 79337 .
Oleh karena itu, jika kemaslahatan yang lebih besar mengharuskan pengeluaran zakat Mal (harta) berupa bahan makanan, seperti jika orang miskin tersebut adalah orang yang tidak berpengetahuan, lemah akalnya, dan tidak mampu mengelola urusannya, dan jika ia diberi uang, ia membelanjakannya dengan cara yang salah, mengabaikan orang-orang yang dinafkahinya, atau jika di negeri itu sedang sangat membutuhkan makanan, karena makanan itu langka, meskipun uangnya tersedia, atau jika kebutuhan orang miskin itu akan makanan lebih besar daripada kebutuhannya akan uang, atau jika orang miskin itu memberi izin kepada wakilnya untuk melakukannya, atau yang semacamnya, dan wakil itu membayar zakat dalam bentuk makanan karena kebutuhan ini, maka tindakannya sah dan boleh. Akan tetapi, ia tidak boleh menggunakan uang pemiliknya tanpa seizin pemiliknya.
Apabila tidak ada kemaslahatan yang lebih mendesak untuk membayar zakat dalam bentuk bahan makanan, namun si wakil berupaya melakukannya tanpa berkonsultasi dengan pemilik harta, maka si pemilik harta harus membayar zakat lagi dalam bentuk uang tunai sebagai ganti zakat yang dibayarkan dalam bentuk bahan makanan yang telah dibayarkan oleh si wakil.
Dalam hal ini, maka si wakil bertanggung jawab atas kesalahannya dan mengembalikan uang tersebut kepada pemilik harta, karena ia telah salah mengelola uang tersebut tanpa seizin pemilik harta.
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Seorang penerima kuasa (wakil) tidak berhak mengelola sesuatu, kecuali apa yang telah disyaratkan oleh izin pemilik harta (muwakkil), baik secara lisan maupun adat-istiadat. Hal ini karena pengelolaannya berdasarkan izin, maka ia terbatas pada apa yang telah diizinkan.” (Al-Mughni, 5/95).
Wallah Ta’ala A’lam.